Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Busana Sikka, Paduan Warna Menunjuk Usia...


SPIRIT NTT/WWW.ALFONSADEFLORES.COM
TENUN IKAT SIKKA--Peragawati-peragawati ibukota mengenakan kostum tenun ikat Sikka dengan pewarna alami saat fashion show di Plennary Hall Jakarta Convention Center-Jakarta, 4-8 Juni 2008 lalu.


Spirit NTT, 18-24 Mei 2009

SEPERTI
halnya dengan daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia, kebudayaan masyarakat Sikka mencerminkan adanya pengaruh-pengaruh asing seperti Bugis, Cina, Portugis, Belanda, Arab dan India. Di bidang agama tampak benar pengaruh Portugis dan Belanda yang membawa agama Katolik dan Protestan serta tatabusana barat yang dewasa ini sudah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat. Sedangkan pengaruh India amat nyata pula hasil tenunan, yakni pada pembagian bidang-bidang dan corak yang diilhami oleh kain patola. Walaupun demikian masyarakat Sikka tetap mampu mempertahankan ungkapan budaya tradisionalnya lewat busana serta tatariasnya.

Di masa lalu suku Sikka mengenal tingkatan sosial yakni bangsawan dan masyarakat umum. Namun dewasa ini hal tersebut sudah ditinggalkan. Pada tatacara berbusana tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara keturunan ningrat dan rakyat, kecuali mungkin pada halus tidaknya tenunan, jahitan dan ukiran-ukiran perangkat perhiasannya.


Busana Adat Pria
Perangkat busana adat pria secara umum terdiri atas kain penutup badan dan penutup kepala. Kain atau baju penutup badan terdiri atas labu bertangan panjang, biasanya berwarna putih mirip kemeja gaya barat. Selembar lensu sembar Apa pendapat Anda melihat peragawati-peragawati ibukota mengenakan kostum Tenun Ikat rancangan desainer nasional di samping ini?

Menurut saya, karya-karya tangan-tangan manusia ini hanya butuh kesempatan lebih banyak baik dari segi produksi maupun promosi. Lihat saja motif dan model pakaian tenun ikat di samping tidak kalah hebat dibandingkan bahan konveksi dari luar negeri sekalipun.

Kalau saja sentra-sentra Tenun Ikat Pewarna Alam tumbuh subur dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah bukan tidak mungkin menjadi Sentra Industri Kecil yang berkembang dan bisa bersaing. Dampaknya, bukan hanya secara ekonomi tetapi tenun ikat akan semakin dikenal secara luas.

Ibu Alfonsa Horeng, STP menyadari betul bahwa mengikuti fashion show adalah salah satu sarana promosi yang sangat tepat sehingga Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun yang memproduksi tenun ikat pewarna alam merebut pangsa pasar di negara sendiri. Berikut ini kami suguhkan STILL (Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun) saat mengikuti Fashion Show yang diselenggarakan Desainer Ghea S. Panggabean di Plennary Hall Jakarta Convention Center Jakarta dengan tema Pekan Produk Budaya Indonesia pada 04-08 Juni 2008 yang lalu.diselendangkan pada dada, bercorak flora atau fauna dalam teknik ikat lungsi.

Pada bagian pinggang dikenakan utan atau utan werung yaitu sejenis sarung berwarna gelap, bergaris biru melintang. Tatawarna kain Sikka umumnya tampil dalam nada-nada gelap seperti hitam atau biru tua dengan ragi yang lebih cerah berwarna putih, kuning atau merah.

Istilah untuk sarung selain utan adalah lipa. Di masa lalu bangsawan memakai lipa dengan ragi yang masih baru, ragi werung. Destar, tutup kepala pria terbuat dari kain batik soga dan dikenakan dengan pola ikatan tertentu sehingga ujung-ujungnya turun menempel pada kedua sisi wajah dekat telinga.
Perhiasan yang penting tetapi jarang dikenakan adalah keris yang disisipkan pada pinggang sebagai pertanda keperkasaan dan kesaktian.

Busana Adat Wanita
Seperti halnya pada kaum pria, busana adat wanita Sikka tidak (lagi) mengenal perbedaan strata sosial yang mencolok. Bagian-bagian busana wanita Sikka terdiri atas penutup badan berupa labu liman berun, berbentuk mirip kemeja berlengan panjang terbuat dari sutera atau kain yang bagus mutunya.

Labu wanita ini terbuka sedikit pada pangkal leher guna memudahkan pemakaian sebab polanya tidak menyerupai kemeja atau blus yang lazim berkancing pada bagian depannya. Diatas labu dikenakan dong, sejenis selendang yang diselempangkan melintang dada.


Kain sarung wanita, utan lewak, dihiasi dengan ragam-ragam flora, fauna dalam lajur-lajur bergaris. Utan lewak, arti harfiahnya adalah kain tiga lembar, berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan antara warna-warna merah, coklat, putih, biru dan kuning secara melintang. Warna-warna kain wanita melambangkan berbagai suasana hati atau kekuatan-kekuatan magis. Hitam misalnya biasanya dipakai untuk melayat orang meninggal.

Merah dan coklat melambangkan keagungan dan status sosial yang tinggi. Paduan warna juga menunjuk pada usia. Warna-warna yang gelap biasanya dipakai oleh orang tua, sedangkan warna-warna cerah digemari oleh kaum muda. Demikian pula hal dengan warna dong, apabila gelap mencerminkan duka, sebaliknya warna-warna muda adalah untuk suasana suka ria, pesta dan sebagainya.


Cara mengenakan utan selain sebagaimana tersebut di atas juga dengan menyampirkan sebagian pinggir kain di atas bahu dengan melintangkan tangan kanan (atau kiri sesuai pembawaan masing-masing) di bawah dada seperti hendak menjepit kain. Perlambang warna dan cara-cara menyandang utan berlaku pula pada kaum pria Sikka.


Hiasan kepala tersemat pada sanggul atau konde dalam bentuk tusuk konde biasanya terbuat dari ukiran keemasan. Perhiasan pada rambut dewasa ini sudah amat bervariasi karena pengaruh-pengaruh dari suku-suku lainnya di Nusa Tenggara Timur.

Pada pergelangan tangan dipakai kalar yang terbuat dari gading dan perak. Penggunaanya disesuaikan dengan suasana peristiwa seperti upacara-upacara atau pesta-pesta adat. Jumlah kalar gading dan perak (atau emas) biasanya genap. Yakni dua atau empat gading dengan dua perak pada setiap tangan. Kaum berada atau ningrat biasanya mengenakan lebih banyak, namun tetap dalam bilangan genap seperti enam, delapan dan seterusnya. Perhiasan lainnya adalah kilo yang tergantung pada telinga. (www.gelur.wordpress.com)


Tidak ada komentar: