Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Dewan gelar rapat dengan Kapolda NTT

Spirit NTT, 6-12 Oktober 2008

KUPANG, SPIRIT--DPRD NTT menggelar Rapat Gabungan Komisi dengan Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi, MM, di Ruang Kelimutu DPRD NTT, Senin (22/9/2008).

Rapat ini dipimpin Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe, didampingi Wakil Ketua, Drs. Paulus Moa, Markus Hendrik dan Asisten I Setda Propinsi NTT, YA Mamulak, S.Ip.

Agenda rapat yang dihadiri oleh para pejabat dari Satuan Polisi Ditlantas Polda NTT, pejabat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Propinsi NTT, Dinas Perhubungan (DLLAJ) Propinsi NTT adalah membahas kasus penghentian konvoi kendaraan rombongan Gubernur dan Ketua DPRD NTT pada Kamis, 18 September 2008 yang lalu oleh petugas polisi di Desa Bokong, Kecamatan Takari.

Kejadian ini bermula dari adanya iring-iringan kendaraan Gubernur NTT, Ketua DPRD NTT dan rombongan dengan pengawalan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama Petugas dari Dinas Perhubungan (DLLAJ) melintasi jalan negara di wilayah Kabupaten Kupang, saat akan kembali ke Kupang, setelah membuka acara kontes sapi di Desa Kapan, Kabupaten TTS, dihentikan secara tiba-tiba oleh petugas polisi yang sedang berjaga.

Akibatnya arus lalu lintas disekitar jalan tersebut sempat macet beberapa saat. Kemacetan dapat teratasi setelah diadakan dialog serius antara petugas Satpol PP dan petugas polisi yang bertugas, sebelum dilerai Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe, yang sampai ikut turun.

Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi, MM, dalam tanggapannya menjelaskan pokok masalah dari penghentian itu bukan pada kendaraan gubernur dan rombongan, namun penggunaan sirene dan menyalakan lampu rotator oleh petugas dari Dinas Perhubungan. Menurutnya, perlu adanya pemahaman aturan keprotokoleran terhadap pengawalan, penggunaan sirene dan lampu rotator.

Suedi mengatakan, tindakan petugas polisi atas nama Ipda Adit P menghentikan dan selanjutnya mengingatkan petugas pengawalan dari Dinas Perhubungan Propinsi NTT untuk tidak membunyikan sirene dan menyalakan lampu rotator dalam pelaksanaan pengawalan/konvoi terhadap rombongan Gubernur NTT dan Ketua DPRD NTT adalah sangat tepat dan tidak melanggar hukum.

"Yang bersangkutan adalah petugas yang menjalankan amanat Pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 1993. Yang berwewenang membunyikan sirene adalah kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, termasuk kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pemadam kebakaran; ambulans yang sedang mengangkut orang sakit; kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah; kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas; kendaraan petugas pengawal kendaraan kepala negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara," ujar Suedi.

Suedi juga menyebut penegasannya pada Pasal 75 bahwa peringatan bunyi sirene hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor petugas penegak hukum tertentu, dimana menurut UU No. 2 Tahun 22 salah satunya adalah Polri selain jaksa dan hakim; dinas pemadam kebakaran; penanggulangan bencana; kendaraan ambulans, unit palang merah, mobil jenazah.

Untuk pemasangan dan penggunaan lampu rotator dan warnanya, lanjut Suedi, diatur dalam Pasal 74 ayat 1 huruf e PP No. 43 Tahun 1993. Pengemudi kendaraan bermotor dilarang menyalakan lampu biru atau merah kecuali pengemudi kendaran yang dimaksud dalam pasal 72 tersebut di atas.

Dan, Pasal 66 PP No. 44 Tahun 1993, lampu isyarat berwarna biru hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor petugas penegak hukum tertentu; dinas pemadam kebakaran; penanggulangan bencana; kendaraan ambulans; unit palang merah; mobil jenazah.

"Pelanggaran terhadap penggunaan lampu isyarat (rotator), bunyi sirene, dan pengawalan dapat ditindak dengan tilang berdasarkan Pasal 61 Ayat 1 UU No.14 Tahun 1992," ungkapnya.

Berkaitan dengan tindakan petugas, melanjutkan Suedi, hal itu juga sangat etis karena dilaksanakan dengan bahasa yang etis dan tidak menunjukkan suatu sikap yang arogan, sesuai Pasal 19 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak azasi manusia.

Suedi menolak kata oknum polisi yang tertuang dalam surat Gubernur NTT tanggal 18 September 2008. Hal itu, menurutnya, tidak etis, karena petugas tersebut menjalankan tugas sesuai dengan Undang-Undang. Istilah oknum dapat dikonotasikan adanya suatu tindakan orang per orangan dalam hal ini polisi yang syarat dengan tindakan pelanggaran aturan, norma, atau hukum dan ataupun penyalahgunaan kewenangan.

Suedi menegaskan, sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, hanya petugas kepolisian yang mendapat legitimasi untuk memberikan atau mempunyai kewenangan pengawalan.

Sedangkan Dinas Perhubungan, katanya, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan salah satu unsur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai kewenangan terbatas dan di dalam undang-undang tidak diatur tentang kewenangan pengawalan. Bilamana Dinas Perhubungan/PPNS tetap melakukan kegiatan pengawalan dengan didasari oleh UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran RI Tahun 1987 No. 43, tambahan Lembaran Negara No. 3363) dan PP No. 62 Tahun 1990 tentang Keprotokolan mengenai Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan. Hal ini bukan merupakan ketentuan hukum yang mengatur tugas pengawalan, namun lebih mengatur tentang tata tempat, tata upacara, tata penghormatan bagi pejabat, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan dan acara resmi pemerintah.

Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi, MM mengemukakan solusinya, yakni senantiasa melaksanakan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan tidak mencampuri dan atau kewenangan masing-masing instansi.
Sedangkan berkaitan dengan pengawalan terhadap kegiatan Gubernur NTT dalam rangka kedinasan seperti sebagai Irup dan kunjungan kerja ke luar kota, Suedi mengatakan pihak Polda NTT dengan mendelegasikan tugas pengawalan kepada Dit Lantas Polda akan menyiapkan pengawalan dimaksud. (pascal temaluru/humas dprd ntt)

APA KATA MEREKA
* Drs. John Umbu Deta (Ketua Fraksi PDIP)
Permalukan pejabat negara

SAYA mengapresiasi penjelasan Kapolda NTT. Namun, apa pun alasannya, sangat disesalkan karena kejadian itu telah mempermalukan pejabat negara di depan publik bahkan sampai disiarkan di radio. Sangat tidak masuk akal, tidak etis, dan tidak bisa diterima karena hal ini telah terjadi untuk yang kelima kalinya di wilayah Kabupaten Kupang pada seorang Frans Lebu Raya. Mengapa penghentian ini hanya dan selalu terjadi di wilayah yang sama, tidak di Kota Kupang dan Kabupaten TTS. Bicara soal koordinasi, seharusnya begitu konvoi rombongan keluar dari rumah jabatan, Kepolisian Kota Kupang telah menerapkan aturan seperti yang dijelaskan Kapolda NTT.
Tapi, sayangnya hal itu baru diberlakukan di Takari bahkan harus terjadi saat rombongan Gubernur NTT akan kembali ke Kupang. Jangan-jangan ada pesan sponsor di balik penghentian tersebut.

* Cyrilius Bau Engo (Ketua Komisi A/Ketua Fraksi Golkar)
Koordinasi putus lagi

KOMISI A telah membahas masalah ini secara intens dan kini memasuki periode yang ketiga. Kami telah mendapatkan peraturan yang dijelaskan Kapolda NTT dari kejadian yang lalu. Komisi A juga banyak mendapat masukan bahwa ada peraturan-peraturan lain yang mendukung penggunaan sirene dan lampu rotator oleh LLAJ dan Satpol PP. Dan, kesimpulan yang diambil saat itu adalah perlu ditingkatkan koordinasi antara Pemerintah dan Polri.
Dengan kejadian ini berarti koordinasi terputus kembali. Saya sepakat dengan penjelasan Kapolda bahwa semua orang sama di mata hukum. Dan, penggunaan sirene dan lampu rotator yang mengawal kegiatan gubernur oleh Dinas Perhubungan (LLAJ), itu salah. Namun, yang menjadi pertanyaan kenapa tindakan terhadap pelanggaran ini hanya bersifat menghentikan dan menegur, bukan tilang sesuai ketentuan aturan tanpa memandang apakah dia seorang gubernur atau masyarakat biasa.
Apa yang telah dikerjakan Polri patut dihargai, namun hal semacam ini akan menimbulkan pertanyaan yang bermacam-macam dari masyarakat. Apalagi perhentian semacam ini hanya terjadi pada seorang Frans Lebu Raya baik saat menjabat sebagai Wakil Gubernur maupun Gubernur NTT untuk kelima kalinya.

* Viktor Mado Watun, S.H (Ketua Komisi D)
Catatan buruk

PERISTIWA ini tidak hanya melecehkan seorang gubernur, namun dapat juga menjadi catatan buruk masyarakat NTT. Saya mengharapkan mudah-mudahan tidak masuk ke ranah politik. Kenapa peristiwa yang telah terjadi empat kali ini harus terulang lagi dan tidak dapat terselesaikan. Saya mengusulkan untuk meneruskan ke Komisi III DPR RI tembusan Menteri Perhubungan dan Kapolri sebagai pihak yang punya kompetensi mengajukan UU Keprotokoleran untuk mendapat kesepahaman dalam aturan dan implementasi di lapangan terhadap pengawalan.

* Armindo Soares Mariano (Ketua Komisi B)
Belajar etika

SEHARUSNYA sebelum bertugas, seorang polisi perlu belajar etika dan budaya di daerah setempat. Bagaimana memperlakukan orang lain, terlebih mereka yang dipercayakan untuk menduduk jabatan tertentu. Saat ini bukan waktunya lagi untuk membahas masalah koordinasi karena peristiwa ini telah terjadi berulang kali terhadap orang yang sama. Dan, ini berarti koordinasi selama ini jalan di tempat. Perlu adanya pembahasan yang lebih maju dan tegas yang bersifat koprehensif antara Pemerintah dan Polri.

* Yulius Malo Dauzo, S.H (anggota Dewan)
Koordinasi lemah

SAYA mempertanyakan sejauh mana pemerintah dan Polri menindaklanjuti poin kedua dari kesimpulan hasil Rapat Gabungan Komisi DPRD NTT dengan Kapolda tentang penghentian rombongan Wakil Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya pada Kamis, 22 November 2007. Saat itu, DRPD NTT menilai bahwa kejadian terjadi oleh karena lemahnya koordinasi antara Pemrintah Propinsi (Dinas Perhubungan, Polisi Pamong Praja, Protokoler) dengan kepolisian.

* Aloysius Assan, S.H (anggota Dewan)
Rendahkan martabat gubernur

DARI segi kepemerintahan hal ini tidak dapat dibenarkan karena sangat merendahkan seorang gubernur yang telah dipilih rakyat NTT. Sepatutnya semua orang harus bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Namun, ada saatnya perlu diambil suatu kebijakan untuk memperlakukan aturan itu secara manusiawi pada seseorang, apalagi seorang kepala daerah. Saya minta agar hal ini dibahas ke tahap yang lebih tinggi dengan sanksi yang tegas sehingga tidak terjadi lagi.

* Markus Hendrik (Wakil Ketua DPRD NTT)
Norma sopan santun

SAYA memberi apresiasi atas tugas dan pekerjaan Polri. Seandainya yang lewat saat itu adalah konvoi kendaraan seorang komandan dari satuan tertentu dan rombongannya. Apa yang terjadi. Apakah atas dasar peraturan yang telah dijelaskan, Polri dapat menghentikan kendaraannya. Selain norma hukum, harus ditegakkan pula norma-norma lain seperti sopan santun terutama dalam menghormati dan menghargai seorang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

* Ir. Emelia Y Nomleni (anggota Dewan)
Aturan mana yang ditegakkan

SAYA menanyakan aturan mana yang sedang ditegakkan oleh Polri seperti dijelaskan Kapolda NTT sehingga peristiwa ini bisa terjadi sampai yang kelima kalinya. Polri pada kejadian-kejadian yang lalu seharusnya memberikan surat teguran kepada pemerintah apabila dirasa telah terjadi pelanggaran dalam konvoi rombongan Gubernur NTT sehingga peristiwa ini tidak terulang lagi baru-baru ini.

* YA Mamulak (Asisten I Setda NTT)
Hormati kepala daerah

SEBELUM melangkah lebih jauh harus dan perlu dipahami oleh semua pihak bahwa gubernur itu kepala daerah, kepala wilayah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Karenanya dengan alasan dan cara apapun sudah selayaknya setiap masyarakat tanpa terkecuali harus menghormati dan menghargainya. (pascal temaluru/humas dprd ntt)

"Belajar berkoordinasi"

KETUA DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe, menyebut dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam peristiwa ini, yakni kewenangan pengawalan dan larangan memakai sirene dan lampu rotator.

"Mungkin kita perlu belajar berkoordinasi pada daerah lain yang lebih maju dan telah sukses melaksanakan UU keprotokoleran dan pengawalan," ujarnya.
Dengan nada sedikit berkelakar, dia mengatakan masalah penghentian ini bukan pada seorang Frans Lebu Raya atau Mel Adoe, melainkan pada sirene dan lampu rotator.

Menurut Mel, sebaik dan sekuat apa pun aturan hukum yang dibuat bila tidak diimbangi pemahaman dan implementasinya di lapangan secara baik oleh Polri maupun LLAJ, tidak akan berarti apa-apa.

"Kalau peristiwa ini terjadi lagi berarti bukan kesalahan UU tapi pada masalah operasional," tambahnya.

Peristiwa ini, diakuinya, merupakan pengalaman terpahit, dan diharapkan untuk yang terakhir kali, tidak boleh terulang lagi.

Mel Adoe mengatakan perlu dilakukan suatu kesepakatan atau pembahasan MoU antara Polda NTT dan pemerintah sehingga apabila dikemudian hari peristiwa ini terulang lagi, maka Dewan merekomendasi pemerintah untuk memberikan punishment atau sanksi yang tegas terhadap pihak terkait.

"Dewan perlu mengajukan telaan aplikasi di lapangan sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah," kata Mel Adoe. (pascal temaluru/humas dprd ntt)

Tidak ada komentar: