Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Investasi di NTT bergerak di sektor unggulan

Oleh Semi Ndolu
Spirit NTT 29 Oktober - 4 November 2007

PERKEMBANGAN investasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bergerak dalam sektor-sektor unggulan. Antara lain sektor perikanan dan kelautan, perkebunan, industri, pariwisata, jasa, perdagangan, perumahan, perhubungan dan pertambangan. Hitung-hitung, selama periode 1982-2005, terdapat 100 perusahaan yang berinvestasi di NTT untuk mengelola sektor-sektor tadi.
Dalam perjalanan, sebagian investor menghentikan proyeknya sepihak tanpa alasan jelas. Ada investor yang malahan kehabisan modal. Dan, tentu masih banyak persoalan lainnya. Akibatnya, dari 100 investor yang sebelumnya berinvestasi di NTT, kini hanya 65 investor yang menyebar di 16 kabupaten/kota di NTT.
Dari 65 investor tadi, terdapat 34 investor asing dengan realisasi nilai investasi sebesar US$ 34,7 juta (11,0 persen) dari total nilai rencana US$ 315,5 juta. Sedangkan 31 investor dalam negeri berhasil merealisasi Rp 677,4 miliar (15,7 persen) nilai investasi dari total nilai rencana Rp 4,3 triliun.
Pada umumnya para investor asing berasal dari negara-negara di kawasan Eropa seperti Belanda, Spanyol, Perancis dan Inggris. Sedangkan dari kawasan Asia seperti Jepang, Cina, India, Malaysia, dan Korea. Selebihnya berasal dari Amerika dan Australia .
Sesuai data pada Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Propinsi Nusa Tenggara Timur, sebanyak sembilan investor asing Jepang menanamkan modalnya di Nusa Tenggara Timur. Ke-9 investor Jepang itu bergerak di sektor perikanan dan industri dengan lokasi operasi di wilayah Kabupaten Kupang (1), Flores Timur (3), Sikka (2), dan Manggarai Barat (3).
Setelah Jepang, Inggris mengerahkan lima investornya dalam sektor pariwisata dan perhubungan. Ke-5 perusahaan asing itu beroperasi di Kota Kupang (1), Kabupaten Rote Ndao (1), Ende (1), Ngada (1), dan Manggarai (1).
Sebagai pesaing Inggris di sektor pariwisata, terdapat investor asing asal Amerika melalui PT Puri Naga Komodo dengan bidang usaha pengembangan wisata yang mengalokasikan dana sebesar US$ 2,25 juta, Australia menginvestasikan US$ 200.000 untuk bidang usaha jasa akomodasi melalui PT Cahaya Matahari Terbit di Sumba Timur. Perancis juga menyertakan investasi sebesar US$ 360.000 untuk bidang usaha yang sama melalui PT Sumba Nusantara Resort dengan realisasi nilai investasi US$ 278.106 dan PT Jawa Toda Pulau Pantar mengalokasikan US$ 200.000 dengan realisasi nilai investasi US$ 563.024 di Kabupaten Alor. Belanda juga membidik sektor pariwisata di Kabupaten Sumba Barat dan Spanyol di Kabupaten Sikka.
Di sektor jasa telekomunikasi dan industri, Korea menyertakan tiga perusahaan besar, dua di antaranya adalah PT Bukaka Sintel International, dan PT Telkomsel. Keduanya memilih beroperasi di Kota Kupang. PT Bukaka Sintel International mengalokasikan investasi sebesar US$ 37,08 juta dengan realisasi nilai investasi sebesar US$ 21,47 juta. Sedangkan PT Telkomsel US$ 228,3 juta.
Di sektor perdagangan dan industri juga terdapat investor dari India, Malaysia, Cina, Korea, Australia , dan Inggris.
Di sektor perikanan dan kelautan, hingga Desember 2005, Nusa Tenggara Timur telah berhasil mengekspor 133.001 gram mutiara dengan nilai ekspor US$ 1,3 juta. Sedangkan di dalam negeri terjadi perdagangan rumput laut 320 ton dengan nilai perdagangan Rp 320 juta.
Jika dilakukan perbandingan nilai ekspor Nusa Tenggara Timur pada 2005, perusahaan Penanaman Modal Asing/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMA/PMDN) senilai US$ 20,0 juta dan non PMA/PMDN US$ 1,7 juta. Di sini bisa dilihat bahwa nilai ekspor PMA/PMDN lebih rendah dari nilai ekspor non PMA/PMDN. Sehingga, hingga Desember 2005, kontribusi PMDN/PMA terhadap ekspor NTT senilai 8,62 persen.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Nusa Tenggara Timur, Stanis Tefa, SH dalam liputan sebuah koran lokal, Jumat (5/5) mengatakan, kendala masalah investasi di Nusa Tenggara Timur pada umumnya berkaitan dengan masalah kepastian hukum, regulasi perizinan, Bea dan Cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, Peraturan Daerah yang menghambat investasi, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia (SDM).
Sedangkan kendala internal investor adalah modal dan manajemen perusahaan, pemasaran hasil produksi, minimnya arus kunjungan wisatawan, bahan bakar minyak dan keamanan di lokasi proyek. Masalah lainnya adalah pemasaran dan tanah yang tidak produktif, tanah dan keamanan, mutu produk bernilai rendah di pasaran internasional, dan tahap konstruksi. Selain itu, lokasi proyek berhimpitan dengan kawasan industri Bolok, tenaga kerja lokal yang kurang produktif, dan kemalahan harga kontrak penggunaan tanah ulayat.
Dari semua permasalahan yang dihadapi investor di NTT, Stanis dan jajarannya berhasil mengidentifikasi 16 investor PMDN dan 19 PMA yang modal dan manajemen perusahaannya menjadi permasalahan serius dalam mengembangkan usahanya di Nusa Tenggara Timur.
Ke depan, kata Stanis, BKPMD Nusa Tenggara Timur akan memberikan kemudahan-kemudahan bagi para investor untuk mengembangkan usahanya di Nusa Tenggara Timur sesuai amanat Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.
Inpres ini pada intinya mengisyaratkan kepada pemerintah untuk melakukan penguatan kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah. Dalam hal penguatan kelembagaan, yang perlu dilakukan adalah mengubah Undang-Undang Penanaman Modal, mengubah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang berkaitan dengan penanaman modal, dan revitalisasi tim nasional peningkatan ekspor dan realisasi investasi.
Pihak BKPMD Nusa Tenggara Timur sendiri sudah menindaklanjuti Inpres No. 3 Tahun 2006 dengan melakukan kajian akademis terkait sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah. Kajian itu menghasilkan dua kebijakan publik yakni Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Satu Atap, dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemberian Insentif/Kemudahan kepada Investor yang akan Berinvestasi di NTT.
Stanis sendiri tidak merinci insentif/kemudahan investasi yang bagaimana yang dapat diberikan kepada para investor. Yang jelas, ke depan, pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur akan mengubah cara berpikirnya. "Kalau selama ini yang selalu dipikirkan pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur adalah Pendapatan Asli Daerah, kita menginginkan para investor secara leluasa bisa membangun NTT ke depan," kata Stanis.
Para investor bisa secara leluasa membangun NTT ke depan. Tetapi, apakah para investor mendapat perlindungan secara hukum yang memadai dalam segala aktivitasnya?
Kehadiran puluhan perusahaan PMA di NTT menandakan adanya jaminan hukum bagi para investor. Jepang, misalnya, mengerahkan sembilan perusahaan untuk sektor usaha budidaya mutiara dan rumput laut. Hasilnya cukup menggembirakan. Rumput laut malahan sudah diekspor ke Jepang. Selain ke Jepang, rumput laut juga diekspor ke Cina melalui PT Victory International.
Di sektor pariwisata, para investor mendirikan banyak home stay, misalnya di Pulau Bidadari di Manggarai Barat. Atas kenyataan itu, Stanis menegaskan bahwa polemik soal Pulau Bidadari dijual atau tidak kepada pihak asing beberapa waktu lalu, sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab, pengembangan pulau itu sebagai lahan kegiatan pembangunan perhotelan dan wisata bahari sudah memiliki izin prinsip sebagai PMA. Dengan izin itu, Ernest Lewendowski sebagai pimpinan perusahaan PT Reefseekers Kathernest Lestari, ingin memanfaatkan Pulau Bidadari.
"Ernest mempunyai hak guna bangunan selama 30 tahun sehingga tidak melanggar UU. Pulau itu tidak dijual. Tetapi tanah di dalam pulau itu bisa dimanfaatkan, bukan untuk dimiliki," kata Stanis dalam sebuah liputan media lokal.
Di sektor yang sama, Pemerintah Kabupaten Kupang bersikap welcome bagi para investor dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menanamkan investasinya di wilayah itu. Wisatawan mancanegara juga diminta tidak segan-segan berkunjung ke wilayah itu.
Untuk mengajak dan menarik para investor dan wisatawan, Bupati Kupang, Drs. Ibrahim Agustinus Medah melakukan kampanye di mana-mana dengan mengatakan, "Mulailah apa yang diinginkan investor dan wisatawan daripada bertanya apa yang diberikan investor dan wisatawan kepada pemerintah daerah."
Bupati Medah bahkan sudah mengampanyekan keunggulan-keunggulan objek wisata di wilayah Kabupaten Kupang dalam sebuah seminar internasional wisata di Denpasar pada 2002 lalu. Pantai Tablolong di Kupang Barat, misalnya, selama ini sudah dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari melalui jenis kegiatan lomba pancing unternasional yang diadakan setiap tahun.
Tetapi, mengapa investor cenderung hengkang dari NTT adalah pertanyaan yang sering muncul di kalangan masyarakat NTT. Kenyataan itu diakui Stanis Tefa, Ketua BKPMD NTT. Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) NTT 10 tahun itu dengan suara lantang menilai masing-masing daerah di NTT mempunyai alur pikir yang berbeda. Rata-rata daerah berpikir soal Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan alasan PAD, sedikitnya 184 jenis pungutan pajak dan retribusi daerah yang tersebar di 16 kota/kabupaten telah membebani investor. Padahal, ada clausule dalam Pasal 76 UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pemerintah daerah, kabupaten dan kota dapat memberikan fasilitas.
Clausule ini muncul dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah karena memang selama ini tidak ada kemudahan yang diberikan pemerintah propinsi, kabupaten dan kota , bagi para investor. "Yang terjadi adalah pembebanan," tandas Stanis.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyadari kalau para investor sangat terbeban dengan ratusan jenis pungutan pajak dan retribusi. Karena itu, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2006, Presiden Susilo telah memerintahkan para menteri, gubernur, walikota dan bupati untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi para investor. Hal ini bahkan sudah dibicarakan dengan para investor.
Atas jaminan hukum seperti itu, PT Biocame International dari Korea Selatan akan membangun sebuah pabrik minyak jarak di Kupang dalam tahun 2006 ini. Perusahaan ini sudah menandatangani kontrak kerja dan lokasi pabrik disiapkan sekitar delapan hektar di Kawan Industri Bolok (KIB), enam kilometer arah barat Kota Kupang.
Untuk tahun 2006, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur membuat kajian ABG yakni kajian Academic, Busseness, dan Government. Artinya, pemerintah akan bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi untuk mengkaji berbagai peraturan daerah dan pungutan-pungutan yang ada di kabupaten bersama para pengusaha. Dalam kajian itu akan diketahui apakah pungutan pemerintah itu memberatkan pengusaha atau tidak. **

Tidak ada komentar: