Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sisi Lain dari Ujian Nasional


SPIRIT NTT/MAYELUS DORI BASTIAN
CORAT-CORET--Para siswa-siswi sekolah menengah atas di Kota Kupang merayakan kelulusan ujian nasional (UN) dengan melakukan aksi corat-coret, Senin (15/6/2009).

Spirit NTT, 22-28 Juni 2009

UJIAN
Nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Atas sudah diumumkan. Di sisi lain pro dan kotra mengenai ujian nasional terus berlangsung.
Banyak pihak meminta agar UN ditiadakan mengingat banyaknya kecurangan yang terjadi pada saat pelaksanaan ujian serta layak tidaknya ujian nasional dijadikan standar kelulusan para siswa.Bahkan, Selasa 29 Mei Komunitas Airmata Guru dan Education Forum yang dipimpin artis Sophia Latjuba menghadap Komisi X DPR meminta agar UN ditiadakan karena tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan siswa dalam belajar.

Sebenarnya apakah yang kita harapkan dari hasil UN? Seperti layaknya sebuah tes, kita semua tentu mengharapkan ujian ini memberikan gambaran akan kemampuan siswa yang sebenarnya. Dengan kata lain, hasil ujian itu menunjukkan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang telah dipelajarinya selama ini di sekolah.
Dan, seperti yang telah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional, hasil tes tersebut dijadikan standar kelulusan.


Kembali kepada fitrahnya sebagai sebuah tes, benarkah UN dapat memberikan gambaran tentang kemampuan siswa yang sebenarnya? Terlepas dari semua kecurangan yang terjadi ketika pelaksanaan UN, saya ingin menyoroti sisi lain dari ujian tersebut dalam upaya mempertimbangkan layakkah ujian nasional dijadikan standar kelulusan? Hampir dapat dipastikan, seorang yang sedang mengahadapi tes akan mengalami kecemasan.Hanya saja, tingkat kecemasan itu sendiri berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang sangat tinggi, sedang, atau rendah. Dalam dunia pendidikan fenomena ini dikenal dengan nama test anxiety (kecemasan menghadapi tes). Bagaimana pengaruh kecemasan menghadapi tes ini terhadap hasil tes?

Sebuah penelitian Hill (1980) yang melibatkan 10.000 ribu siswa sekolah dasar dan menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes gagal menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas. Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali.Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang melanda mereka saat menghadapi tes.

Efek buruk dari kecemasan terhadap tes ini umumnya terlihat pada tes yang terstandar, aptitude tes dan tes-tes pendidikan lainnya. Oleh sebab itu penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian besar tes bukanlah cerminan kemampuan siswa yang sebenarnya.Mungkin akan timbul pertanyaan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah hal sebaliknya. Artinya, siswa memang tidak siap menghadapi ujian sehingga timbul kecemasan menghadapinya.

Serangkaian penelitian pun dilakukan untuk mencari tahu kebenaran kemungkinan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa buruknya hasil ujian siswa semata-mata disebabkan oleh kondisi dan situasi tes yang membuat mereka cemas, dan bukan oleh lemahnya penguasaan materi pelajaran oleh siswa yang bersangkutan.

Faktor-faktor penyebab timbulnya kecemasan menghadapi tes
Sejumlah penelitian yang mendalam dan dilaksanakan dalam kurun waktu sepuluh tahun mencatat tiga faktor utama pemicu kecemasan menghadapi tes yaitu (1) keterbatasan waktu; (2) tingkat kesulitan materi tes; (3) instruksi tes, bentuk pertanyaan dan jawaban tes dan hal-hal mekanis tes lainnya.Di bawah tekanan waktu yang ditentukan untuk menjawab soal-soal yang disediakan siswa akan menjadi mudah panik dan salah satu efek yang ditimbulkan oleh kepanikan tersebut adalah kegagalan mengingat atau mengekspresikan hal-hal yang sebenarnya telah mereka kuasai.

Lebih lanjut, siswa mungkin juga mendapatkan tingkat kesulitan soal yang sangat tinggi, sehingga memicu kecemasan mereka yang berakibat tidak hanya soal yang sulit saja yang tidak dapat mereka jawab, tapi juga soal-soal yang mudah yang sebenarnya sudah mereka kuasai. Instruksi tes yang panjang atau sulit dipahami oleh siswa juga berpotensi menimbulkan kecemasan ini.Kecemasan terhadap tes ini tidak hanya dirasakan oleh siswa pada saat tes berlangsung, bahkan telah dirasakan beberapa hari sebelum tes tersebut. Wujud dari rasa cemas ini bermacam-macam, seperti jantung berdebar lebih keras, keringat dingin, tangan gemetar, tidak bisa berkonsentrasi, lupa semua hal yang telah dipelajari atau tidak bisa tidur malam sebelum tes.

Dengan kondisi seperti ini, sudah dapat diduga siswa tidak menampilkan kemampuan mereka yang sebenarnya pada saat tes. Maka tidak mengherankan jika ada siswa yang dikenal cukup pintar ternyata tidak lulus UN atau SPMB.Selain dari ketiga hal di atas beberapa hal penting lainnya juga dicatat sebagai pemicu kecemasan menghadapi ujian. Di antaranya adalah meningkatnya kecemasan menghadapi tes seiring dengan tingginya jenjang pendidikan. Artinya, siswa SMA yang menghadapi ujian akan menghadapi tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada siswa SMP.

Selanjutnya, penelitian yang melibatkan berbagai budaya (cross cultural research) membuktikan bahwa makin besar peran sebuah tes, makin besar pula tingkat kecemasan yang ditimbulkannya terhadap peserta tes.

Tes yang berperan menentukan lulus atau tidak lulusnya seseorang untuk jenjang pendidikan tertentu berpotensi besar membuat cemas peserta yang mengikutinya. Bayangan buruk seperti tanggapan dari lingkungan sosial, malu dan kehilangan muka memperparah efek kecemasan menghadapi tes tersebut. Melihat lebih dekat kondisi ujian nasional, terutama ujian nasional tingkat SMA bukan tidak mungkin semua faktor di atas berperan cukup besar. Terutama ketakutan akan gagalnya menempuh tes tersebut serta besarnya resiko yang akan diterima.Seperti diungkapkan di atas, besarnya pengaruh kecemasan menghadapi tes ini menyebabkan sebagian besar tes tidak memperlihatkan kemampuan siswa yang sebenarnya.

Akan halnya UN, sampai saat ini memang kita tidak tahu pasti seberapa besar pengaruh kecemasan menghadapi tes ini berperan pada kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian karena memang diperlukan penelitian khusus untuk membuktikannya.Akan tetapi, menyimak phenomena serupa, bukan tidak mungkin nilai UN bukanlah cerminan kemampuan siswa yang sebenarnya.Dengan kondisi ini, sangatlah rapuh kalau kita mendasarkan lulus atau tidaknya seorang siswa atas dasar sesuatu yang sebenarnya bukanlah kemampuannya.Kita seolah berpegang pada sesuatu yang sebenarnya belum tentu bisa dipercaya.

Mencermati hal ini, amatlah wajar permintaan dari Education Forum dan Komunitas Air Mata Guru untuk meniadakan ujian nasional skarena dianggap tidak layak sebagai standar kelulusan. Tinggallah sekarang bagaimana pemerintah menyikapinya. Haruskah kita terus membuat sebuah keputusan penting, lulus tidak lulusnya siswa, atas dasar sesuatu yang belum tentu menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya? Bagi saya, menjadikan ujian nasional sebagai standar kelulusan bagaikan bercermin pada kaca yang buram. Jika kaca tersebut dibersihkan, akan terlihat wajah yang jauh lebih jelas dan tentu saja memperlihatkan bayangan sebenarnya. (Diana Chitra Hasan, Dosen UBH, Mahasiswa Master of Education, Monash University, Australia)


Tidak ada komentar: