SPIRIT NTT/BENNY DASMAN
POHON SINYAL--Di Oepoli, pohon asam ini disebut sebagai pohon sinyal. Jaraknya lima kilometer sebelah barat Oepoli. Jika hendak berkomunikasi menggunakan seluler, warga Oepoli mendatangi pohon ini, termasuk para tentara yang menjaga kawasan perbatasan RI-Timor Leste yang tersebar pada empat pos penjagaan. Usai menelepon, warga memanfaatkan waktu untuk bersantai di sekitar pohon itu sambil menikmati minuman dan makanan ringan sebagaimana tampak dalam gambar yang dipotret, Selasa (14/10/2008).
Spirit NTT, 22-28 Desember 2008, Laporan Benny Dasman
MENIKMATI 'lekuk tubuh' Oepoli, sebuah desa terpencil di Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terasa 'menyiksa.' Badan pegal. Melelahkan. Tapi saya tidak berprasangka buruk. Apalagi terburu-buru mencoret wilayah penghasil madu lebah terbesar di Kupang itu dari daftar petualangan. Semangat tetap empat lima.
Menuju Oepoli melalui dua jalur. Pertama, jalur trans Kupang-SoE (ibu kota Kabupten Timor Tengah Selatan)-Kefamenanu (ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara). Poros ini berjarak 110 kilometer, ditempuh dalam waktu tiga jam, menggunakan bus umum. Sementara rute Kefamenanu-Oepoli menelan waktu lima jam. Jalan tanah menyusuri lereng-lereng bukit. Menantang maut.
Kedua, poros Kupang-Oelamasi-Naikliu-Amfoang Utara. Lebih menantang lagi. Jalan bebatuan, sempit. Melewati beberapa sungai yang tidak berjembatan. Bahkan satu sungai dilewati sampai 99 kali. Tak heran waktu tempuh poros ini menggunakan kendaraan umum (bus) bisa sampai 24 jam. Jauuuuh. Melelahkan.
Pagi itu, Senin (13/10/2008), saya memilih jalur Kupang-SoE-Kefamenanu. Menumpang bus reguler. Berangkat dari Kupang pukul 08.00 wita, tiba di Kefamenanu pukul 11.25 wita. Istirahat sejenak di Kefamenanu. Pukul 12.15 wita, saya memulai petualangan dari Kefamenanu menuju Oepoli. Beranda Indonesia karena letaknya di kawasan perbatasan dengan Timor Leste, wilayah enclave Distrik Oeccuse. Inilah magnet utama mengapa saya berpetualangan ke Oepoli. Merekam jejak kehidupan sesama saudara 'Merah Putih' di kawasan perbatasan itu.
Siang terasa menyengat. Menghampiri Oepoli, mata mulai disuguhi ketandusan dan kegersangan tanpas batas. Kesan pertama yang tertangkap, memang sebuah suasana alam yang kurang bersahabat, serba kritis dan cenderung 'kejam.' Jalan mulai 'dipagari' topografi kemiringan. Matapun terpaku pada kondisi jalan yang rusak parah, lekak lekuk, berbatu-batu. Sopir mobil, Tarsi Ratrigis, konsentrasi penuh.
Pukul 17. 10 wita, saya ditemani Silvester Kibe, pemandu, tiba di Pastoran Oepoli. Duduk-duduk sebentar di teras. Melemaskan raga yang kaku gara-gara kelamaan duduk. Menuturkan lagi cerita-cerita 'aneh' seputar transportasi Kefamenanu-Oepoli yang dilukiskan bak neraka. "Kalau musim hujan Oepoli ini sangat terisolasi. Yang menderita ibu-ibu kalau persediaan pembalut habis. Kalau Om Niko Ledoh, sopir bus Merpati, ke Kefamenanu, banyak ibu-ibu titip uang untuk membeli pembalut," Silvester membuka cerita rada goyon tapi nyata. Sore itu tak ada agenda peliputan. Menghabiskan waktu dan malam untuk beristirahat. Memulihkan stamina yang loyo.
***
SELASA (14/10/2008) pagi. Saya 'menyapa’ bumi Oepoli dari bukit Tataum- Netemnanu. Hamparan sawah tak bertepi membentang luas di hadapanku. Subur. Pun laut biru berarus garang. Sebuah ikon untuk melegendakan Oepoli sebagai 'tanah terjanji.'
Dikawal Romo Bento dan Servas, warga Tataum, saya berusaha melengkap koleksi tentang Oepoli. Di Utara memperlihatkan rumah-rumah warga Natemnanu beratapkan daun rumbia. Berdinding bebak. Sejuk di musim panas, prihatin di musim hujan. Bocor! Panorama yang memperlihatkan buah keterpencilan dan keterisolasian. Membiarkan warga melakoni hidup dengan karakter keras. Tak cukup sebagai magnet untuk menarik perhatian sang 'bos' di singgasana. Padahal butuh sedikit sentuhan saja, eksotisme Oepoli, yang kini berhabitat alamiah, akan berubah menjadi 'surga.' Banyak orang merebutnya.
"Sentuhan dari siapa. Pejabat saja jarang ke sini. Sehabis panen lahan sawah ini 'libur' karena ketiadaan air. Kalaupun ada yang mengelolanya untuk menanam sayur, dia pasti kewalahan untuk menjaga ternak liar. Hanya sekali panen saja. Tapi hasilnya bisa memenuhi kebutuhan dua tahun ke depan," ujar Servas.
Servas menggelengkan kepala. Tanda keprihatinan. Menatap jauh memandang tanah kelahiran yang membentang luas di hadapannya. "Kami begini saja, bertani sekenanya. Tak ada penyuluhan-penyuluhan. Berdasarkan apa yang kami tahu. Kalau sudah panen, ya hasilnya dijual murah. Yang lain disimpan," tuturnya.
Pemandangan di Natemnanu Selatan tak jauh berbeda. Tak ada profil rumah mentereng. Citra keterbatasan dan keterpencilan semakin tampak. Tapi mereka bukan orang 'terpencil.' Mereka tampil agresif menangkap 'mangsa' seperti rusa, babi hutan, mencabik-cabik’ dagingnya, menampilkan profil manusia yang berpotensi. Daya jelajah memburu rusa menampilkan daya pukau yang luar biasa.
Sayang, keterbatasan sarana dan prasarana serta keuangan memaksa lahan subur Oepoli masih 'menggigil kedinginan.' Menanti sentuhan teknologi. Padahal dengan sedikit saja polesan berupa 'gincu' teknologi, potensi-potensi yang masih tidur itu sejatinya sangat layak dijual. Realitasnya memang seperti itu. Tapi fakta berbicara lain. Komoditi dijual murah, menyerah di tangan renternir. Itu potensi di darat.
Pesona laut, lebih wah lagi. Eksotik. Bentangan laut dihiasi batu-batu warna dan pasir putih yang bersih. Aset wisata itu makin disempurnakan oleh keberadaan hijauan bakau. Sangat tepat dikunjungi oleh para wisatawan pecinta burung. "Di sini bisa dijumpai ratusan spesies burung, beberapa jenis di antaranya bersifat endemik. Belum lagi di Pulau Batek,” ujar Frans Bria, warga Oepoli.
Dari deretan panjang potensi wisata itu ternyata semuanya masih menggigil’. Tak banyak yang terekspos ke permukaan. Nyaris tak terdengar. Tak banyak dijamah. Melengkapi penderitaan Oepoli sebagai kawasan perbatasan terpencil.
Pemkab Kupang dan masyarakat setempat belum mampu menangguk berkah pariwisata secara optimal. Gemerincing dolar sangat jauh dari kesan riuh. Bahkan, bisa disebut sunyi senyap. Ini tantangan besar bagi Pemkab Kupang untuk mendandan Oepoli sebagai kawasan perbatasan pesona wisata. Bahwa masih ada 'surga' pariwisata selain Taman Nasional Komodo. Dan, surga itu adalah Oepoli. Ini bukan mimpi.
"Pantai Oepoli sangat berpotensi untuk 'disulap’ menjadi obyek wisata. Apalagi dekat Pulau Batek. Kalau orang ke Oepoli, pasti ke Batek juga. Bisa dikemas sepaket," ujar Yan Benu, warga Kefamenanu, pengawas proyek di Pulau Batek.
Yan Benu tidak bombastis. Sebuah pernyataan murni lahir dari rasa kekaguman menyata. Ternyata Pantai Oepoli bisa menaut hati para wisatawan yang maniak berpetualang. "Karena keterbatasan infrastruktur, khususnya akses jalan menuju Oepoli, potensi wisata yang ada masih tertidur pulas. Jangankan dikunjungi wisatawan, nama obyek itu saja belum sampai ke telinga mereka," kata Yan Benu dengan nada getir.
Ya, Oepoli, menyembulkan daratan yang subur. Pantai yang eksotik. Sayang, perlu perjuangan berat untuk menikmatinya menjadi berharga. Jalan akses menuju Oepoli sangat jauh dari kesan layak karena kurang dijelajahi kendaraan umum. "Kami memang sangat miskin dan infrastruktur. Ini kendala terberat kami dalam membangun Oepoli sehingga tetap terisolir,” ujar Romo Bento, seorang rohaniwan di Oepoli. Dia berkata jujur.
Selain Oepoli, di wilayah Kabupaten Kupang masih terdapat bentangan dataran rendah yang cukup luas dan subur. Sebut saja daratan rendah Tarus, Oesao, Nunkurus, Pariti dan Sulamu. Juga masih tertidur pulas. Tapi, dari semuanya, Oepoli menyimpan keprihatinan yang mendalam. Padahal wilayah di Kecamatan Amfoang Timur itu berbatasan langsung dengan Distrik Ambenu Negara Timor Leste, menebarkan aroma budaya yang unik. Juga lahan wisata.
Berdasarkan penuturan sejarah dari tokoh adat masyarakat Netemnanu Utara, penduduk Distrik Ambenu (Negara Timor Leste) merupakan bagian atau masih memiliki hubungan kekeluargaan. Kondisi ini dapat dibuktikan melalui upacara adat- istiadat yang sama dan juga pada acara-acara perkawinan.
Setiap tahun, sebelum terjadi gejolak kemerdekaan tahun 1990, prosesi adat pasca panen masih tetap dilaksnakan dalam bentuk upacara-upacara adat untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
Untuk mempererat hubungan kekeluargaan tersebut, masyarakat Amfoang menyerahkan sebagian lahan di Naktuka kepada masyarakat Ambenu. Pasca kemerdekaan Timor Leste kegiatan tersebut terhenti disebabkan oleh penjagaan ketat kedua negara. Prosesi budaya ini belum menyembul ke permukaan. Masih menggigil.
Penyebabnya hanya satu. Akses ke wilayah seluas 273,03 kilometer persegi itu cukup sulit, masih terisolasi. Posisinya jauh dari jantung Kota Kupang. Pun kondisi geografisnya tidak menguntungkan. Kondisi ini menyebabkan transportasi melalui darat sangat sulit karena harus melewati banyak sungai yang belum dilengkapi fasilitas jembatan.
Buntutnya, Oepoli tetap nomor buntut. Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sampai kapan? "Kalau melihat kondisi yang ada, Oepoli seharusnya bernama Oe..lupa atau Oe..pilu..!" kata Servas berguyon. Pilu dan terlupakan. Benar juga.
***
PENDERITAAN warga Oepoli semakin lengkap. Terpencil segalanya. Komunikasi? Apalagi, susahnya minta ampun. Di bukit Tataum, saya teringat lagi kisah-kisah dalam perjalanan dari Kefamenanu menuju Oepoli, tempat yang kupijak.
Di Oelbinose, wilayah Kefamenanu--radius 60 kilometer dari Oepoli--, Tarsi, sang sopir, menepikan kendaraan. Dia memberi pengumuman singkat. "Sebentar lagi kita memasuki kawasan di luar jangkauan. Ini tempat sinyal terakhir. Kalau ada yang telepon, silakan. Waktunya 15 menit," ujar Tarsi memberi dead line.
Sambil menikmati horison sore dan 'moleknya' Gunung Mutis, saya memencet hand
phone (HP) melemaskan jemari yang kaku. Ber-SMS ria, telepon. Asyik sendiri- sendiri. Berhalo-halo dengan kolega di Kefamenanu dan Kupang. Mengabarkan rute perjalanan sudah sampai di Oelbinose.
Dead line waktu yang diberikan Tarsi sudah habis. "Ayo kita cabut lagi," Tarsi mengingatkan. HP diamankan. Tak diutak-atik lagi sampai di Oepoli. Selepas Oelbinose, Tarsi berujar lagi, "Kita sudah memasuki kawasan di luar jangkauan. Aman, orang tidak mengganggu kita lagi. Kita menikamati perjalanan ini."
Selepas Aplal, saya mencoba mengaktifkan HP. Ternyata benar, tak ada sinyal. Komunikasi putus. Tarsi benar, kawasan itu benar-benar di luar jangkuan. Diksi 'di luar jangkauan’ pun menjadi bumbu perjalanan. "Coba di Kefamemanu tadi kita beli memang sinyal, pasti tidak di luar jangkauan. Sekarang ini di luar jangkauan semua," ujar Silvester, si pemandu, berguyon.
Di Oepoli, situasi tetap prihatin, di luar jangkauan. HP dibuka, yang nongol SMS. Tak bisa dibalas. "Hari sudah malam. Besok saja baru kita balas SMS-nya. Kita cari sinyal di pohon asam sana. Itu namanya pohon sinyal. Lima kilometer arah Barat Oepoli ini," ujar Romo Bento, Senin (13/10/2008) malam.
Semuanya terisolasi. Darat, laut dan udara. Malam gelap gulita. Tak ada listrik. Andalkan lampu teplok. Bangun pagi hidung berasap, hitam. "Kami di sini benar- benar menderita. Kalau mau telepon, SMS, berkeringat dulu. Jalan jauh pergi ke tempat sinyal di pohon asam. Kalau kita sudah di pohon asam, ya bisa habiskan waktu sampai satu jam. Balas SMS, telepon dan sebagainya," kenang Romo Bento.
Romo Bento mengakui, sekitar 3.000 pelanggan potensial di Oepoli jika ada operator seluler melebarkan jangkauannya. "Ya, cukup migrasikan satu Base Transceiver Station (BTS) di sini, kerinduan warga Oepoli bisa terjawab. Ini peluang bagi operator seluler. Tapi, kendalanya itu tadi, sarana transportasi sangat buruk. Orang bangun BTS di sini makan ongkos. Pikir-pikir juga katanya," katanya.
Tak ingin berlarut dalam litani keprihatinan Romo Bento; saya dan Silvester pergi 'mencari' sinyal di pohon asam. Melepas kangen dan rindu di sana. Dua kilometer selepas Oepoli, ada kawasan ditumbuhi pohon asam. Berbuah lebat. "Sinyalnya bukan di pohon asam yang ini, pak. Ke barat lagi, tiga kilometer,” ujar Silvester menjawab pertanyaanku.
Silvester menepikan sepeda motor. Sudah sampai. "Ini dia pohon asamnya, pohon sinyal," kata Silvester. Pemandangan dari tempat ini sangat tampan. Pulau Batek bersanding jelas. Gulungan ombak Pantai Oepoli terlihat garang.
Duduk di bawah pohon asam, pohon sinyal, jari-jemari beraksi. Saya dan Silvester asyik sendiri-sendiri. Ber-SMS, telepon. Tak ada yang rahasia. Saya berhalo-halo ke Kupang. Biasa, mengabarkan kepulangan kepada maitua (istri, Red). Tapi tak masuk, di luar jangkauan. Ganti SMS, bisa. Silvester pun tak kalah. Telepon ke Kefamenanu dan sebagainya. Lebih lama. Sepertinya kami sedang mengikuti perlombaan telepon. Bersuara keras.
Tak langsung pulang, saya dan Silvester mengamat-amati situasi di sekitar pohon sinyal itu. Pohon asam itu rindang, berbuah lebat. Asyik untuk berteduh. Di bawah pohon itu ada bekas bakaran api. "Biasa, untuk menghangatkan badan. Kalau orang datang telepon malam-malam di sini, sering buat api unggun," cerita Silvester yang mengaku sudah beberapa kali mendatangi pohon sinyal itu.
Pohon sinyal, episod terakhir petualangan saya di Oepoli. Keterpencilan, keterisolasian, membuat semuanya bermakna. "Halo...., posisi saya di pohon asam sekarang,” Romo Bento membuka percakapan ketikan menelepon saya dari Oepoli, Senin (3/11/2008) lalu. Memoriku tentang Oepoli disegarkan kembali. Saya pun menjawab Romo Bento, Ke Oepoli aku kan kembali.”
***
'KEMISKINAN' komunikasi di Oepoli adalah profil umum daerah terpencil di Propinsi NTT yang kini berpenduduk 4,446,433 jiwa (BPS NTT, 2007). Selama periode 1996-1999, jumlah penduduk miskin di NTT mengalami kenaikan yaitu 1.395.100 jiwa pada tahun 1996 menjadi 1.779.000 jiwa (46,73 persen) pada tahun 1999. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik pada Tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Propinsi NTT pada Tahun 2003 turun menjadi 1.165.900 jiwa dan pada tahun 2004 turun lagi menjadi 1.152.100 jiwa.
Berdasaran data Komisi Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2008, dari 905.058 Rumah Tangga di NTT terdapat Rumah Tangga Rentan sebanyak 187.899 (20,76 persen); Rumah Tangga Miskin sebanyak 297.983 (32,92 persen) dan Rumah Tangga Sangat Miskin sebanyak 137.224 (15,16 persen). Dengan terjadinya kenaikan harga BBM dan harga-harga bahan kebutuhan pokok lainnya menyebabkan rumah tangga rentan di NTT berpotensi untuk jatuh ke dalam kondisi rumah tangga miskin, sedangkan rumah tangga miskin akan terperosok masuk ke dalam kondisi rumah tangga sangat miskin.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan komunikasi di Oepoli serta kawasan terpencil lain di NTT adalah keberanian operator seluler untuk berinvestasi. Sebab, salah satu tolok ukur kepuasan pelanggan telekomunikasi seluler adalah jaringan yang luas sehingga saat pelanggan bepergian ke mana saja, telekomunikasi selulernya selalu dapat berfungsi alias reliable. Tidak harus berjalan kaki lima kilometer untuk mencari sinyal di pohon asam sebagaimana terjadi di Oepoli.
Untuk mendapatkan coverage yang luas tentunya para operator telekomunikasi seluler wajib membangun jaringan di daerah-daerah yang ditargetkan menjadi wilayah layanannya, terpencil sekalipun. Jika PT Excelcomindo Pratama (XL) melirik Oepoli untuk membangun jaringan, maka dapat disebut sebagai pemain industri seluler yang jaringannya sudah mencakup seluruh kecamatan dan desa di Indonesia.
Kehadiran XL di Oepoli dipastikan membawa angin 'surga' untuk menggeliatkan kehidupan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan itu. Sebab, layanan telekomunikasi seluler (XL) selain hakikinya untuk berkomunikasi tanpa batas ruang, tentunya memiliki turunan (derivatives) yang juga memiliki nilai ekonomis yang tidak sedikit bagi suatu daerah tersebut.
Sekadar ilustrasi. Jika XL, misalnya, membangun sebuah BTS (Base Transceiver Station) di Oepoli yang diperkirakan menelan investasi Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar, tentu ada banyak jiwa yang diselamatkan. Mereka menjadi tenaga kerja lokal. Dengan demikian masyarakat Oepoli ikut menikmati karya XL. Ini misi kemanusiaan yang nilainya tak terhingga karena dampak ikutannya sangat besar. Pengusaha-pengusaha daerah pun akan melirik Oepoli sebagai lahan untuk berinvestasi. Tapi pionirnya XL.
Warga Oepoli lainnya pun kecipratan rezeki. Jika BTS XL menjulang dengan megahnya, bisnis seluler lainnya berpeluang berkembang. Warga Oepoli dapat membuka gerai-gerai untuk menjual produk-produk XL. Mereka menekuni dunia usaha baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ekonomi semakin menggeliat.
Belum lagi pungutan yang dikenakan oleh Pemkab Kupang untuk pembangunan BTS merupakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setempat. Selain itu, sewa lahan atau tempat untuk BTS juga memberikan pemasukan bagi warga yang lahannya dibangun BTS. Sebagai gambaran, sewa lahan untuk sebuah BTS berkisar dari Rp 10 juta hingga Rp 30 juta per tahun dengan masa sewa minimal lima tahun. Namun hal itu sangat tergantung dari potensi pasar di wilayah tersebut dan kepadatan penduduk setempat. Itu baru dari segi pembangunan, belum lagi perawatannya. Bagi warga Oepoli, dana sewa lahan sebesar Rp 10 juta hingga Rp 30 juta per tahun adalah rahmat dari 'langit' yang selalu disyukurinya.
Diprediksikan, usaha-usaha ikutan yang berkaitan dengan pemenuhan layanan telekomunikasi seluler juga berkembang pesat di Oepoli. Misalnya, usaha penjualan voucher pra-bayar, usaha penjualan pesawat telepon seluler dan asesorisnya, dan munculnya pusat-pusat layanan telekomunikasi seluler maupun pusat perbaikan (reparasi) pesawat telepon seluler.
Dan, usaha-usaha tersebut tentunya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Oepoli. Lihat saja, berapa banyak SDM yang dipekerjakan di sebuah pusat layanan telekomunikasi selular seperti XL Center dan lain sebagainya. Belum lagi order alat-alat promosi seperti sablon untuk umbul-umbul dan sebagainya. Semua itu tentunya memberikan dampak yang tidak kecil bagi perekonomian di Oepoli atau suatu daerah.
Saya sepertinya sedang bermimpi XL sudah hadir di Oepoli. Bermimpi membebaskan Oepoli dari keterisolasian ekonomi dan komunikasi. Dan, cepat atau lambat, mimpi ini akan menjadi kenyataan. Sebab, keberadaaan telekomunikasi selular di suatu daerah, apalagi kawasan terpencil seperti Oepoli, turut menunjang kelancaran kegiatan di berbagai bidang mulai dari pemerintahan, penegakan hukum hingga kegiatan niaga. Dengan teknologi selular, komunikasi menjadi lebih personal dan efisien.
Tidak diragukan lagi bahwa investasi telekomunikasi seluler di berbagai daerah di NTT saat ini, antara lain XL, telah meningkatkan aktivitas perekonomian. Sekarang tinggal bagaimana seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) baik masyarakat Oepoli dan Pemkab Kupang hendaknya turut mendukung investasi telekomunikasi seluler di daerah itu sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun masyarakat juga harus ingat bahwa telekomunikasi selular sebaiknya digunakan secara bijak terutama untuk hal-hal yang produktif dan bermanfaat.
***
OEPOLI menanti sang 'pembebas' untuk membuka sekat komunikasi di daerah itu. Letaknya di beranda perbatasan Indonesia-Timor Leste, tak pantas untuk dilupakan. Dengan demikian program 'Indonesia Berdering' yang dicanangkan Departemen Komunikasi dan Informasi, juga berdering di Oepoli. Muaranya, daerah yang terisolasi dari komunikasi di NTT berkurang.
Warga Oepoli mengharapkan sang pembebas itu, XL. Apalagi operator terbesar ketiga di Indonesia ini sedang gencar-gencarnya membuka isolasi 'memerdekakan' wilayah-wilayah terpencil dengan membangun BTS.
Belum lama ini, berdasarkan catatan penulis, XL telah membuka sekat komunikasi di daerah perbatasan Sumatera Barat-Sumatera Utara, tepatnya di Muara Sipongi Mandailing Natal, Sumut. Profil daerah ini seperti Oepoli. Perjalanan menuju kawasan ini ditempuh selama lima jam dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Itu pun harus melewati jalan propinsi yang lebarnya hanya enam meter dengan kondisi yang tak mulus, berkelok-kelok, dan melewati hutan lebat. Dengan kondisi medan seperti itu, tak heran jika warga setempat sulit berhubungan dengan warga kawasan lain, karena tak ada sinyal operator selular di sana. Namun, kini mereka bisa berkomunikasi dengan 'dunia luar' setelah XL membangun BTS.
Harapan warga Oepoli hanya satu. Bila sebelumnya untuk memberikan kabar harus berkeringat berjalan kaki menghampiri pohon sinyal dan selama Indonesia Merdeka seperti katak dalam tempurung, suatu saat tinggal angkat telepon. Berdering. Kapan? Hanya XL yang menjawabnya. Karena XL menyediakan layanan telekomunikasi murah untuk daerah terpencil serta menyatukan daerah-daerah tertinggal. Instrumen yang tepat untuk 'memerdekakan' Oepoli. Tiga ribu pelanggan menanti. ***
'Mencari' Sinyal di Pohon Asam
Label:
Kabupaten Kupang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar