Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

* Manusia Raksasa Sumba, Mungkinkah Pernah Hidup?


Edisi: 07 - 13 Maret 2011
No. 259 Tahun V


DARI tiga puluh cerita rakyat Sumba Timur yang berhasil dihimpun, sebagian besar bercerita tentang mulimongga (manusia raksasa), tentang meurumba (singa dan harimau). Di Sumba Barat ada cerita tentang gajah.

Dalam image orang Sumba diyakini bahwa manusia raksasa itu memiliki tinggi badan 4 meter, dan sekali melangkah bisa mencapai beberapa ratus meter. Ini sebuah hiperbolisme tentunya, mengingat Homo Neanderthal yang ditemukan di Dusseldorf, Jerman Barat, pada 1856 mempunyai tinggi badan hanya 210 cm, berat badan 150 kg, serta volume otak 2000cc (orang Eropa modern 1480-1550 cc).

Manusia raksasa Sumba Barat disebut maghurumba atau meurumba, sedangkan di Sumba Timur disebut mulimongga dengan ciri-ciri bulu panjang, gigi sebesar kapak, sekali melangkah beberapa ratus meter, karena itu suku Kambera menyebutnya "punggu pala" yang artinya potong kompas.

Sifat-sifat manusia raksasa Sumba, yakni bodoh, takut anjing, takut mendengar suara tokek, kanibalistis. Hal ini mengingatkan kita pada Homo Soloensis yang hidup 429.000 - 236.000 tahun yang lalu, yang menurut Dr. Frans Dahler dalam bukunya Asal dan Tujuan Manusia juga kanibalis. Kecuali itu tutur kata manusia raksasa Sumba dikatakan belum sempurna sama seperti anak-anak yang baru belajar berbicara, mengingatkan kita pada Homo Neanderthal yang hidup 250.000 tahun yang lalu juga halnya sama.

Beberapa cerita burung Sumba Timur menyebutkan, sekitar tahun 1927 masih ditemukan satu mulimongga di Desa Komba Pari, Kecamatan Lewa, kemudian juga di Kecamatan Mangili, bahkan ada marga Mangili menyebutkan bahwa mereka turunan mulimongga. Sekitar 25 tahun yang lalu di Desa Watumbelar, Kecamatan Lewa, dikabarkan ditemukan rangka manusia yang tinggi badannya 4 meter.

Di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, dekat tanjung Keroso, ada nama tempat Maghurumba. Diyakini di sinilah kuburan manusia raksasa yang angker, kerena itu kalau liwat ke situ tidak boleh menyebut-nyebut namanya agar tidak mendapat bencana. Di Sumba Timur ada juga tempat yang disebut Meurumba, namun secara etimologis/etiologis nama itu mengandung arti kucing hutan raksasa yang merupakan gambaran singa dan harimau, sehingga besar kemungkinan di Sumba pernah hidup singa, harimau dan gajah. (Baca: Belum Saatnyakah Teori Wallace Itu Ditinjau Kembali?/Frans W Hebi, Dian No.5 Th XI, 10-8-1984).

Ada jenis raksasa lain dalam cerita Kodi yang disebut lengga ghughu (kuku panjang dan lengkung) yang ada kesamaannya dengan raksasa Jawa 600.000 tahun yang lalu. Lengga Ghughu sudah bisa bertutur kata secara sempurna tetapi masih bodoh sehingga diperdaya oleh dua anak kecil yang ibunya dibunuh raksasa itu. Lengga Ghughu membakar ubi di bawah pahon, sementara dua anak malang berada di atas pohon. Semua ubi yang kecil dimakan lebih dahulu oleh raksasa tadi, yang besar ditaruh di belakang. Anak-anak menjolok semua ubi yang di belakang. Ketika raksasa berpaling ke belakang untuk mengambil ubi-ubi yang besar, ternyata tidak ada satupun yang tersisa.

Raksasa yang bodoh mencurigai semua anggota tubuhnya kalau-kalau mereka yang berbuat curang. Ditanyainya satu per satu kemudian dijawab sendiri olehnya. Misalnya, "belakang, kaukah yang mencuri ubi saya?". "Tidak, saya malaham berkorban ditimpa matahari ketika kau menggali ubi", sendiri menjawab. Setelah semua anggota tubuh ditanyai, kecuali pantat, Lengga Ghughu berkesimpulan bahwa pantatlah yang berbuat curang, dan karenanya tidak perlu ditanyai lagi. Dia meruncing batang tamiang yang ujungnya dimasukkan ke pantat seraya menusuk-nusukkannya hingga tewas.

Masih banyak cerita raksasa Sumba. Dari mana makhluk-makhluk itu? Sebenarnya bukan hanya Sumba yang memiliki mitos tentang manusia raksasa. Hampir di seluruh dunia. Di India namanya Yeti, di Cina Meh-The, Kaptar dari Rusia, Alma dari Mongolia, dan Bigfoot dari Amerika Utara.

Menurut para ahli purbakala, empat kali bumi mengalami pencairan es. Zaman es pertama dimulai 600.000 hingga 500.000 tahun yang lalu. Jaman es kedua, 480.000 hingga 420.000. Jaman es ketiga dan keempat (terakhir) berlangsung antara 230.000 - 180.000, dan 180.000 - 10.000 tahun yang lalu. Dalam keadaan es manusia purba cenderung mencari daerah yang lebih panas antara lain ke Indonesia yang kerika itu masih sedaratan dengan benua asia. Dapat dimengerti mengapa begitu banyak fosil manusia purba di Indonesia, khususnya di Jawa seperti Manusia Solo (Homo Soloensis), Manusia Trinil, Manusia Sangiran, dan Manusia Majokerto.

Kiranya manusia-manusia inilah yang dimitoskan dan dijelmakan dalam dongeng-dongeng orang Sumba. Raksasa Jawa, misalnya, ditafsirkan hidup antara 600.000 - 543.000 tahun yang lalu (zaman es pertama), ternyata seumur dengan manusia Australopithecus Boisei di Tanzania Afrika Selatan hasil temuan Dr. Leaky.

Contoh lain, gajah yang disebut-sebut dalam dongeng Sumba, ternyata bukan sekadar dongeng. Pada 26-8-1978 tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkheologi Nasional Jakarta yang terdiri dari Dr. RP Soejono Rokhus Due Awe, Agung Sukardjo, Suroso, serta Dr. Sartono dari Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung, menemukan mandibula (rahang) gajah. Stegedon ini ditemukan di Watumbaka 14 km dari Waingapu.

Oleh Sartono dalam artikelnya, "Penemuan Fosil Stegedon di Pulau Sumba (NTT)" dinamakannya Stegedon Sumbaensis. Itu merupakan rentetan penemuan stegedon Sompoensis Sulawasi (1964), Stegedon Timorensis dari Timor (1969), Stegedon Trigonocephalus Florensis dari Flores (1975), dan Stegedon Mindanensis dari Mindanau Filipina (Amerta Berkala Arkheologi Nasional Jakarta 1981, hl. 54).

Mendahului penemuan di Watumbaka, pada tahun 1977 di Kecamatan Lewa, ketika Kornelis Ng. Bani menggali sumur, dia menemukan fosil gajah pada kedalaman 4,64 meter. Begitu pula ketika menggali sumur yang dekat sumur lama pada tahun1981 dan 1982 lagi-lagi dia menemukan fosil yang sama dengan gadingnya dalam bentuk mini. Fosil-fosil ini dikirim ke Jakarta untuk diteliti. Kornelis menyimpan satu gigi geraham dengan ukuran 75 mm, tinggi 80 mm dan lebar 30 mm.

Dari Jakara lewat Kepala Bagian Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur, Panji Manu, diperoleh berita bahwa fosil di Lewa menunjukkan jenis gajah kerdil yang hidup 45.000 tahun yang lalu, dan di tempat penemuan itu dulunya rawa-rawa. Hasil temuan fosil gajah baik di Watumbaka maupun di Lewa, termasuk stegedon-stegedon di Indonesia Timur lainnya, sebenarnya membuktikan bahwa teori Wallace yang dikenal dengan garis khayalnya yang membagi dunia fauna Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur tidak berlaku lagi.

Jika temuan rangka purba di Kecamatan Rindi Kabupaten Sumba Timur tahun 2005 lalu membawa hasil, berarti Homo Sumbaensis akan menambah khazana perfosilan di Indonesia. Selain itu apa yang menjadi mitos selama ini akan menjadi kenyataan seperti halnya dengan dongeng tentang gajah. Tapi, hingga saat ini belum ada berita balik, baik dari Bandung maupun dari Jakarta tentang hasil penelitian tersebut.
(http://www.waingapu.com)

Tidak ada komentar: