Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Lembah Hokeng hasilkan pemikir yang disegani

Oleh Lambertus L Hurek
Spirit NTT 24-31 Desember 2007

Masuk batas Larantuka
Lihat lembah Hokeng situ
Ada seminari kecil
Calon imam bangsaku
Indahlah, indahlah, Floresku indahlah

LAGU sederhana ini sangat populer di kalangan anak-anak di Flores Timur pada 1980-an. Isinya menceritakan tentang Flores yang indah. Ada danau tiga warna (Kelimutu), perkebunan kelapa di Sikka, lalu Seminari Hokeng di Flores Timur. Nama resminya Seminari Menengah San Dominggo. Lembaga pendidikan khusus ini sangat dikenal oleh orang Flores Timur, bahkan Nusa Tenggara Timur.
Baru-baru ini saya ditanya beberapa teman di luar negeri tentang Seminari Hokeng. Sekolahnya seperti apa? Biayanya berapa? Kurikulumnya? Masa depannya? Oke-lah, meskipun saya tidak pernah sekolah di seminari, saya pernah beberapa kali ke sana. Bahkan, saya pernah menulis kisah kunjungan ke Seminari Hokeng dan dimuat di KUNANG-KUNANG, majalah anak-anak di Ende, Flores.
Seminari Hokeng berlokasi di lembah sejuk yang selalu tertutup kabut. Perkebunan kopi sangat luas, di kaki Gunung Lewotobi Laki-laki dan Perempuan (gunung berapi kembar) yang masih aktif. Daerah ini sangat subur dan mampu menghasilkan tanaman-tanaman yang tidak bisa tumbuh di daerah Flores Timur lainnya. Karena itu, berkunjung ke Hokeng adalah kenikmatan tersendiri bagi orang Flores Timur di luar Kecamatan Wulanggitang.
Kehadiran Seminari Hokeng tak lepas dari masuk dan berkembangnya Gereja Katolik di Pulau Flores. Imam-imam misionaris Societas Verbi Divini (SVD) yang sangat berhasil mengatolikkan rakyat Flores merasa perlu mendirikan seminari kecil alias seminari menengah. Tempat pembibitan calon-calon pastor di Flores, bahkan Indonesia, bahkan dunia. Seminari Hokeng itu pada hakikatnya SMA (Sekolah Menengah Atas) Plus. Plus, karena dikondisikan sebagai komunitas calon biarawan. Jadi, laki-laki semua. Plus, karena masa belajarnya empat tahun, bukan tiga tahun seperti SMA biasa.
Lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Flores Timur dan sekitarnya diseleksi secara sangat ketat. Seleksi berlangsung sepanjang masa pendidikan di seminari. Jika ada pelajar yang dapat nilai merah, logikanya tidak jalan, malas, suka bikin kacau, suka mencuri buah-buahan, sulit diatur... pasti disuruh pulang pada akhir semester. Saat saya masih tinggal di Larantuka, saya selalu mendapat informasi bahwa puluhan siswa terpaksa dikeluarkan.
Pengelola Seminari Hokeng memang tidak segan-segan mengeluarkan siswanya. Kenapa begitu. Pertama, peminat Seminari Hokeng masih sangat banyak, sehingga pengelola seminari tidak perlu takut kekurangan murid. Kedua, ingin menemukan bibit unggul calon pastor yang bakal berkarya di seluruh dunia, khususnya NTT. Lebih baik mengeluarkan siswa yang tidak layak secara akademis atau emosional ketimbang nantinya mendapat pastor berkualitas buruk.
Dengan seleksi superketat, jangan heran kalau Seminari Hokeng dikenal sebagai SMA paling bermutu di Flores. Anak-anak Seminari Hokeng sangat cerdas. Bahasa Inggrisnya lancar. Bahasa Latin, sastra klasik, dikuasai dengan baik. Bahasa Jerman dan Belanda pun setahu saya sangat fasih. Ini karena para pastor pembina Seminari Hokeng mewajibkan para siswanya (semua laki-laki, tentu saja) berbahasa asing sesuai dengan programnya. Ketahuan pakai bahasa Indonesia atau bahasa daerah (Lamaholot) adalah pelanggaran berat. Pada akhirnya dikeluarkan!
Anak-anak Seminari Hokeng juga hebat-hebat main bola. Hebat main musik. Hebat menyanyi. Hebat paduan suara. Hebat menulis. Hebat bertani. Hebat berkhotbah. Hebat pidato. Tapi tidak hebat merayu gadis-gadis cantik karena memang tidak dibiasakan. Hehehehe.....
Para siswa yang keluar dari Seminari Hokeng, apa pun alasannya, rata-rata menjadi pelajar teladan di SMA biasa. Dia pasti masuk the best five atau primus inter pares. Terbaik di antara sesama temannya. Tempaan keras, disiplin yang ditanamkan, selama studi di Seminari Hokeng boleh dikata tidak akan pernah hilang selama hidup si seminaris atau eks seminaris. Disiplin berpikir, kerja keras, semangat belajar... wah, luar biasa.
Cukup banyak eks Seminari Hokeng yang sukses sebagai intelektual. Sebut saja Prof. Dr. Gorys Keraf (almarhum) yang lulus Seminari Hokeng pada tahun 1954. Kemudian Dr. Ignas Kleden yang masuk SMP Seminari Hokeng pada 1959. Mereka menjadi pemikir yang disegani di tanah air.
Oh, ya, setahu saya sistem pendidikan di Seminari Hokeng mengalami beberapa kali penyesuaian. Kalau pada 1950-an, 1960-an, 1970-an, anak-anak lulusan sekolah dasar (SD) boleh langsung masuk ke Seminari Hokeng, pada 1980-an Seminari Hokeng juga menerima lulusan SMP. Sehingga, masa pendidikan dan pembentukan calon imam Katolik berlangsung sangat lama dan intensif. Hasilnya memang luar biasa. Generasi Gorys Keraf dan Ignas Kleden terbukti sangat hebat secara akademik.
Apa saja yang diajarkan di Seminari Hokeng?
Menurut Ignas Kleden, Seminari Hokeng berorientasi pada gimnasium di Eropa dan separonya mengikuti kirikulum Departemen Pendidikan Nasional. Pelajaran di Seminari Hokeng semuanya sama dengan SMP/SMA negeri, kecuali bahasa Latin. "Porsi bahasa Latin sangat banyak dan memakan energi terbanyak," papar Ignas Kleden, yang lahir di Waibalun, Flores Timur, 19 Mei 1948.
Tidak ada pelajaran lain yang diberi porsi enam jam pelajaran seminggu seperti bahasa Latin. Pelajar Seminari Hokeng juga wajib mengerjakan pekerjaan rumah bahasa Latin tiap hari. Selain itu, "Olahraga dan musik sangat diutamakan," papar Ignas Kleden yang piawai main organ berkat pelajaran di Seminari Hokeng pada 1960-an.
Jadwal bahasa Latin dipertahankan saat masuk ke tingkat SMA di Seminari Hokeng. Mengapa SMA-nya harus empat tahun? Menurut Ignas, ini karena beban pendidikan bahasa Inggris dari SMP, dilanjutkan dengan pengajaran bahasa Jerman tiga kali seminggu. Bahasa Latin dipertahankan enam jam pelajaran seminggu.
"Semenjak kelas satu SMA, kami sudah mulai membaca karya Julius Caesar, pidato-pidato dan polemik Cicero dengan Catilina, kisah Hanibal mengempur kota Roma, sajak-sajak Ovidius dan Horatius. Kemudian berlanjut ke Vergilius untuk kembali ke tulisan para pujangga gereja seperti Augustinus dan Hieronimus," tulis Ignas Kleden di bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan.
Kehebatan anak-anak Seminari Hokeng juga saya rasakan saat menyaksikan teater keliling (alias sandiwara alias drama) mereka di kampung-kampung. Ada kebiasaan, setiap kali liburan, anak-anak Seminari Hokeng menghibur kami, orang-orang kampung di Flores Timur. Wah, luar biasa teater mereka. Hampir semua penduduk terpukau oleh permainan mereka yang kebanyakan membawakan kisah-kisah realis.
Biasanya, setelah main sandiwara (malam Minggu), besoknya anak-anak Seminari Hokeng mengisi paduan suara untuk misa atau kebaktian di gereja kampung. Kami benar-benar puas karena paduan suara anak-anak Seminari Hokeng punya standar tinggi untuk ukuran NTT.
Setelah lulus dari Seminari Hokeng, para alumni digembleng lebih lanjut di seminari tinggi di Ledalero (untuk SVD) dan Ritapiret (praja). Gemblengan yang sangat lama dan intensif di Seminari Hokeng membuat mereka semakin mantap mempersiapkan diri sebagai gembala-gembala umat. *

Tidak ada komentar: