SPIRIT NTT/NOVI.LV/2008
VIEW kota Labuan Bajo, memesona.
Spirit NTT, 11-17 Mei 2009
JANGAN membayangkan Vara sebagai gadis manis, yang tampak segar bak bidadari seusai mandi. Karena Vara yang bernama lengkap Varanus Komodoensis ini memiliki ekor dan bercakar panjang. Ganas, tak beriba, pemakan sesama, pun anaknya sendiri.
Kalau Visit Musi berarti, visit Vira. Visit Labuhan Bajo berarti visit Vara. Tanggal 29 September 2008, pagi-pagi sekali, pesawat Merpati membawa kami menuju Pulau Dewata. No direct flight from Jakarta to Labuan Bajo. Dengan jadwal berangkat dari Bandara Cengkareng pukul 06.10 pagi, kami perkirakan, kami memiliki cukup waktu untuk hunting tiket ke Labuan Bajo di Bandara Ngurah Rai. Tapi, pesan tiket on the last minute, sangat tidak disarankan.
Jadilah kami ke loket Trigana air, lalu diberi tiket Transnusa dan berakhir di pesawat Riau Air. Aneh memang, hanya demi menunjukkan aliansi nama-nama perusahaan saja penumpang terpaksa dibuat bingung. Tapi tak apalah, pesawat Fokker 50 yang membawa kami, cukup nyaman untuk ditumpangi selama kurang lebih 1 jam 40 menit. Kira-kira pukul setengah 12 mendaratlah kami di Bandara Komodo.
Euphoria yang sama kurasakan mendesak ubun-ubun, setiap kali kaki ini menapaki daerah baru. Teringat pesan Paulo Coelho dalam bukunya Like the Flowing River yang menyebutkan, "The best tour guide is someone who lives in the place, knows everything about it, is proud of his/her city, but doesn't work for any agency."
We finally found excellent companions. Pak Dus, yang bukan seorang guide dari agen perjalanan manapun namun bekerja disebuah bank lokal di Labuhan Bajo. Pak Magribi, yang pemilik perahu motor dan orang Bugis asli. Pak Herman, yang asisten Pak Magribi, yang orang asli Labuhan Bajo (Baca: Flores), dan mahir mendayung.
Tak banyak yang bisa dilakukan di hari pertama kedatangan kami, kecuali mencoba menghafal sudut-sudut kota Labuan Bajo yang tak besar, serta menikmati sore dengan rintik hujan dan secangkir kopi flores yang terasa sangat nikmat di antara pemandangan menakjubkan dari atas penginapan milik Pak Adrian. Tak bisa kugambarkan secara detail bagaimana nikmatnya sore di atas penginapan seharga 450 ribu per malam itu.
Hari kedua, pukul 8 pagi, Pak Magribi telah menunggu kami di Pelabuhan Tilong. Itinerary kami kala itu cukup tiga pulau saja, Rinca, Kelor dan Bidadari. Pulau Komodo yang jaraknya tak dekat itu sengaja tidak kami masukan ke dalam daftar, karena kami tak ingin bermalam di kapal, dan hasil surfing menunjukkan bahwa tak banyak yang beruntung mendapati Komodo di Pulau Komodo.
Decak kagum memenuhi ruang hatiku kala perahu melaju menuju Loh Buaya di Pulau Rinca, yang memakan waktu kurang lebih 2.5 jam dari Pelabuhan Tilong. Kala itu, di sebuah kronologer di internet sempat kutuliskan, "This is one of my finest days."
Sesampainya di Pulau Rinca, persyaratan administratif segera dilakukan. Kami tak ingin kesiangan tentu saja, panasnya yang sangat terik akan membuat Komodo malas dan lebih memilih bersembunyi di bawah rindangnya pohon ketimbang menyambut kedatangan kami. Benar saja, dengan ditemani Pak da Costa, seorang guide dari Taman Nasional Komodo, kami hanya bisa menyaksikan komodo-komodo tua yang bermalas-malasan di bawah rumah-rumah panggung yang diperuntukkan sebagai penginapan, kantor sekaligus tempat tinggal sementara bagi para staf di konservasi itu.
Trekking selama kurang lebih satu jam kami lakukan di Pulau yang beriklim kering dengan curah hujan rata-rata yang hanya 50-60 cm yang terjadi di bulan Desember - Maret itu. Tak ayal, bila padang rumput, pohon ara menjadi pemandangan khas pulau ini. Sepanjangan perjalanan, beberapa komodo betina tampak sabar menunggui telor-telornya yang tertanam dalam, kurang lebih dua meter di bawah tanah. Bukan karena sayang ternyata, induk komodo ini tak ingin melepas kesempatan pertamanya untuk memangsa anak-anak-nya segera setelah telor-telor ini menetas. Karenanya, kegesitan komodo kecil untuk memanjat pohon menjadi keahlian yang dimiliki sejak lahir.
Konon memasuki usia dewasa komodo akan kehilangan kemahirannya ini. Lalu bagaimana anak-anak komodo bisa menikmati kasih sayang induknya? Ntahlah, aku yang kala itu memikirkan bagaimana mungkin hal ini terjadi, telah lupa menanyakannya pada Pak da Costa. Nature follows its course, tak perlu membantahnya lagi.
Setelah menjumpai kerbau dan beberapa komodo, Megapodius Reintwardtii sepasang Burung Gosong menampakkan dirinya. Burung yang hidupnya selalu berdua sehidup semati ini seolah memberikan pesan moral kepada kami untuk selalu setia pada pasangan.
Kata-kataku tak kan cukup menceritakan kisah-kisah yang terjadi di Pulau Rinca. Berikutnya, Pulau Kelor yang tak sempat kami kunjungi dan Pulau Bidadari yang dipenuhi wisatawan manacanegara yang bersnorkling dan berjemur.
Di hari kedua, acara kami sangatlah santai, setelah bersilaturahmi ke rumah Pak Magribi yang hari itu berlebaran, kami melaju ke Gua Batu Cermin. Gua yang dipenuhi stalagtit dan stalagmit itu berada tak jauh dari Labuan Bajo. Fosil-fosil ikan dan siput menjadi saksi bagaimana wilayah yang berada diperbukitan Labuhan Bajo itu dulunya adalah dasar samudera.
Perjalanan menikmati Gua Batu Cermin tidak memakan waktu lama. Siangnya, Pak Magribi kembali mengantar kami dengan perahunya. Kali ini Pulau Kanawa menjadi pilihan kami. Di sepanjang perjalanan, beberapa kelompok lumba-lumba tampak beraksi di depan kami. Mereka sedang exited, sebagaimana kami yang tiba-tiba dipenuhi senyuman kala melihat mereka berloncatan di atas laut yang tenang. What a wonderful day!
Kanawa, pulau kecil yang tampak seperti tikus dari kejauhan itu berpasir putih dan dikelilingi oleh batuan koral. Tempat yang pas untuk snorkeling. Partner trekking terpaksa berubah menjadi partner snorkeling untuk beberapa saat. Tak banyak ikan berwarna warni muncul di depan kami. Mungkin karena kami yang tak berani berada jauh-jauh dari bibir pantai. Kupikir gambar-gambar di Pulau Kanawa lebih merepresentasikan bagaimana perasaan kami saat itu, ketimbang kata-kata yang tak menentu ini.
Malam itu, dalam perjalanan pulang ke pelabuhan Tilong, kami berataplangit cerah. Sesekali kami menengadah ke atas. Jajaran bintang-bintang kecil nampak sangat jelas. Scorpius yang melintasi beberapa bulan itu mulai condong ke barat. Di Utara konstelasi Cygnus nampak indah. Aku tersenyum pada Vega yang cemerlang. "Kita harus ke Labuan Bajo lagi kalau ingin melihat Milky Way dengan jelas," beberapa kali partner trekking bergumam.
Aku masih larut dalam kenikmatan malam. Ini adalah malam terakhir kami di Labuan Bajo. Satu surga lagi harus kutinggalkan. Tak sengaja, dalam hati aku bergumam lirih, "Naomi, kamu harus melihat dunia. Belajarlah banyak pada alam karena semesta ini adalah gurumu." (novi.lv/2008)
VIEW kota Labuan Bajo, memesona.
Spirit NTT, 11-17 Mei 2009
JANGAN membayangkan Vara sebagai gadis manis, yang tampak segar bak bidadari seusai mandi. Karena Vara yang bernama lengkap Varanus Komodoensis ini memiliki ekor dan bercakar panjang. Ganas, tak beriba, pemakan sesama, pun anaknya sendiri.
Kalau Visit Musi berarti, visit Vira. Visit Labuhan Bajo berarti visit Vara. Tanggal 29 September 2008, pagi-pagi sekali, pesawat Merpati membawa kami menuju Pulau Dewata. No direct flight from Jakarta to Labuan Bajo. Dengan jadwal berangkat dari Bandara Cengkareng pukul 06.10 pagi, kami perkirakan, kami memiliki cukup waktu untuk hunting tiket ke Labuan Bajo di Bandara Ngurah Rai. Tapi, pesan tiket on the last minute, sangat tidak disarankan.
Jadilah kami ke loket Trigana air, lalu diberi tiket Transnusa dan berakhir di pesawat Riau Air. Aneh memang, hanya demi menunjukkan aliansi nama-nama perusahaan saja penumpang terpaksa dibuat bingung. Tapi tak apalah, pesawat Fokker 50 yang membawa kami, cukup nyaman untuk ditumpangi selama kurang lebih 1 jam 40 menit. Kira-kira pukul setengah 12 mendaratlah kami di Bandara Komodo.
Euphoria yang sama kurasakan mendesak ubun-ubun, setiap kali kaki ini menapaki daerah baru. Teringat pesan Paulo Coelho dalam bukunya Like the Flowing River yang menyebutkan, "The best tour guide is someone who lives in the place, knows everything about it, is proud of his/her city, but doesn't work for any agency."
We finally found excellent companions. Pak Dus, yang bukan seorang guide dari agen perjalanan manapun namun bekerja disebuah bank lokal di Labuhan Bajo. Pak Magribi, yang pemilik perahu motor dan orang Bugis asli. Pak Herman, yang asisten Pak Magribi, yang orang asli Labuhan Bajo (Baca: Flores), dan mahir mendayung.
Tak banyak yang bisa dilakukan di hari pertama kedatangan kami, kecuali mencoba menghafal sudut-sudut kota Labuan Bajo yang tak besar, serta menikmati sore dengan rintik hujan dan secangkir kopi flores yang terasa sangat nikmat di antara pemandangan menakjubkan dari atas penginapan milik Pak Adrian. Tak bisa kugambarkan secara detail bagaimana nikmatnya sore di atas penginapan seharga 450 ribu per malam itu.
Hari kedua, pukul 8 pagi, Pak Magribi telah menunggu kami di Pelabuhan Tilong. Itinerary kami kala itu cukup tiga pulau saja, Rinca, Kelor dan Bidadari. Pulau Komodo yang jaraknya tak dekat itu sengaja tidak kami masukan ke dalam daftar, karena kami tak ingin bermalam di kapal, dan hasil surfing menunjukkan bahwa tak banyak yang beruntung mendapati Komodo di Pulau Komodo.
Decak kagum memenuhi ruang hatiku kala perahu melaju menuju Loh Buaya di Pulau Rinca, yang memakan waktu kurang lebih 2.5 jam dari Pelabuhan Tilong. Kala itu, di sebuah kronologer di internet sempat kutuliskan, "This is one of my finest days."
Sesampainya di Pulau Rinca, persyaratan administratif segera dilakukan. Kami tak ingin kesiangan tentu saja, panasnya yang sangat terik akan membuat Komodo malas dan lebih memilih bersembunyi di bawah rindangnya pohon ketimbang menyambut kedatangan kami. Benar saja, dengan ditemani Pak da Costa, seorang guide dari Taman Nasional Komodo, kami hanya bisa menyaksikan komodo-komodo tua yang bermalas-malasan di bawah rumah-rumah panggung yang diperuntukkan sebagai penginapan, kantor sekaligus tempat tinggal sementara bagi para staf di konservasi itu.
Trekking selama kurang lebih satu jam kami lakukan di Pulau yang beriklim kering dengan curah hujan rata-rata yang hanya 50-60 cm yang terjadi di bulan Desember - Maret itu. Tak ayal, bila padang rumput, pohon ara menjadi pemandangan khas pulau ini. Sepanjangan perjalanan, beberapa komodo betina tampak sabar menunggui telor-telornya yang tertanam dalam, kurang lebih dua meter di bawah tanah. Bukan karena sayang ternyata, induk komodo ini tak ingin melepas kesempatan pertamanya untuk memangsa anak-anak-nya segera setelah telor-telor ini menetas. Karenanya, kegesitan komodo kecil untuk memanjat pohon menjadi keahlian yang dimiliki sejak lahir.
Konon memasuki usia dewasa komodo akan kehilangan kemahirannya ini. Lalu bagaimana anak-anak komodo bisa menikmati kasih sayang induknya? Ntahlah, aku yang kala itu memikirkan bagaimana mungkin hal ini terjadi, telah lupa menanyakannya pada Pak da Costa. Nature follows its course, tak perlu membantahnya lagi.
Setelah menjumpai kerbau dan beberapa komodo, Megapodius Reintwardtii sepasang Burung Gosong menampakkan dirinya. Burung yang hidupnya selalu berdua sehidup semati ini seolah memberikan pesan moral kepada kami untuk selalu setia pada pasangan.
Kata-kataku tak kan cukup menceritakan kisah-kisah yang terjadi di Pulau Rinca. Berikutnya, Pulau Kelor yang tak sempat kami kunjungi dan Pulau Bidadari yang dipenuhi wisatawan manacanegara yang bersnorkling dan berjemur.
Di hari kedua, acara kami sangatlah santai, setelah bersilaturahmi ke rumah Pak Magribi yang hari itu berlebaran, kami melaju ke Gua Batu Cermin. Gua yang dipenuhi stalagtit dan stalagmit itu berada tak jauh dari Labuan Bajo. Fosil-fosil ikan dan siput menjadi saksi bagaimana wilayah yang berada diperbukitan Labuhan Bajo itu dulunya adalah dasar samudera.
Perjalanan menikmati Gua Batu Cermin tidak memakan waktu lama. Siangnya, Pak Magribi kembali mengantar kami dengan perahunya. Kali ini Pulau Kanawa menjadi pilihan kami. Di sepanjang perjalanan, beberapa kelompok lumba-lumba tampak beraksi di depan kami. Mereka sedang exited, sebagaimana kami yang tiba-tiba dipenuhi senyuman kala melihat mereka berloncatan di atas laut yang tenang. What a wonderful day!
Kanawa, pulau kecil yang tampak seperti tikus dari kejauhan itu berpasir putih dan dikelilingi oleh batuan koral. Tempat yang pas untuk snorkeling. Partner trekking terpaksa berubah menjadi partner snorkeling untuk beberapa saat. Tak banyak ikan berwarna warni muncul di depan kami. Mungkin karena kami yang tak berani berada jauh-jauh dari bibir pantai. Kupikir gambar-gambar di Pulau Kanawa lebih merepresentasikan bagaimana perasaan kami saat itu, ketimbang kata-kata yang tak menentu ini.
Malam itu, dalam perjalanan pulang ke pelabuhan Tilong, kami berataplangit cerah. Sesekali kami menengadah ke atas. Jajaran bintang-bintang kecil nampak sangat jelas. Scorpius yang melintasi beberapa bulan itu mulai condong ke barat. Di Utara konstelasi Cygnus nampak indah. Aku tersenyum pada Vega yang cemerlang. "Kita harus ke Labuan Bajo lagi kalau ingin melihat Milky Way dengan jelas," beberapa kali partner trekking bergumam.
Aku masih larut dalam kenikmatan malam. Ini adalah malam terakhir kami di Labuan Bajo. Satu surga lagi harus kutinggalkan. Tak sengaja, dalam hati aku bergumam lirih, "Naomi, kamu harus melihat dunia. Belajarlah banyak pada alam karena semesta ini adalah gurumu." (novi.lv/2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar