Laporan Okto Manehat, Spirit NTT
KALABAHI, SPIRIT--Kematian ibu melahirkan dan bayi di Kabupaten Alor cukup tinggi. Penyebabnya kesadaran masyarakat untuk mengurus kesehatan sangat rendah serta tidak memanfaatkan sarana kesehatan. Misalnya, banyak ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya di puskesmas tetapi pergi ke dukun.
Data 2006 menyebutkan kematian ibu sebanyak 17 orang dari 2.565 ibu melahirkan. Sementara bayi yang meninggal setelah lahir sebanyak 27 orang. Angka ini sudah menjadi suatu masalah, karena kasus kematian yang terjadi di atas 5 orang.
Data ini dibeberkan Pengelola Program UNICEF di Kantor Bappeda Alor, Abdulrahman Sang, S.Sos, M.Si, saat ditemui SPIRIT NTT di Kalabahi, Rabu (5/12/2007). Sang menjelaskan, kematian ibu melahirkan disebabkan pendarahan saat melahirkan, komplikasi penyakit dan sejumlah akibat lainnya.
Hal yang menjadi pemicunya, kata Sang, adalah kesadaran masyarakat akan kesehatan yang masih rendah, karena menurut ilmu kesehatan seorang ibu hamil ke bidan atau ke dokter untuk memeriksakan kehamilannya minimal empat kali. Di Alor, ibu-ibu hamil hanya satu sampai dua kali saja memeriksakan kehamilan sehingga mengalami berbagai persoalan, terutama pendarahan saat melahirkan, yang berakibat pada kematian.
Menurut Sang, realita di Alor banyak ibu hamil yang lebih memilih ke dukun ketimbang ke bidan atau puskesmas, apalagi dokter. Hal itu karena mereka dililiti masalah ekonomi sehingga perlu ada perhatian dari semua pihak di Alor. Dukun, kata Sang, hanya bisa membantu saat kelahiran, sedangkan pemeriksaan kesehatan selama hamil tidak dapat dideteksi oleh dukun yang hanya mengandalkan tangan dan keterampilan manual.
Minimnya pemeriksaan kesehatan saat kehamilan, kata Sang, bisa berdampak pada kematian bayi. Hal ini karena letak bayi tidak tepat pada jalan lahir, berbelitnya tali pusat pada rahim dan kendala lainnya. Untuk bayi yang lahir hidup kemudian meninggal dalam masa pertumbuhan, kata Sang, lebih disebabkan oleh asupan gizi yang kurang.
Terlepas dari itu semua, kata Sang, butuh komitmen dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan itu untuk memerangi hal itu. Diharapkan ke depan angka kematian ibu melahirkan dan bayi dapat diminimalisir, bahkan hilang dari bumi kenari.
Sang menjelaskan, tahun 2006, Pemkab Alor mengalokasikan dana untuk penanganan ibu dan anak sebesar Rp 120 juta, tapi 2007 menurun hanya Rp 50 juta. Padahal, kata Sang, program ini ada di bawah program upaya kesehatan masyarakat yang alokasi dananya mencapai Rp 4 miliar lebih. Namun dari alokasi itu untuk dukungan kegiatan kesehatan ibu dan anak hanya Rp 50 juta atau 0,01 persen. Dengan alokasi anggaran demikian, ujar Sang, maka masalah kesehatan ibu dan anak di daerah ini belum dijadikan suatu prioritas dalam penanganannya, padahal masalah ini sangat serius.
Sang mengharapkan semua stakeholder di Kabupaten Alor melihat ini sebagai suatu masalah dan dapat mendorong agar ada dukungan politis dari DPRD dengan memberikan porsi yang tepat kepada pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak di ini daerah. Mingguan Spirit NTT, 17-23 Desember 2007.
Data 2006 menyebutkan kematian ibu sebanyak 17 orang dari 2.565 ibu melahirkan. Sementara bayi yang meninggal setelah lahir sebanyak 27 orang. Angka ini sudah menjadi suatu masalah, karena kasus kematian yang terjadi di atas 5 orang.
Data ini dibeberkan Pengelola Program UNICEF di Kantor Bappeda Alor, Abdulrahman Sang, S.Sos, M.Si, saat ditemui SPIRIT NTT di Kalabahi, Rabu (5/12/2007). Sang menjelaskan, kematian ibu melahirkan disebabkan pendarahan saat melahirkan, komplikasi penyakit dan sejumlah akibat lainnya.
Hal yang menjadi pemicunya, kata Sang, adalah kesadaran masyarakat akan kesehatan yang masih rendah, karena menurut ilmu kesehatan seorang ibu hamil ke bidan atau ke dokter untuk memeriksakan kehamilannya minimal empat kali. Di Alor, ibu-ibu hamil hanya satu sampai dua kali saja memeriksakan kehamilan sehingga mengalami berbagai persoalan, terutama pendarahan saat melahirkan, yang berakibat pada kematian.
Menurut Sang, realita di Alor banyak ibu hamil yang lebih memilih ke dukun ketimbang ke bidan atau puskesmas, apalagi dokter. Hal itu karena mereka dililiti masalah ekonomi sehingga perlu ada perhatian dari semua pihak di Alor. Dukun, kata Sang, hanya bisa membantu saat kelahiran, sedangkan pemeriksaan kesehatan selama hamil tidak dapat dideteksi oleh dukun yang hanya mengandalkan tangan dan keterampilan manual.
Minimnya pemeriksaan kesehatan saat kehamilan, kata Sang, bisa berdampak pada kematian bayi. Hal ini karena letak bayi tidak tepat pada jalan lahir, berbelitnya tali pusat pada rahim dan kendala lainnya. Untuk bayi yang lahir hidup kemudian meninggal dalam masa pertumbuhan, kata Sang, lebih disebabkan oleh asupan gizi yang kurang.
Terlepas dari itu semua, kata Sang, butuh komitmen dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan itu untuk memerangi hal itu. Diharapkan ke depan angka kematian ibu melahirkan dan bayi dapat diminimalisir, bahkan hilang dari bumi kenari.
Sang menjelaskan, tahun 2006, Pemkab Alor mengalokasikan dana untuk penanganan ibu dan anak sebesar Rp 120 juta, tapi 2007 menurun hanya Rp 50 juta. Padahal, kata Sang, program ini ada di bawah program upaya kesehatan masyarakat yang alokasi dananya mencapai Rp 4 miliar lebih. Namun dari alokasi itu untuk dukungan kegiatan kesehatan ibu dan anak hanya Rp 50 juta atau 0,01 persen. Dengan alokasi anggaran demikian, ujar Sang, maka masalah kesehatan ibu dan anak di daerah ini belum dijadikan suatu prioritas dalam penanganannya, padahal masalah ini sangat serius.
Sang mengharapkan semua stakeholder di Kabupaten Alor melihat ini sebagai suatu masalah dan dapat mendorong agar ada dukungan politis dari DPRD dengan memberikan porsi yang tepat kepada pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak di ini daerah. Mingguan Spirit NTT, 17-23 Desember 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar