Sumba Tengah Butuh Perda Pendidikan yang Khusus
Spirit NTT, 11-17 Mei 2009
Banyak orang berkomentar seputar masa depan Sumba Tengah. Tidak sedikit yang pesimis. Banyak juga yang tetap berpikir positif. Sumba Tengah lahir dari pemikiran yang positif, dari harapan dan kepercayaan yang tidak pernah luntur. Persoalan apa yang perlu mendapat perhatian untuk membangun Sumba Tengah saat ini? Berikut pandangan dari Drs. Agustinus Umbu Rauta, seorang tokoh senior, yang dulunya banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Dari awal perjuagan hingga sekarangpun, orang selalu membandingkan dua kabupaten baru yang baru lahir, dan orang selalu mengaggap remeh Sumba Tengah untuk dapat maju cepat!
Undang-undang pembentukan kabupaten baru mensyaratkan PAD yang cukup tinggi. Di sini sebenarnya tersirat prasyarat kemiskinan. Justru karena Sumba Tengah miskin, makanya harus dimekarkan. Kalau saja Sumba Tengah tidak menjadi kabupaten, maka akan tertinggal puluhan tahun lagi. Saya pikir orang-orang di pusat melihat bahwa kalau Sumba Tengah tidak dibantu maka akan semakin tertinggal.
Menyangkut Sumba Barat Daya, kalau Sumba Barat Daya sudah makmur untuk apa lagi mekar? Sebaiknya kita berhenti sudah membanding-bandingkan apa yang tidak perlu. Mari kita berkonsentrasi pada apa yang kita miliki untuk kita kelola menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Kalau ada yang perlu kita sinergikan itu kan malah sangat baik.
Apa yang kita punya sebagai modal untuk menjalankan kabupaten ini?
Sekali lagi terlalu naif untuk mengatakan bahwa Sumba Tengah tidak punya apa-apa. Saya cukup mengikuti sejarah pembentukkan pemerintahan di pulau Sumba ini. Pada tahun 1958 pulau Sumba yang menjadi satu unit pemerintahan tersendiri dibagi menjadi dua kabupaten yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur. Sumba Barat dipimpin oleh raja Loura yaitu Lede Kalumbang sebagai kepala pemerintahan sementara. Apa yang Sumba Barat punya waktu itu untuk hidup sebagai sebuah kabupaten? Jalan belum ada yang diaspal. Tidak ada satupun kendaraan. Kota Waikabubak itu panjangnya cuma 500 meter. Coba bandingkan dengan apa yang sudah ada di sumba Tengah sekarang ini untuk memulai diri menjadi kabupaten. Jalan mulus serta kendaraan banyak. Banyak yang kita bisa miliki untuk berhasil. Jadi, jangan dulu kita katakan Sumba Tengah tidak punya apa-apa kalau hanya melihat dengan kasat mata. Lahan bersama manusianya saja sudah cukup bagi kita untuk meretas hidup yang lebih baik.
Yang tidak kasat mata yang ada pada masyarakat, modal sosial apa yang kita punyai?
Ada buku baru yang terbit ditulis oleh Pak Hugo Kalembu. Isinya ada tentang sepintas perjalanan perjuangan pemekaran dua kabupaten di Sumba. Dia mengakui bahwa hawa perjuangan yang sebenarnya ada di Sumba Tengah. Hal ini kiranya menjadi gambaran bahwa kita masyarakat pejuang. Kita punya semangat untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik. Kalau kita tidak punya semangat dan daya juang, kita sudah mundur mendengar cemohan orang tentang ketidaklayakan kita menjadi daerah otonom baru. Gambaran kebersamaan, semangat dan daya juang kita bisa juga kita lihat dalam cara kita bekerja. Cara kita menarik batu kubur, menarik tiang, menanam padi. Kita selalu melakukannya secara bersama-sama dalam kegembiraan dengan nyanyian-nyanyian. Atau bahkan orang menyanyi bersama kalau sedang mengendarai kuda memuat hasil dari sawah. Itu adalah modal utama kita untuk mengolah alam kita yang dinilai kurang menghasilkan. Selanjutnya sudah ada orang yang tepat yang berdiri di atas batu agar masyarakat kita benar-benar menjadi satu komando satu tujuan.
Bapak berkecimpung cukup lama dalam dunia pendidikan. Apa yang ingin bapak sampaikan?
Semua orang tahu pendidikan sangat penting. Membangun pendidikan sama dengan membangun peradaban. Namun seperti yang kita alami bersama pendidikan masih morat marit. Berbicara tentang pendidikan di Sumba Tengah tidak lepas juga dari sistem pendidikan yang lebih besar, dan kenyataannya persoalan pendidikan terlalu kompleks. Oleh karena itu dengan adanya Kabupaten Sumba Tengah apa lagi dalam era otonomi daerah ini, kita dapat lebih fokus untuk melihat persoalan pendidikan kita. Di tingkatan praktisi, salah satunya mempersoalkan pendidikan di Sumba Tengah adalah keterpencaran penduduk. Sumba Tengah sangat luas. Pola-pola pemukiman tradisional yang berjauhan antara satu dengan yang lain adalah tantangan tersendiri. Untuk pemerataan pendidikan pemerintah harus membangun lebih banyak SD mini. Biar 10 murid saja, yang penting ada gurunya. Misalnya satu desa luasnya 50 km2 dan hanya tersedia satu SD kita harus perhitungkan kekuatan berjalan anak. Misalnya jarak sekolah ke rumah 4 km dengan medan yang sulit maka dalam satu hari si anak yang baru kelas 1 atau kelas 2 berjalan 8 km. Jadi SD mini ini misalnya untuk anak-anak kelas 1 sampai 3 saja dengan konsentrasi baca tulis dan hitung saja. Tidak peduli dengan tetek bengek kurikum segala. Nanti setelah itu selesai baru digabung ke SD yang lengkap. Gurunya biar tamatan SMP saja. Pemerintah bisa memfasilitasi DIKLAT khusus untuk mereka. Untuk hal ini kita sangat membutuhkan kearifan dari penguasa.
Bagaimana Tentang Kurikulum Nasioanal yang terus berubah?
Tidak usah kita dipusing dengan metode dan kurikulum yang setiap saat berubah. Paling penting sekarang adalah anak kelas 1-3 bisa membaca menulis dan menghitung. Kalau ini sudah selesai, selanjutnya akan menjadi mudah. Kesalahan umum sekarang adalah karena anak kelas 4 tidak bisa membaca menulis, akibat akan terjadi saling menyalahkan di antara para guru. Kelas 4 salahkan guru kelas 3, kelas 5 salahkan guru kelas 4 dan seterusnya, sehingga guru SMP menyalahkan guru SD.
Selain CALISTUNG (membaca, menulis dan menghitung) model pendidikan praktis yang konteks dengan Sumba Tengah kira-kira apa?
Kalau pendidikan mau menghasilkan manusia yang paripurna, maka hasilnya adalah manusia yang pintar, rajin, baik dan sehat. Yang dididik adalah hati otak dan tangannya. Hasilnya adalah manusia yang hidup dari keringatnya sendiri, yang tidak menindas orang lain. Untuk yang praktis dan kontekstual, Sumba Tengah ini masih tergolong desa. Akan baik kalau satu orang anak sekolah diwajibkan memiliki satu pohon pisang, 10 pohon mahoni dan satu ekor ayam untuk dipelihara. Selama ini pelajaran di sekolah sangat jauh dari lingkungan, semua tentang Jawa saja, malah tentang Sumba tidak ada. Kalau bisa juga sekalian diprogramkan dalam porseni untuk dipertandingkan lomba nyanyian daerah yang lama atau yang gubahan baru. Dengan demikian kita tetap hidup dalam lingkungan budaya kita serta melestarikannya. Untuk merangsang motivasi anak untuk lebih berusaha adalah dengan membentuk apresiasi terhadap prestasi mereka. Anak yang berprestasi di tingkatan kecamatan hingga nasional diarak keliling kota dan diberi hadiah yang pantas. Untuk orang-orang muda yang belum punya pekerjaan mereka dikondisikan supaya memelihara babi atau ternak yang lain sehingga kalau saatnya kawin tidak mengharapkan orang tua lagi. Mereka harus punya cangkul atau alat-alat bertani lainnya. Satu hari tidak usah terlalu banyak mencangkul cukup 2 2 meter saja. Hitung saja berapa yang sudah dicangkul selama satu bulan.
Adakah persoalan dalam dunia pendidikan yang perlu dibuat menjadi PERDA?
Khusus di Sumba Tengah kita membutuhkan PERDA pendidikan yang khusus. Misalnya, tentang absensi guru. Guru kita terlalu banyak urusan di luar sekolah terutama urusan adat. Waktu untuk mengajar banyak terbuang untuk urusan adat. Kalau bisa ada sanksi bagi guru-guru yang meninggalkan sekolah pada jam-jam pelajaran. Tentunya akan menjadi pertimbangan pembuat kebijakan sehingga semua menjadi sinergi. Ya kesemuanya itu tergantung dari kearifan pembuat kebijakan untuk melihat persoalan yang ada di Sumba Tengah. Kembali lagi semoga kita dapat memilih pemimpin yang tahu benar akan manusia dan alam Sumba Tengah dan memiliki kecerdasan untuk meramu potensi di Sumba Tengah menjadi kekuatan untuk maju. (robertus umbu tayi/ talora07.wordpress.com)
Spirit NTT, 11-17 Mei 2009
Banyak orang berkomentar seputar masa depan Sumba Tengah. Tidak sedikit yang pesimis. Banyak juga yang tetap berpikir positif. Sumba Tengah lahir dari pemikiran yang positif, dari harapan dan kepercayaan yang tidak pernah luntur. Persoalan apa yang perlu mendapat perhatian untuk membangun Sumba Tengah saat ini? Berikut pandangan dari Drs. Agustinus Umbu Rauta, seorang tokoh senior, yang dulunya banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Dari awal perjuagan hingga sekarangpun, orang selalu membandingkan dua kabupaten baru yang baru lahir, dan orang selalu mengaggap remeh Sumba Tengah untuk dapat maju cepat!
Undang-undang pembentukan kabupaten baru mensyaratkan PAD yang cukup tinggi. Di sini sebenarnya tersirat prasyarat kemiskinan. Justru karena Sumba Tengah miskin, makanya harus dimekarkan. Kalau saja Sumba Tengah tidak menjadi kabupaten, maka akan tertinggal puluhan tahun lagi. Saya pikir orang-orang di pusat melihat bahwa kalau Sumba Tengah tidak dibantu maka akan semakin tertinggal.
Menyangkut Sumba Barat Daya, kalau Sumba Barat Daya sudah makmur untuk apa lagi mekar? Sebaiknya kita berhenti sudah membanding-bandingkan apa yang tidak perlu. Mari kita berkonsentrasi pada apa yang kita miliki untuk kita kelola menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Kalau ada yang perlu kita sinergikan itu kan malah sangat baik.
Apa yang kita punya sebagai modal untuk menjalankan kabupaten ini?
Sekali lagi terlalu naif untuk mengatakan bahwa Sumba Tengah tidak punya apa-apa. Saya cukup mengikuti sejarah pembentukkan pemerintahan di pulau Sumba ini. Pada tahun 1958 pulau Sumba yang menjadi satu unit pemerintahan tersendiri dibagi menjadi dua kabupaten yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur. Sumba Barat dipimpin oleh raja Loura yaitu Lede Kalumbang sebagai kepala pemerintahan sementara. Apa yang Sumba Barat punya waktu itu untuk hidup sebagai sebuah kabupaten? Jalan belum ada yang diaspal. Tidak ada satupun kendaraan. Kota Waikabubak itu panjangnya cuma 500 meter. Coba bandingkan dengan apa yang sudah ada di sumba Tengah sekarang ini untuk memulai diri menjadi kabupaten. Jalan mulus serta kendaraan banyak. Banyak yang kita bisa miliki untuk berhasil. Jadi, jangan dulu kita katakan Sumba Tengah tidak punya apa-apa kalau hanya melihat dengan kasat mata. Lahan bersama manusianya saja sudah cukup bagi kita untuk meretas hidup yang lebih baik.
Yang tidak kasat mata yang ada pada masyarakat, modal sosial apa yang kita punyai?
Ada buku baru yang terbit ditulis oleh Pak Hugo Kalembu. Isinya ada tentang sepintas perjalanan perjuangan pemekaran dua kabupaten di Sumba. Dia mengakui bahwa hawa perjuangan yang sebenarnya ada di Sumba Tengah. Hal ini kiranya menjadi gambaran bahwa kita masyarakat pejuang. Kita punya semangat untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik. Kalau kita tidak punya semangat dan daya juang, kita sudah mundur mendengar cemohan orang tentang ketidaklayakan kita menjadi daerah otonom baru. Gambaran kebersamaan, semangat dan daya juang kita bisa juga kita lihat dalam cara kita bekerja. Cara kita menarik batu kubur, menarik tiang, menanam padi. Kita selalu melakukannya secara bersama-sama dalam kegembiraan dengan nyanyian-nyanyian. Atau bahkan orang menyanyi bersama kalau sedang mengendarai kuda memuat hasil dari sawah. Itu adalah modal utama kita untuk mengolah alam kita yang dinilai kurang menghasilkan. Selanjutnya sudah ada orang yang tepat yang berdiri di atas batu agar masyarakat kita benar-benar menjadi satu komando satu tujuan.
Bapak berkecimpung cukup lama dalam dunia pendidikan. Apa yang ingin bapak sampaikan?
Semua orang tahu pendidikan sangat penting. Membangun pendidikan sama dengan membangun peradaban. Namun seperti yang kita alami bersama pendidikan masih morat marit. Berbicara tentang pendidikan di Sumba Tengah tidak lepas juga dari sistem pendidikan yang lebih besar, dan kenyataannya persoalan pendidikan terlalu kompleks. Oleh karena itu dengan adanya Kabupaten Sumba Tengah apa lagi dalam era otonomi daerah ini, kita dapat lebih fokus untuk melihat persoalan pendidikan kita. Di tingkatan praktisi, salah satunya mempersoalkan pendidikan di Sumba Tengah adalah keterpencaran penduduk. Sumba Tengah sangat luas. Pola-pola pemukiman tradisional yang berjauhan antara satu dengan yang lain adalah tantangan tersendiri. Untuk pemerataan pendidikan pemerintah harus membangun lebih banyak SD mini. Biar 10 murid saja, yang penting ada gurunya. Misalnya satu desa luasnya 50 km2 dan hanya tersedia satu SD kita harus perhitungkan kekuatan berjalan anak. Misalnya jarak sekolah ke rumah 4 km dengan medan yang sulit maka dalam satu hari si anak yang baru kelas 1 atau kelas 2 berjalan 8 km. Jadi SD mini ini misalnya untuk anak-anak kelas 1 sampai 3 saja dengan konsentrasi baca tulis dan hitung saja. Tidak peduli dengan tetek bengek kurikum segala. Nanti setelah itu selesai baru digabung ke SD yang lengkap. Gurunya biar tamatan SMP saja. Pemerintah bisa memfasilitasi DIKLAT khusus untuk mereka. Untuk hal ini kita sangat membutuhkan kearifan dari penguasa.
Bagaimana Tentang Kurikulum Nasioanal yang terus berubah?
Tidak usah kita dipusing dengan metode dan kurikulum yang setiap saat berubah. Paling penting sekarang adalah anak kelas 1-3 bisa membaca menulis dan menghitung. Kalau ini sudah selesai, selanjutnya akan menjadi mudah. Kesalahan umum sekarang adalah karena anak kelas 4 tidak bisa membaca menulis, akibat akan terjadi saling menyalahkan di antara para guru. Kelas 4 salahkan guru kelas 3, kelas 5 salahkan guru kelas 4 dan seterusnya, sehingga guru SMP menyalahkan guru SD.
Selain CALISTUNG (membaca, menulis dan menghitung) model pendidikan praktis yang konteks dengan Sumba Tengah kira-kira apa?
Kalau pendidikan mau menghasilkan manusia yang paripurna, maka hasilnya adalah manusia yang pintar, rajin, baik dan sehat. Yang dididik adalah hati otak dan tangannya. Hasilnya adalah manusia yang hidup dari keringatnya sendiri, yang tidak menindas orang lain. Untuk yang praktis dan kontekstual, Sumba Tengah ini masih tergolong desa. Akan baik kalau satu orang anak sekolah diwajibkan memiliki satu pohon pisang, 10 pohon mahoni dan satu ekor ayam untuk dipelihara. Selama ini pelajaran di sekolah sangat jauh dari lingkungan, semua tentang Jawa saja, malah tentang Sumba tidak ada. Kalau bisa juga sekalian diprogramkan dalam porseni untuk dipertandingkan lomba nyanyian daerah yang lama atau yang gubahan baru. Dengan demikian kita tetap hidup dalam lingkungan budaya kita serta melestarikannya. Untuk merangsang motivasi anak untuk lebih berusaha adalah dengan membentuk apresiasi terhadap prestasi mereka. Anak yang berprestasi di tingkatan kecamatan hingga nasional diarak keliling kota dan diberi hadiah yang pantas. Untuk orang-orang muda yang belum punya pekerjaan mereka dikondisikan supaya memelihara babi atau ternak yang lain sehingga kalau saatnya kawin tidak mengharapkan orang tua lagi. Mereka harus punya cangkul atau alat-alat bertani lainnya. Satu hari tidak usah terlalu banyak mencangkul cukup 2 2 meter saja. Hitung saja berapa yang sudah dicangkul selama satu bulan.
Adakah persoalan dalam dunia pendidikan yang perlu dibuat menjadi PERDA?
Khusus di Sumba Tengah kita membutuhkan PERDA pendidikan yang khusus. Misalnya, tentang absensi guru. Guru kita terlalu banyak urusan di luar sekolah terutama urusan adat. Waktu untuk mengajar banyak terbuang untuk urusan adat. Kalau bisa ada sanksi bagi guru-guru yang meninggalkan sekolah pada jam-jam pelajaran. Tentunya akan menjadi pertimbangan pembuat kebijakan sehingga semua menjadi sinergi. Ya kesemuanya itu tergantung dari kearifan pembuat kebijakan untuk melihat persoalan yang ada di Sumba Tengah. Kembali lagi semoga kita dapat memilih pemimpin yang tahu benar akan manusia dan alam Sumba Tengah dan memiliki kecerdasan untuk meramu potensi di Sumba Tengah menjadi kekuatan untuk maju. (robertus umbu tayi/ talora07.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar