Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Politik dan ekonomi sampah dalam gaya hidup dan perilaku kita

Oleh Simplisius Boseng *

Spirit NTT, 6-12 Oktober 2008

SAMPAH adalah salah bentuk inefisiensi dari suatu proses produksi dan konsumsi, yang dapat disebut sebagai bentuk eksternalitas produksi. Karena itu sampah mengurangi profil bisnis. Sampah sesungguhnya tergolong barang privat, bukan barang publik. Tetapi karena jenis barang privat yang satu ini tidak memberikan nilai ekonomi, maka sampah dibuang ke ruang publik, dan berubalah status sampah menjadi barang publik. Barang publik memiliki sifat aneh tapi nyata.

Jika barang publik memberikan manfaat, maka semua orang akan mengaku memilikinya dan memanfaatkannya. Tetapi sebaliknya, jika barang publik itu tidak memberikan manfaat, maka tiada seorang pun mengaku memilikinya (public goods is everybody's good and nobody's ones). Karena sampah hadir secara terencana dari setiap aktivitas maka harus pula direncanakan pengelolaannya secara pasti.

Ada jenis sampah yang kehadirannya dapat dicegah sehingga perlu dikelola secara preventif. Sebaliknya ada jenis sampah yang mutlak hadir dalam aktivitas kehidupan kita sehingga perlu dikelola secara represif. Merencanakan konsumsi sandang, pangan, dan perabot rumah tangga, akan menghasilkan jenis sampah represif, karena pakaian, makanan dan perabotan pada akhirnya menjadi sampah.

Sampah menimbulkan biaya oportunitas (opportunity cost) melalui dampak situasi yang buruk dan mewabahnya berbagai penyakit menular yang menyita banyak rupiah untuk pengobatan. Pengeluaran ini menghapus kesempatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan lain. Dalam dunia ekonomi, biaya oportunitas berarti nilai atau harga barang yang batal dimiliki karena kita menggeser anggaran untuk kebutuhan lain. Misalnya, menggeser anggaran pendidikan untuk biaya kesehatan karena buruknya sanitasi. Di negara-negara maju konsep pengelolaan sampah bersifat preventif karena prevention is better than cure.

Mengganti air kemasan dengan air masakan sendiri
Air kemasan ukuran satu gelas adalah suatu gaya hidup praktis yang menimbulkan pemborosan dan pencemaran liangkungan. Dari sudut pandang kesehatan seharusnya kita lebih percaya kepada air yang dimasak sendiri karena kita yakin kuman-kumannya mati dan kapurnya mengendap atau mengapung dan dapat disaring atau dipisahkan.

Pada setiap rapat di kantor-kantor pemerintah atau acara apel di lapangan pasti berakhir dengan berserakan sampah dos kue dan wadah kemasan air minum. Tidak ada satu orang pun yang merasa malu dengan kondisi itu. Banyak masyarakat umum, pengusaha, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah seenaknya membuang sampah. Kalaupun kita harus membeli air kemasan dengan alasan praktis sebaiknya belilah kemasan botol atau galon sehingga sehabis minum wadahnya tidak menjadi sampah.

Di Kabupaten Sikka semua botol kemasan dimanfaatkan sebagai pelampung dalam budidaya rumput laut. Menurut Dokter Wera Damianus (Wakil Bupati Sikka) wadah bekas kemasan air masih terdapat sisa air minum, yang menjadi media perkembangan nyamuk aedes egipty, vector penyakit demam berdarah. Nyamuk ini merupakan nyamuk alit yang jentiknya tidak mau hidup di air kotor. Sebaliknya air selokan yang kotor menjadi sarang nyamuk anopheles dan culex.

Pemborosan dan kesombongan orang miskin
Pada setiap rapat kita sering diberi sajian satu atau dua potong kue dan air kemasan satu gelas, di dalam sebuah dos. Harga kue Rp 1.000 dan harga dos Rp 250. Jadi kita makan Rp 1.000 dan kita buang Rp 250. Belum dihitung berapa biaya untuk mengelola sampah itu. Inilah model gaya hidup dan kesombongan orang miskin.
Beberapa desa memiliki mata air dan air kali yang bening tetapi dibiarkan terbuang ke laut, dan masyarakat membeli air kemasan di kota untuk diminum di desa. Kita belum menyadari bahwa konsumsi kertas untuk dos berkaitan dengan pembabatan kayu hutan sebagai bahan baku kertas, dan bahan polimer untuk plastik masih diimpor.

Ketika diklat kapasitas camat di Kupang bulan Oktober 2007 seorang profesor berbicara tentang penggantian berbagai peraturan perundang-undangan termasuk perubahan kurikulum pendidikan. Secara nakal saya bertanya kepada profesor itu, apakah pemerintah tidak menyadari bahwa perubahan undang-undang dan penggantian buku pelajaran menyebabkan naiknya permukaan air laut?
Profesor itu merasa sepertinya saya mengada-ada. Lalu saya menjelaskan bahwa perubahan undang-undang dan kurikulum pendidikan akan menuntut pencetakan buku-buku baru menggantikan buku lama yang menjadi sampah. Produksi buku baru menuntut penebangan pahon sebagai bahan baku kertas, selanjutnya mengurangi kemampuan hutan untuk rosot karbon, meningkatnya suplai gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, mencairnya es kutub menambah volume air laut, dan akhirnya menyebabkan naiknya permukaan air laut. Penjelasan saya disambut dengan tepuk tangan spontan dari semua peserta.
Ketika suatau acara pertemuan enam kecamatan dengan peserta 250 orang, kami menyajikan makanan dengan menggunakan piring dan gelas. Semua orang makan puas secara kualitas dan kuantitas. Banyak sisa makanan termasuk banyak sisa daging ayam dan ikan yang dibawa pulang oleh peserta rapat. Beberapa orang bertanya kepada saya, bagaimana Pak Camat bisa menyajikan makanan seperti ini. Dengan bergurau saya menjawab, kalau saya membeli dos nasi seharga Rp 2000/unit x 250 unit, maka saya akan kehilangan uang Rp 500.000. Uang inilah saya gunakan untuk membeli ayam. Lalau apakah sulit mencuci piring dan gelas pada saat rapat? Tentu tidak. Saya bisa minta beberapa orang yang tinggal dekat kantor untuk membantu mencuci perabotan makan. Setelah acara selesai mereka pulang membawa makanan dan uang lelah masing-masing Rp 50.000. Tentu lebih baik mempekerjakan orang daripada membeli dos nasi yang menjadi sampah.

Undangan yang tidak terhormat
Pada setiap pesta hajatan di Kabupaten Sikka, biasanya kita diundang dengan sapaan yang terhormat. Tetapi ketika tiba acara makan bersama, kita mendapatkan selembar kertas berlapis plastik beralaskan anyaman lidi untuk mengambil makanan. Karena tuan pesta merasa sangat repot kalau memberi undangannya makan pakai piring dan gelas, yang harus dicuci oleh tuan rumah. Saya merasa aneh karena di rumah saya ada dua ekor anjing yang selalu makan dengan wadah piring, tetapi saya yang diundang dengan hormat diberi makan di atas selembar kertas dan minum air kemasan. Alasan praktis telah mengabaikan rasa hormat kepada tamu kita. Tidak disadari bahwa anyaman lidi itu tidak pernah dicuci dan ditumpuk dengan alas kertas, jadi sebenarnya kertas itu sudah kotor terutama karena menjadi tumpuan pantat wadah di atasnya.

Haruskah kita menggunakan kantong plastik?
Jikia ada tekad yang kuat, Pemerintah Daerah dapat menetapkan suatu peraturan untuk menghindari penggunaan kantong plastik. Kita dapat memesan keranjang belanja yang di dalamanya terdiri dari beberapa sekat, untuk memisahkan barang kering dan basah. Misalnya, ikan basah harus diletakkan pada sekat yang tidak berlubang sehingga tidak meneteskan darah ikan ketika kita berada di dalam mobil angkutan penumpang. Ada rak atau kamar-kamar untuk taruh bawang dan bumbu lainnya. Sekarang ini setiap kita membeli satu jenis barang di pasar atau di toko, kita akan membawa pulang sebuah kantong plastik. Kalau banyak jenis barang yang dibeli berarti banyak kantong plastik yang dibawa pulang, dan setelah sampai di rumah semua kantong plastik itu menjadi sampah yang tidak mudah diuraikan oleh mokroorganisme. Kantong plastik berukuran besar seperti kantong terigu barangkali masih relevan karena penggunaannya bersifat terbatas untuk sesuatu yang besar, dan tidak akan banyak berserakan.

Pedidikan lingkungan
Pengtahuan dan pengalaman lingkungan perlu dibiasakan melalui pendidikan sejak usia dini, mulai dari lingkungan keluarga. Di Kota Adeleide (Australia Selatan) anak-anak berusia dua atau tiga tahun sudah tahu harus membuang sampah di tempat sampah. Jika seorang anak TK memegang pembungkus kembang gula, ia akan menengok di sekitarnya untuk mendapatkan tempat sampah. Jika tidak ada tempat sampah, maka ia akan memasukkan pembungkus kembang gula itu ke dalam saku atau tasnya. Setiap guru dapat melatih dan mebiasakan murid-muridnya untuk membuang sampah tepat pada tempatnya. Hal ini diperlukan komitmen yang konsisten. Setiap pelanggaran dapat diberrikan hukuman yang mendidik, bukan menyakiti; misalnya menyanyi, menari, deklamasi, atau mengerjakan sejumlah soal yang harus benar semua.
Ketika saya meberikan pembekalan pengelolaan sampah kepada sekitar 60 siswa SMA, saya meminta beberapa guru membagikan gula-gula kepada semua siswa. Setelah dua jam acara selesai, ternyata hanya tiga orang yang menjatuhkan kulit gula-gulanya di tempat mereka makan gula-gula itu. Sedangkan lebih dari 50 orang lain mengisi sampah itu ke dalam saku bajunya. Hal kecil tetapi kalau dibiasakan akan menjadi budaya bersih dan cinta lingkungan.

Perkataan seharusnya sama dengan perbuatan
Selama menjadi karyawan Bappeda Sikka saya selalu menyarankan dan mengingatkan semua orang agar menghentikan kebiasaan menyajikan kue dalam dos dengan minuman air kemasan satu gelas. Tetapi saya tidak berhasil karena saya bukan Kepala Bappeda.
Beberapa kali saya diminta memberikan presentasi tentang pengelolaan sampah, saya menunjukkan komitmen saya dengan tidak ikut makan dan minum karena disajikan dalam dos dan air kemasan. Saya pernah mengeritik seorang petugas proyek dari propinsi ketika presentasi tentang pengelolaan sampah di Hotel Benggoan tetapi semua peserta diberi sajian kue dalam dos dan air kemasan satu gelas. Karena saya menganggap kita hanya berteori tetapi tidak memberi contoh nyata (perkataan tidak sama dengan perbuatan).
Ketika saya menjadi pegawai di Bappeda Sikka, saya konsisten menyarankan pola makan dan minum bebas sampah. Sekali lagi saya tidak berhasil karena saya bukan Kepala Bappeda. Sejak tanggal 23 Juni 2007 saya dilantik menjadi Camat Alok Timur (Maumere). Saya membuat komitmen dengan semua karyawan kecamatan, kelurahan dan desa bawahan untuk menyajikan makanan dan minuman bebas sampah dan menyajikan bahan pangan lokal, bukan roti dan kue dari tepung terigu. Membeli sepoting roti berarti mengirim uang kita keluar negeri, tetapi kalau membeli pisang atau ubi-ubian berarti mengirim uang kita ke kantong petani, memberdayakan keluarga petani.
Pemerintah daerah mengarahkan petani kita menanam padi dan palawija tetapi pada saat makan para pejabat lebih memilih roti. Kita bersyukur karena Bupati dan Wakil Bupati sangat tegas mengarahkan kita untuk membiasakan konsumsi bahan pangan lokal. Mari kita mengadopsi Swadeshi, ajaran Mahatma Ganndhi, yang dalam dunia ekonomi berarti merkantilisme. Sejumlah pejabat eselon II dan anggota DPRD yang pernah berkunjung ke Kantor Camat Alok Timur biasa meminta oleh-oleh makanan lokal untuk dibawah pulang ke rumah atau ke kantornya, karena mereka pupas menikmatinya. Kali ini saya berhasil. Karena walaupun hanya camat, eselon IIIA tetapi saya kepala sehingga suara saya didengarkan oleh bawahan saya dengan sadar dan tulus ikhlas, bukan terpaksa. Labih baik lagi kalau kita semua melakukan pola ini.

Politik dan ekonomi sampah
Banyak orang melakukan analisis Benefit-Cost Ratio pengelolaan sampah dengan menghitung nilai untung-rugi pengelolaan sampah secara nominal. Hal ini adalah suatu cara pandang yang sempit membuat pemerintah enggan mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk pengelolaan sampah.
Mereka tidak melihat kaitan antara setiap jenis sampah dengan produk yang dikonsumsi. Di sisi lain pemerintah daerah selama ini kurang jeli melihat kaitan antara kinerja pengelolaan sampah dengan dampak ekonomi-sosial-politik yang nilainya sangat mahal. Jika kinerja pengelolaansampah memuaskan, maka wajah kota menjadi BERSERI (akronim pinjaman dari SOLO BERSERI: bersih, sehat, rapi, dan indah). Kota yang berseri merupakan gambaran prestasi dan prestise Pemerintah Daerah. Kota yang bersih dengan sanitasi yang baik akan dapat mencegah dan mengurangi frekuensi sejumlah penyakit berbasis lingkungan, selanjutnya terjadi penghematan biaya kesehatan baik oleh Pemerintah Daerah maupun penghematan oleh masyarakat. Meningkatnya mutu kesehatan masyarakat memberi dampak positif pada kualitas SDM dan produktivitas masyarakat. Meningkatnya produktivitas akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya konsumsi barang dan jasa. Konsumsi barang dan jasa mendorong penciptaan lapangan kerja. Rantai siklus konsumsi, produksi dan penciptaan lapangan kerja inilah yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan berbagai efek kesejahteraan sosial. Meningkatnya kesejahteraan sosial merupakan indicator utama keberhasilan pembangunan alias keberhasilan Pemerintah Daerah.

* Penulis, Camat Alok Timur, Kabupaten Sikka

Tidak ada komentar: