Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Pendidikan dan kemiskinan

Spirit NTT, 13-19 Oktober 2008, Oleh Dwi Riyanto *

MASYARAKAT
amat berharap pendidikan bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan struktural bangsa. Pendidikan juga dianggap bisa memotong lingkaran setan kemiskinan. Mungkinkah? Pendidikan yang baik dan tepat dapat memberi pengetahuan dan keterampilan sehingga individu terdidik dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan produktivitas serta pemerolehan akses dan sumber daya. Namun, melihat penerimaan siswa baru di berbagai daerah, sebagaimana direkam media, hal itu justru menunjukkan ironi atas peran pendidikan dalam memberantas kemiskinan.

Pendidikan dasar gratis hanya janji yang bergema luas saat kampanye dan pemilihan pimpinan daerah maupun pusat. Pendidikan hampir selalu menjadi isu kampanye dan dijadikan strategi pemenangan suara. Namun, saat pemilihan usai lain lagi ceritanya. Anak-anak miskin di perkotaan, pedesaan, dan pedalaman tetap kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak. Di perkotaan, sekolah-sekolah berlomba meningkatkan sarana dan prasarana dengan menaikkan pungutan.

Sebaliknya, di pinggiran kota, pedesaan, dan pedalaman, sekolah tidak bisa mengenakan pungutan karena tidak ada lagi yang bisa dipungut dari masyarakat. Dan para siswa harus puas dengan kondisi yang jauh dari layak.

Di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua sering dijumpai satu sekolah hanya dibimbing satu-dua guru. Dalam daftar ada nama sejumlah guru, tetapi mereka tidak hadir di sekolah. Sementara itu, di perkotaan sejumlah sekolah berlomba berstandar internasional dengan sarana dan prasarana mewah dan keluarga kaya tak berkeberatan membayar jutaan rupiah per bulan, keluarga miskin kebingungan mencari sekolah layak yang terjangkau bagi anak-anaknya.

Bagi pekerja dengan upah minimum, berbagai biaya pendidikan (uang sumbangan masuk, uang daftar ulang, uang kegiatan, uang ujian, dan lainnya) yang bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah serasa seperti vonis yang mengukuhkan keberadaan mereka dalam jurang kemiskinan. Ternyata dana BOS dan dana-dana pemberantasan kemiskinan seperti jaring pengaman sosial tidak mampu memotong mata rantai kemiskinan.

Tanggung jawab pemerintah
Dalam buku Education for 1.3 Billion, mantan Wakil Perdana Menteri China Li LanQing mengemukakan komitmen pembangunan dan reformasi pendidikan dengan menambah anggaran pendidikan dan membuat kebijakan transparansi anggaran. Anggaran pendidikan di tiap daerah dan sekolah diumumkan kepada publik, dimonitor, dan diaudit untuk mengoptimalkan penggunaan dana pendidikan dan memberantas korupsi.

Menyediakan layanan pendidikan yang bermutu adalah tanggung jawab pemerintah. Fenomena distorsi tanggung jawab secara sengaja maupun tidak sengaja tercermin pada ungkapan "pendidikan adalah tanggung jawab kita semua". Slogan ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawab. Demikian pula dengan menggunakan kondisi kemiskinan sebagai alasan untuk melemparkan tanggung jawab kepada publik dan kelompok masyarakat agar menanggung pembiayaan pendidikan. Justru dalam kemiskinan, pemerintah seharusnya memprioritaskan pendidikan sebagai strategi pemberantasan kemiskinan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan. Pendidikan bermutu adalah salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dan negara wajib menjamin pemenuhan hak ini bagi semua anak tanpa terkecuali.

Disparitas mutu antarsekolah seolah tidak bisa dihindari lagi. Ketika kompetisi pasar bebas melanda pendidikan, segelintir sekolah dimungkinkan mencapai keunggulan dan sebagian anak menikmati pendidikan kelas dunia, pemerintah seharusnya berbuat lebih banyak untuk anak-anak yang tersisihkan melalui kebijakan pembiayaan pendidikan yang memihak rakyat. Menurut Konvensi Hak Anak, anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup, perlindungan, perkembangan, dan partisipasi. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak menjamin, anak harus dilindungi agar tidak putus sekolah.

Alternatif solusi
Ada beberapa alternatif solusi. Dalam era desentralisasi, peran pemerintah daerah amat besar dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan. Belajar dari China, pemerintah menaikkan gaji guru secara signifikan secara nasional dan menyediakan perumahan. Lalu, pemerintah daerah menganggarkan pembiayaan pendidikan di tingkat lokal dan bisa mengajukan subsidi dari pemerintah pusat untuk berbagai program dengan syarat bersedia diaudit dan mempertanggungjawabkan kepada publik. Sekolah yang mendapat subsidi pemerintah dikenai plafon pungutan yang bisa ditarik dari siswa. Sekolah swasta yang tidak menerima subsidi dibebaskan menarik pungutan, tetapi harus mengumumkan anggaran dan pendapatannya kepada publik untuk menghindari komersialisasi pendidikan.


Alternatif lain adalah regulasi guna pemerataan akses pendidikan bermutu. Ketika dorongan untuk menjadi unggul di keluarga mampu dan sekolah favorit tidak bisa dibendung lagi, regulasi bisa dilandaskan pada asas "menarik sebanyak mungkin dari yang mampu dan memberi kesempatan kepada yang tidak mampu". Pemerintah daerah perlu menetapkan kuota agar sekolah favorit dan mahal menyediakan sekian persen bangku gratis bagi anak miskin.

Jika pemerintah belum sanggup memenuhi kewajibannya, tanggung jawab sosial korporasi perlu dimanfaatkan. Sumbangan dari korporasi amat dibutuhkan karena anggaran pemerintah belum mencukupi, sementara masyarakat masih terjebak kemiskinan. Namun, peran korporasi ini tidak seharusnya mengalihkan tanggung jawab pemerintah dalam membiayai pendidikan. *

* Penulis, Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi






Tidak ada komentar: