Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Hutanku gundul, mata airku kering

Spirit NTT 24-31 Desember 2007

SIANG itu hawa panas menyengat, tiupan angin yang sesekali terasa tidak mengurangi suhu yang semakin panas. Sejumlah pohon kayu putih berdiameter 30-40 centimeter yang tumbuh jarang di sekitar daerah itu semuanya berdaun kuning lalu gugur menyisakan ranting-ranting. Tiada rumput yang bergoyang yang ada hanya sekelompok kambing kurus milik petani yang terus mengembik menatap pijakannya yang telah berubah warna menjadi hitam berdebu.
Daerah itu baru saja dilumat sijago merah, bukit dan gunung semuanya tidak luput dari amukan api. Terbetik kabar kebakaran itu akibat kelalaian petani yang membakar lahan di siang bolong dan tidak mampu memadamkan api ketika merambati hutan sekitar.
Gundul dan gersang, siapa saja yang melewati daerah itu pasti memiliki penilaian yang sama. Kendati fenomena alam itu terasa seperti siksaan, warga daerah itu terus melakukan aktivitas seperti biasa. Seorang gembala yang bertelanjang dada berjalan ke arah bukit, jalanan setapak berdebu tidak mengurungkan semangat lelaki itu, kendati tidak beralas kaki. Berbekal sebilah parang yang disarungkan bersama sebuah suling kayu, ia terus melangkah mewujudkan tujuan.
Sudah tiga hari lelaki itu mencari empat ekor sapi miliknya yang menghilang setelah terjadi kebakaran, dikejauhan terdengar suling kayunya ditiup mendayu memanggil-manggil ternaknya, namun ternak kebanggaan orang Timor itu terus menghilang, mungkin telah berlari jauh menghindari siksaan kematian yang dibuat oleh tuan-tuannya.
Titik-titik sumber air di sekitar daerah itupun tinggal lumpur basah, ribuan bekas kaki ternak terlihat jelas menyisahkan genangan air berwarna kuning. Air tidak mengalir lagi tetapi hanya tergenang dibekas kaki ternak. Tidak jarang warga yang melintasi daerah itu, minum air genangan yang ada pada bekas kaki ternak. Air tidak jernih apalagi sehat, tetapi supaya tidak mati kehausan, air itu harus diminum dengan senang hati.
Daerah itu bernama Humusu, terletak di Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur. Warga sekitar beranggapan hutan harus dibakar untuk mendatangkan kesuburan dan cepat ditumbuhi rumput hijau sebagai pakan ternak.
Berkebun pun harus digunung dengan menebang dan merambati hutan. Kendati atas ulah itu, mereka harus menanggung siksaan panas yang panjang, sumber air yang kering dan ternaknya berpuasa selama berminggu-minggu bahkan menemui ajal.
Lonceng kematian telah berdentang, satu dua ternak dan satwa lainnya yang tidak berakal budi telah mati sia-sia, lantaran tidak mampu menyiasati keadaan, mereka mati kehausan dan lapar. Ternak-ternak itu mati sebagai isyarat kepada tuan-tuan pemilik akal budi, untuk bersikap lebih ramah kepada lingkungan sekitarnya.
Hutan yang digundulkan secara serentak di berbagai wilayah di kecamatan Insana Utara dan Miomaffo Timur, TTU, telah menghentikan aliran air di dua sungai besar disekitar daerah itu yakni Noel Kone dan Noel Manamas. Dua sungai berdiameter 30-60 meter itu telah kering. Habitat didalamnya berupa udang, ikan, belut, juga menunggu bunyi lonceng kematian, kalau bukan ditangkap manusia pasti akan mati tersiksa karena kehabisan air.
Aneh sungguh aneh, warga berdalih demi mendapat hasil panen yang banyak lalu hutan digunduli dan padang dibakar. Akibatnya berupa apa, itu tidak dipikirkan. Kasarnya, kelakuan itu sama saja dengan ulah seorang pencuri yang ingin mendapat hasil banyak, maka ia terus mencuri tanpa memikirkan akibatnya. Bedanya risiko pencuri adalah hotel prodeo, sementara risiko petani tebas bakar adalah kekeringan, panas yang panjang, kebakaran, musnahnya habitat lain, lalu longsor akibat banjir.
Bencana demi bencana terus berlalu, pasrahkah kita? Tidak, semuanya belum terlambat, cukup sudah penderitaan ini. Bapaku petani, ibuku petani, saudaraku petani yang ada dikampungku berubahlah, alam ini hanya dititipkan kepada kita, tanggung jawab kita adalah melestarikannya. Dengarlah suara-suara di padang gurun dari LSM, pemerintah dan pewarta lainnya, kita masih ada waktu. (yan meko/ntt on line)

Tidak ada komentar: