Oleh Maswandi
Spirit NTT 29 Oktober - 4 November 2007
CENDERAMATA berupa uang tali asih dan barang berharga dari saudara dan kerabat, lazim diterima satu pasangan dalam sebuah resepsi pernikahan. Tapi pada resepsi pernikahan Agung dan Desi di Sungai Liat Bangka, cendramata yang diterimanya sangat unik.
Satu batang anak pohon sawo setinggi 20 centimeter. Itulah cendramata yang diberikan Ketua Yayasan Bangka Belitung Hijau, Syahidil kepada pasangan muda itu.
Agung anak dari Usman Saleh Kadis Diknas Provinsi Bangka Belitung dan istrinya Desi, menjadi pasangan pertama yang menerima bibit pohon untuk ditanam di "Bukit Cinta". Keduanya didaulat menjadi ikon dalam pencanganan program penanaman pohon bagi pasangan hidup baru. "Bukit cinta" adalah tempat persemaian pohon cendramata. Nantinya nama-nama pasangan pengantin akan menjadi nama pohon yang mereka tanam.
Syahidil menegaskan, kegiatan tersebut akan diterapkan di seluruh kabupaten dan kota di Bangka Belitung dalam memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak akibat aktivitas penambangan dan penebangan tidak sah.
Mengenai pemilihan pohon sawo yang buahnya sangat manis itu, Syahidil menegaskan sebuah makna khusus. "Dalam berumah tangga, ada pahit dan manis dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama. Meskipun merasakan pahit getirnya kehidupan berumah tangga, pasangan tetap merasakan manisnya sebuah keluarga, yang diimplementasikan dari rasa buah sawo dan pohonnya diterima waktu pernikahan," ujarnya.
Penerapan pemberian pohon itu akan dilakukan melalui kerjasama dengan kantor urusan agama (KUA). Kegiatan menghadiahi pasangan baru menikah terinspirasi dari tradisi lama orang-orang tua dulu.
Dulu ketika ada pasangan menikah, orang tua menanam pohon kemudian pertumbuhan pohon itu seiring dengan usia pasangan tersebut. "Jadi ketika ditanya berapa usia perkawinan mereka secara cepat, pasangan itu menjawab seusia pohon yang ditanam," ujar Syahidil yang juga merupakan staf khusus Gubernur Eko Maulana Ali itu.
Yayasan yang dipimpinnya mempunyai konsep dan pemikiran bahwa gerakan mencintai lingkungan hijau dimulai dari kelompok terkecil di masyarakat yakni keluarga. Keluarga yang dipilih terlebih dulu adalah pasangan yang akan berumah tangga.
Kepada pasangan yang sudah menikah juga diberikan kesempatan berpartisipasi dengan menghubungi Yayasan Babel Hijau.
Penanaman satu pohon rencananya juga akan melibatkan anak sekolah usai menyelesaikan satu jenjang pendidikan dari tingkat SD, SLTP dan SLTA, melalui kerjasama dengan Diknas.
Ide bagus
Menanggapi cendramata berupa pohon untuk penghijauan bagi pasangan pengantin baru menikah, Kepala Sub Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, Andri Wahyono menyatakan sebuah ide bagus.
Gerakan penanaman pohon harus dimulai dari semua lini dan penggerak awalnya bisa menggunakan momentum resepsi pernikahan. Kerusakan lingkungan di Bangka dan Belitung sudah teramat parah akibat aktivitas penambangan timah yang sudah dilakukan sejak abad ke-17. Bahkan dijaman kesultanan Sriwijaya, timah menjadi komoditi utama yang diperdagangkan ke berbagai negara.
Kegiatan eksploitasi teramat lama itu mengakibatkan setidaknya 40 persen kawasan hutan di propinsi serumpun sebalai dengan luas 650 ribu hektar mengalami kerusakan.
Tingkat kerusakan yang diakibatkan kegiatan penambangan bervariasi mulai ringan, sedang dan berat. Bila mengandalkan program pemerintah setidaknya diperlukan waktu 60 tahun mengembalikan fungsi kawasan hutan dengan catatan tidak ada lagi kegiatan yang merusak hutan.
Hitungan 60 tahun itu didapat bila pemerintah mampu melaksanakan reklamasi dan reboisasi sebesar 10 ribu hektare pertahun dengan tingkat keberhasilan 50 persen. "Faktanya kan sulit bagi pemerintah untuk melakukan reboisasi lahan sampai begitu luas. Sekarang yang diperlukan bagaimana pelaku pertimahan, LSM dan masyarakat berperan melakukan penanaman serta tidak menambah kerusakan hutan," ujarnya.
Gubernur Bangka Belitung menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan. Bahkan produk timah Bangka bisa saja diembargo suatu negara karena dinilai merusak lingkungan.
"Dalam protokol Kyoto dan Indonesia ikut dalam kesepakatan itu, persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang bila tidak dihentikan serta diperbaiki bisa memasuki ranah politis," ujarnya.
Atas dasar itu pihaknya telah melakukan pencanangan program "Babel hijau" beberapa waktu lalu bertempat di desa Jarak, Pangkalan Baru Bangka Tengah.
Eko menegaskan perbaikan lingkungan perlunya dilakukan dengan tindakan konkrit. Polemik ataupun retorika tidak lagi diperlukan. Sekecil apapun upaya perbaikan lingkungan harus didukung.
Bila pertama kali datang ke pulau Bangka dengan transportasi udara, akan terlihat banyak sekali lobang-lobang menganga bekas kolam penambangan timah atau penambang sering menyebutnya "Lubang Camui" seperti danau atau kolam renang.
Satu-satunya petunjuk bahwa itu bukan danau ataupun kolam renang adalah kerusakan hutan di sekelilingnya serta bentuknya yang tidak beraturan.
Di pulau Bangka dan Belitung diperkirakan ada lebih dari 10 ribu bekas kegiatan penambangan timah yang kini dibiarkan menjadi kolam-kolam menganga.
Untuk menghijaukan kembali Bangka dan Belitung tidak perlu kiranya menunggu sampai anak dan cucu dari buah perkawinan yang dihadiahi pohon sawo dewasa dan menikah.
Semangat bertanam pohon dari pasangan menikah itulah yang seharusnya menginspirasi warga lain dengan membentuk "bukit cinta" baru di berbagai lokasi. *
Satu batang anak pohon sawo setinggi 20 centimeter. Itulah cendramata yang diberikan Ketua Yayasan Bangka Belitung Hijau, Syahidil kepada pasangan muda itu.
Agung anak dari Usman Saleh Kadis Diknas Provinsi Bangka Belitung dan istrinya Desi, menjadi pasangan pertama yang menerima bibit pohon untuk ditanam di "Bukit Cinta". Keduanya didaulat menjadi ikon dalam pencanganan program penanaman pohon bagi pasangan hidup baru. "Bukit cinta" adalah tempat persemaian pohon cendramata. Nantinya nama-nama pasangan pengantin akan menjadi nama pohon yang mereka tanam.
Syahidil menegaskan, kegiatan tersebut akan diterapkan di seluruh kabupaten dan kota di Bangka Belitung dalam memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak akibat aktivitas penambangan dan penebangan tidak sah.
Mengenai pemilihan pohon sawo yang buahnya sangat manis itu, Syahidil menegaskan sebuah makna khusus. "Dalam berumah tangga, ada pahit dan manis dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama. Meskipun merasakan pahit getirnya kehidupan berumah tangga, pasangan tetap merasakan manisnya sebuah keluarga, yang diimplementasikan dari rasa buah sawo dan pohonnya diterima waktu pernikahan," ujarnya.
Penerapan pemberian pohon itu akan dilakukan melalui kerjasama dengan kantor urusan agama (KUA). Kegiatan menghadiahi pasangan baru menikah terinspirasi dari tradisi lama orang-orang tua dulu.
Dulu ketika ada pasangan menikah, orang tua menanam pohon kemudian pertumbuhan pohon itu seiring dengan usia pasangan tersebut. "Jadi ketika ditanya berapa usia perkawinan mereka secara cepat, pasangan itu menjawab seusia pohon yang ditanam," ujar Syahidil yang juga merupakan staf khusus Gubernur Eko Maulana Ali itu.
Yayasan yang dipimpinnya mempunyai konsep dan pemikiran bahwa gerakan mencintai lingkungan hijau dimulai dari kelompok terkecil di masyarakat yakni keluarga. Keluarga yang dipilih terlebih dulu adalah pasangan yang akan berumah tangga.
Kepada pasangan yang sudah menikah juga diberikan kesempatan berpartisipasi dengan menghubungi Yayasan Babel Hijau.
Penanaman satu pohon rencananya juga akan melibatkan anak sekolah usai menyelesaikan satu jenjang pendidikan dari tingkat SD, SLTP dan SLTA, melalui kerjasama dengan Diknas.
Ide bagus
Menanggapi cendramata berupa pohon untuk penghijauan bagi pasangan pengantin baru menikah, Kepala Sub Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, Andri Wahyono menyatakan sebuah ide bagus.
Gerakan penanaman pohon harus dimulai dari semua lini dan penggerak awalnya bisa menggunakan momentum resepsi pernikahan. Kerusakan lingkungan di Bangka dan Belitung sudah teramat parah akibat aktivitas penambangan timah yang sudah dilakukan sejak abad ke-17. Bahkan dijaman kesultanan Sriwijaya, timah menjadi komoditi utama yang diperdagangkan ke berbagai negara.
Kegiatan eksploitasi teramat lama itu mengakibatkan setidaknya 40 persen kawasan hutan di propinsi serumpun sebalai dengan luas 650 ribu hektar mengalami kerusakan.
Tingkat kerusakan yang diakibatkan kegiatan penambangan bervariasi mulai ringan, sedang dan berat. Bila mengandalkan program pemerintah setidaknya diperlukan waktu 60 tahun mengembalikan fungsi kawasan hutan dengan catatan tidak ada lagi kegiatan yang merusak hutan.
Hitungan 60 tahun itu didapat bila pemerintah mampu melaksanakan reklamasi dan reboisasi sebesar 10 ribu hektare pertahun dengan tingkat keberhasilan 50 persen. "Faktanya kan sulit bagi pemerintah untuk melakukan reboisasi lahan sampai begitu luas. Sekarang yang diperlukan bagaimana pelaku pertimahan, LSM dan masyarakat berperan melakukan penanaman serta tidak menambah kerusakan hutan," ujarnya.
Gubernur Bangka Belitung menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan. Bahkan produk timah Bangka bisa saja diembargo suatu negara karena dinilai merusak lingkungan.
"Dalam protokol Kyoto dan Indonesia ikut dalam kesepakatan itu, persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang bila tidak dihentikan serta diperbaiki bisa memasuki ranah politis," ujarnya.
Atas dasar itu pihaknya telah melakukan pencanangan program "Babel hijau" beberapa waktu lalu bertempat di desa Jarak, Pangkalan Baru Bangka Tengah.
Eko menegaskan perbaikan lingkungan perlunya dilakukan dengan tindakan konkrit. Polemik ataupun retorika tidak lagi diperlukan. Sekecil apapun upaya perbaikan lingkungan harus didukung.
Bila pertama kali datang ke pulau Bangka dengan transportasi udara, akan terlihat banyak sekali lobang-lobang menganga bekas kolam penambangan timah atau penambang sering menyebutnya "Lubang Camui" seperti danau atau kolam renang.
Satu-satunya petunjuk bahwa itu bukan danau ataupun kolam renang adalah kerusakan hutan di sekelilingnya serta bentuknya yang tidak beraturan.
Di pulau Bangka dan Belitung diperkirakan ada lebih dari 10 ribu bekas kegiatan penambangan timah yang kini dibiarkan menjadi kolam-kolam menganga.
Untuk menghijaukan kembali Bangka dan Belitung tidak perlu kiranya menunggu sampai anak dan cucu dari buah perkawinan yang dihadiahi pohon sawo dewasa dan menikah.
Semangat bertanam pohon dari pasangan menikah itulah yang seharusnya menginspirasi warga lain dengan membentuk "bukit cinta" baru di berbagai lokasi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar