Laporan Petrus Domu Wora dan Rambu Raing
* Pengembangan hutan keluarga
Disadari bahwa berbagai upaya yang sudah dilakukan untuk perbaikan kondisi hutan belum berhasil karena kegiatan penanaman yang dilakukan di lahan umum atau lahan milik negara yang pada gilirannya menyebabkan tanggung jawab pemeliharaan sangat lemah dan kebijakan pengelolaan menjadi tidak jelas.
Oleh karena itu masyarakat sekitar kawasan TN Laiwanggi Wanggameti (TN LW) mengembangkan HUTAN KELUARGA. Hutan keluarga adalah usaha jangka panjang yang keberadaannya diharapkan akan tetap lestari hingga dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.
Hutan Keluarga dikembangkan dengan konsep, "Membawa hutan ke kebun". Oleh karena itu, lokasi pengembangan Hutan Keluarga berada di lahan milik (biasanya di kepala kebun). Tanaman yang dikembangkan pada Hutan Keluarga adalah tanaman hutan, baik jenis kayu mapun non kayu. Pengembangan Hutan Keluarga adalah program wajib bagi masyarakat sekitar kawasan TN LW. Luasan kepemilikan Hutan Keluarga sangat beragam, berkisar antara 0,25 hektar (ha) sampai dengan lima hektar setiap kepala keluarga (KK).
Manfaat Hutan Keluarga yang sudah dinikmati oleh masyarakat antara lain: Terpenuhinya kebutuhan pokok keluarga (kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak, sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Memperbaiki kesuburan tanah. Mengurangi pengambilan yang berlebihan terhadap hasil hutan.Tidak perlu jalan jauh ke hutan untuk mengambil hasil hutan.Menjadi pembatas lahan yang menjadi milik atau hak garap keluarga. Menambah pendapatan keluarga.
* Resolusi konflik
Keputusan Menteri Kehutanan No. 893/KPTS-II/1983 tentang TGHK di Kawasan Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti yang tidak akomodatif terhadap kepentingan masyarakat, berimplikasi terhadap konversi lahan masyarakat menjadi hutan, sehingga masyarakat merasa aksesnya terhadap hutan semakin terbatas. Konflik inipun telah berimplikasi pada semakin lunturnya rasa kepedulian, tanggungjawab serta kesadaran masyarakat sekitar kawasan untuk menjaga dan melestarikan hutan.
Bagaimana menemukan terobosan-terobosan baru sebagai bentuk solusi bersama yang lebih arif, maju dan adil? Tawaran yang mungkin menjadi pertimbangan bersama adalah mengembangkan model pengelolaan sumberdaya alam melalui sebuah skenario yang lebih sistematik dan berlandaskan pada konsep TATA PENGELOLAAN BERSAMA. Artinya, segala sumberdaya dan energi yang ada (dari semua pihak) harus dapat digerakkan secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan kawasan melalui peningkatan mutu partisipasi.
Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mulai merumuskan mekanisme pembagian peran, kewenangan dan tanggung jawab pada masing-masing pihak menuju pada satu titik tujuan bersama. Dengan demikian cara pandang yang sifatnya parsial yang melihat bahwa kepentingan masyarakat dan kelestarian itu tanggung jawab pemerintah semata harus diubah menjadi sebuah cara pandang yang komprehensif, semuanya harus dilihat sebagai kepentingan bersama.
Konsep ini sebenarnya berangkat dari pemikiran bahwa semua institusi adalah pelaku pembangunan, secara bersama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing yang bila energi-energi itu dipadukan akan menghasilkan sebuah kekuatan atau daya dorong yang cukup kuat bagi keberhasilan pembangunan itu sendiri.
Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan perlu diajak mengenali dan memahami semua sudut kepentingan secara rasional dan komprehensif. Dari sini diharapkan akan diikuti dengan meningkatnya rasa kepedulian dan tanggung jawab yang sama terhadap pengelolaan ekosistem kawasan secara utuh. Para pesengketa harus segera melupakan posisi, dan mulai berinisiatif mengembangkan gagasan atau konsep pengelolaan yang lebih memberikan peluang bagi semua pihak mengaktualisasikan peran nyatanya dalam pengelolaan ekosistem kawasan,dengan tetap menghormati rambu-rambu kebijakan yang lebih tinggi.
Gagasan dan prakarsa mencari bentuk penyelesaian sengketa senatiasa menjadi wacana diskusi di berbagai tingkatan, baik masyarakat, maupun oleh pengambil kebijakan dan para pemerhati lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan di TNLW telah diprakarsai oleh Pemda Sumba Timur (Dishut, Bapedalda), BKSDA, UPT, KOPPESDA, YTNS dan masyarakat dari 15 desa sekitar kawasan yang membentuk diri dalam KMPH dan FALP. Lembaga-lembaga tersebut mendapat dukungan dari Cornel Univercity, FF, World Neighbour, EWC (program pemetaan), CIFOR, ICRAF dan MFP-DFID.
Beberapa kesepakatan bersama pengelola kawasan TN LW-Masyarakat Sekitar TNLW-Pemda Sumba Timur dengan Departemen Kehutanan untuk mencari solusi bersama adalah sebagai berikut:
Departemen Kehutanan berupaya untuk segera membentuk Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti.
Sebelum terbentuknya Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, agar segera disusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional oleh BKSDA NTT I Kupang bersama Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, dan masyarakat dengan memanfaatkan data dan informasi bio-fisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada, sehingga diperoleh gambaran awal tentang zonasi Taman Nasional.
Proses tata batas akan segera dilaksanakan setelah ada kejelasan landasan hukum dan anggaran. Berdasarkan SK Menhut No. 32/Kpts-II/2001, tanggal 15 Maret 2001, tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, Bupati akan membentuk Panitia Tata Batas Kawasan Hutan di wilayahnya.
Usulan anggaran penataan batas diajukan oleh BKSDA NTT I Kupang kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII Denpasar, Bupati Sumba Timur dan Bupati Sumba Barat. Dirjen PHKA meneruskan kepada Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan.
Sebelum usulan anggaran pada point empat terealisasi, maka Departemen Kehutanan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dapat merancang kegiatan-kegiatan awal yang dapat dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat.
Berdasarkan hasil kesepakatan pada poit ke lima tersebut KOPPESDA bersama YTNS melakukan kegiatan prakondisi bersama masyarakat terutama untuk mendapatkan data dan informasi yang memadai untuk pengelolaan konflik Tatabatas di TNLW. Luasan lahan dalam kawasan di TNLW yang "dicaplok" menjadi kawasan hutan sehingga menjadi potensi konflik kurang lebih sekitar 713,21 ha. Yang paling luas di Desa Ramuk dan Katikuwai karena kedua desa tersebut terletak di dalam kawasan (desa enclave).
Sebagaimana hasil kesepakatan para pihak maka sudah dilakukan proses Tatabatas Ulang Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti sepanjang 72 km dari 150 km panjang batas temu gelang Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti. Hal ini mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat, karena proses Tata batas ulang sangat mereka nantikan sejak tahun 1998. Menurut informasi BPKH wilayah VIII Denpasar, proses lanjutan Tatabatas Ulang TNLW sampai temu gelang akan dilakukan pada bulan Juni 2007. * Spirit NTT, 10-16 Desember 2007.
Disadari bahwa berbagai upaya yang sudah dilakukan untuk perbaikan kondisi hutan belum berhasil karena kegiatan penanaman yang dilakukan di lahan umum atau lahan milik negara yang pada gilirannya menyebabkan tanggung jawab pemeliharaan sangat lemah dan kebijakan pengelolaan menjadi tidak jelas.
Oleh karena itu masyarakat sekitar kawasan TN Laiwanggi Wanggameti (TN LW) mengembangkan HUTAN KELUARGA. Hutan keluarga adalah usaha jangka panjang yang keberadaannya diharapkan akan tetap lestari hingga dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.
Hutan Keluarga dikembangkan dengan konsep, "Membawa hutan ke kebun". Oleh karena itu, lokasi pengembangan Hutan Keluarga berada di lahan milik (biasanya di kepala kebun). Tanaman yang dikembangkan pada Hutan Keluarga adalah tanaman hutan, baik jenis kayu mapun non kayu. Pengembangan Hutan Keluarga adalah program wajib bagi masyarakat sekitar kawasan TN LW. Luasan kepemilikan Hutan Keluarga sangat beragam, berkisar antara 0,25 hektar (ha) sampai dengan lima hektar setiap kepala keluarga (KK).
Manfaat Hutan Keluarga yang sudah dinikmati oleh masyarakat antara lain: Terpenuhinya kebutuhan pokok keluarga (kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak, sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Memperbaiki kesuburan tanah. Mengurangi pengambilan yang berlebihan terhadap hasil hutan.Tidak perlu jalan jauh ke hutan untuk mengambil hasil hutan.Menjadi pembatas lahan yang menjadi milik atau hak garap keluarga. Menambah pendapatan keluarga.
* Resolusi konflik
Keputusan Menteri Kehutanan No. 893/KPTS-II/1983 tentang TGHK di Kawasan Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti yang tidak akomodatif terhadap kepentingan masyarakat, berimplikasi terhadap konversi lahan masyarakat menjadi hutan, sehingga masyarakat merasa aksesnya terhadap hutan semakin terbatas. Konflik inipun telah berimplikasi pada semakin lunturnya rasa kepedulian, tanggungjawab serta kesadaran masyarakat sekitar kawasan untuk menjaga dan melestarikan hutan.
Bagaimana menemukan terobosan-terobosan baru sebagai bentuk solusi bersama yang lebih arif, maju dan adil? Tawaran yang mungkin menjadi pertimbangan bersama adalah mengembangkan model pengelolaan sumberdaya alam melalui sebuah skenario yang lebih sistematik dan berlandaskan pada konsep TATA PENGELOLAAN BERSAMA. Artinya, segala sumberdaya dan energi yang ada (dari semua pihak) harus dapat digerakkan secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan kawasan melalui peningkatan mutu partisipasi.
Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mulai merumuskan mekanisme pembagian peran, kewenangan dan tanggung jawab pada masing-masing pihak menuju pada satu titik tujuan bersama. Dengan demikian cara pandang yang sifatnya parsial yang melihat bahwa kepentingan masyarakat dan kelestarian itu tanggung jawab pemerintah semata harus diubah menjadi sebuah cara pandang yang komprehensif, semuanya harus dilihat sebagai kepentingan bersama.
Konsep ini sebenarnya berangkat dari pemikiran bahwa semua institusi adalah pelaku pembangunan, secara bersama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing yang bila energi-energi itu dipadukan akan menghasilkan sebuah kekuatan atau daya dorong yang cukup kuat bagi keberhasilan pembangunan itu sendiri.
Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan perlu diajak mengenali dan memahami semua sudut kepentingan secara rasional dan komprehensif. Dari sini diharapkan akan diikuti dengan meningkatnya rasa kepedulian dan tanggung jawab yang sama terhadap pengelolaan ekosistem kawasan secara utuh. Para pesengketa harus segera melupakan posisi, dan mulai berinisiatif mengembangkan gagasan atau konsep pengelolaan yang lebih memberikan peluang bagi semua pihak mengaktualisasikan peran nyatanya dalam pengelolaan ekosistem kawasan,dengan tetap menghormati rambu-rambu kebijakan yang lebih tinggi.
Gagasan dan prakarsa mencari bentuk penyelesaian sengketa senatiasa menjadi wacana diskusi di berbagai tingkatan, baik masyarakat, maupun oleh pengambil kebijakan dan para pemerhati lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan di TNLW telah diprakarsai oleh Pemda Sumba Timur (Dishut, Bapedalda), BKSDA, UPT, KOPPESDA, YTNS dan masyarakat dari 15 desa sekitar kawasan yang membentuk diri dalam KMPH dan FALP. Lembaga-lembaga tersebut mendapat dukungan dari Cornel Univercity, FF, World Neighbour, EWC (program pemetaan), CIFOR, ICRAF dan MFP-DFID.
Beberapa kesepakatan bersama pengelola kawasan TN LW-Masyarakat Sekitar TNLW-Pemda Sumba Timur dengan Departemen Kehutanan untuk mencari solusi bersama adalah sebagai berikut:
Departemen Kehutanan berupaya untuk segera membentuk Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti.
Sebelum terbentuknya Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, agar segera disusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional oleh BKSDA NTT I Kupang bersama Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, dan masyarakat dengan memanfaatkan data dan informasi bio-fisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada, sehingga diperoleh gambaran awal tentang zonasi Taman Nasional.
Proses tata batas akan segera dilaksanakan setelah ada kejelasan landasan hukum dan anggaran. Berdasarkan SK Menhut No. 32/Kpts-II/2001, tanggal 15 Maret 2001, tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, Bupati akan membentuk Panitia Tata Batas Kawasan Hutan di wilayahnya.
Usulan anggaran penataan batas diajukan oleh BKSDA NTT I Kupang kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII Denpasar, Bupati Sumba Timur dan Bupati Sumba Barat. Dirjen PHKA meneruskan kepada Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan.
Sebelum usulan anggaran pada point empat terealisasi, maka Departemen Kehutanan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dapat merancang kegiatan-kegiatan awal yang dapat dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat.
Berdasarkan hasil kesepakatan pada poit ke lima tersebut KOPPESDA bersama YTNS melakukan kegiatan prakondisi bersama masyarakat terutama untuk mendapatkan data dan informasi yang memadai untuk pengelolaan konflik Tatabatas di TNLW. Luasan lahan dalam kawasan di TNLW yang "dicaplok" menjadi kawasan hutan sehingga menjadi potensi konflik kurang lebih sekitar 713,21 ha. Yang paling luas di Desa Ramuk dan Katikuwai karena kedua desa tersebut terletak di dalam kawasan (desa enclave).
Sebagaimana hasil kesepakatan para pihak maka sudah dilakukan proses Tatabatas Ulang Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti sepanjang 72 km dari 150 km panjang batas temu gelang Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti. Hal ini mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat, karena proses Tata batas ulang sangat mereka nantikan sejak tahun 1998. Menurut informasi BPKH wilayah VIII Denpasar, proses lanjutan Tatabatas Ulang TNLW sampai temu gelang akan dilakukan pada bulan Juni 2007. * Spirit NTT, 10-16 Desember 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar