Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Ketika Waingapu menjalani sejarah penting

Spirit NTT 24-31 Desember 2007

WAINGAPU, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, merupakan kota terbesar di Pulau Sumba. Waingapu juga mengalami sejumlah aset sejarah yang penting, termasuk merasakan benar seperti apa rasanya berhadapan dengan kekuatan militer Jepang yang begitu agresif.
Pulau Sumba dibagi ke dalam dua kabupaten yaitu Sumba Barat yang beribukota Waikabubak dan Sumba Timur yang beribukota di Waingapu. Waingapu bisa dibilang menjadi kota terbesar di Sumba. Di kota itulah terdapat bandar udara dan pelabuhan yang menghubungkan Sumba dengan Pulau Sumbawa, Flores dan Pulau Timor.
Propinsi Nusa Tenggara Timur sendiri terkenal sebagai daerah kering dengan curah hujan yang paling rendah di Indonesia. Sumba Timur sendiri, yang beribukota di Waingapu, dikenal sebagai daerah yang tandus dan berbatu-batu.
Dalam buku "East Sumba: A Hidden Treasure in the Archipelago", Sumba Timur dilukiskan sebagai kawasan yang tidak hanya kering, tetapi juga begitu sunyi. "Dari kota Waingapu hingga ke pedesaan sekitarnya atau lebih lagi ke bagian barat dan selatan, bahkan ke mana saja di daerah ini, sebuah kesan kesunyian yang bersahabat akan segera terasa," demikian buku itu melukiskan Sumba Timur dan Waingapu.
Arti penting Waingapu bagi Pulau Sumba itulah yang membuat Jepang pernah menyerang kota tersebut dari udara. Dengan mengerahkan pesawat-pesawat pembom, Waingapu dihujani bom yang bukan hanya menghancurkan Waingapu, tetapi juga menewaskan ratusan orang Sumba. Bahkan ada yang menengarai, orang Waingapu yang menjadi korban pemboman itu mencapai 2 ribu orang lebih.
Sebelum dikunjungi oleh bangsa-bangsa Eropa, Pulau Sumba sempat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. VOC sendiri sempat menandatangani traktat perjanjian dengan penguasa di Sumba pada 1756, hampir bersamaan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti di Jawa.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menancapkan pengaruhnya secara ekstensif di akhir-akhir abad 19. Menyusul perang antar kelompok yang kerap mengganggu perniagaan, Belanda akhirnya membentuk kekuasaan militer di Sumba dengan menunjuk seorang penguasa lokal sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda.
Di Sumba, memang kerap terjadi perang antar kelompok dan suku serta perdagangan budak (maramba). Larangan perdagangan budak dari Sumba oleh Belanda sempat memicu perlawanan cukup besar di Flores, terutama dipicu oleh turut campurnya Belanda terhadap rencana pernikahan seorang pembesar Ende, Baranuri, dengan seorang perempuan dari Sumba.
Kondisi alam Sumba, terutama di Waingapu, yang memiliki banyak sabana, membuat Belanda mencoba membangun usaha peternakan. Pada tahun 1906, Belanda mulai mengirimkan bibit sapi ongole ke Waingapu. Pada 1914, Belanda menetapkan Sumba sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni.
Jauh sebelum itu, penduduk Sumba lebih dulu akrab dengan kuda. Orang-orang Sumba memiliki ikatan batin, historis bahkan eskatologis dengan binatang kuda. Sandelwood adalah kuda dari Sumba yang terkenal memiliki kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Banyak yang percaya kuda sandelwood adalah kendaraan leluhur orang Sumba.
Kuda tak hanya menjadi kendaraan transportasi, tetapi juga dilibatkan dalam sejumlah upacara-upacara penting orang Sumba yang menganut kepercayaan Marapu. Salah satu upacara paling terkenal di Sumba, yaitu pasola yang merupakan upacara peperangan dengan melempar tombak (sekarang kayu) sembari menunggangi kuda.
Orang-orang Sumba juga memelihara kuda untuk diperjualbelikan. Tradisi ini sudah berlangsung lama. Sejak 1840-an, orang-orang di kawasan Sumba Timur, terutama melalui Waingapu, sudah melakukan perdagangan kuda dengan pedagang-pedagang dari luar pulau.
Sewaktu berada di Uzbekistan pada 1970, Taufik Ismail pernah menulis puisi Sumba yang berjudul "Beri Daku Sumba." Puisi itu menggambarkan dengan baik seperti apa ikatan batin orang-orang Sumba dengan kuda. Salah satu bait puisi itu berbunyi: "Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda yang turun menggemuruh di kaki-kaki bukit yang jauh...." (taufik rahzen)

Tidak ada komentar: