Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Menanti kebangkitan jeruk keprok soE (1)

Spirit NTT, 13-19 Oktober 2008

JIKA
kembali dari perjalanan ke Kupang atau SoE di Pulau Timor, tanpa membawa jeruk keprok soE dan apel soE sebagai "buah tangan", rasanya belum lengkap. Ini dapat dimaklumi, sebab kedua jenis buah yang diproduksi di daerah itu memiliki keunggulan tersendiri. Bahkan, apel soE oleh sejumlah peneliti hortikultura dinilai lebih gurih dibandingkan dengan apel malang. Begitu pun jeruk keprok soE, rasanya sangat manis.

Akan tetapi, itu dulu. Karena sejak tahun 1984, apel soE telah menghilang dari pasaran akibat terserang hama penyakit yang sangat ganas. Berbagai upaya pembasmian tidak membuahkan hasil sehingga akhirnya petani setempat terpaksa menebang tanaman apel yang ada. Mulai saat itulah, komoditas kebanggaan masyarakat itu musnah dan hancur.

Jeruk keprok soE juga mengalami nasib yang sama. Hingga tahun 1992, komoditas yang dibudidayakan petani secara tradisional ini produksinya sempat mencapai 4.563 ton. Setahun berikutnya meningkat menjadi 5.721 ton, lalu tahun 1994 naik lagi menjadi 6.817 ton, dan pada tahun 1995 melonjak menjadi 15.210 ton.

Sayangnya, produksi yang berlipat ganda itu cuma sesaat. Dalam tahun itu juga, hama mulai menyerang tanaman jeruk keprok soE. Penyakit itu berupa kutu daun (coklat, hitam, dan hijau), lalat buah, busuk pangkal batang, jamur upas, dan sejenisnya. Maka, sejak 1996 produksi pun merosot, yakni cuma 8.988 ton.

Serangan hama itu hari demi hari semakin ganas, sehingga tahun-tahun berikutnya satu per satu tanaman terpaksa ditebang dan dimusnahkan petani. Hanya sebagian kecil yang diselamatkan melalui cara kimiawi dan tradisional. Hingga akhir tahun 2002, populasi jeruk keprok soE di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tinggal 813.763 pohon. Namun, hanya 311.800 pohon yang masih produktif. Ini pun cuma sebagian kecil yang berproduksi secara baik dengan volume sekitar 2,0 ton per tahun. Harga jual di tingkat petani hanya Rp 3.000- Rp 4.000 per kilogram.

Sebagian besar tanaman jeruk lain rata-rata berusia minimal 20 tahun. Saat ini jeruk itu berubah menjadi komoditas yang sangat langka di NTT. Kelemahan utama adalah pembudidayaan komoditas ini belum menggunakan sistem pembibitan, perawatan, dan pengelolaan tanaman yang profesional. Melainkan masih bersifat sambilan. Pemupukan jarang dilakukan, sehingga hasil produksi tidak maksimal.

Sejarah kehadiran tanaman jeruk keprok di TTS masih misterius. Namun informasi di lapangan menyebutkan, komoditas itu mulai ditanam di Desa Tobu, Kecamatan Mollo Utara sekitar abad ke-15. Mulanya, tanaman ini ditanam raja setempat yang bernama Sani Oematan. Ketika itu, dia mendapat sejumlah jeruk dari seorang keturunan Tionghoa.Biji dari buah jeruk itu lalu ditanam pada suatu lokasi yang disebut Leol Kase. Leol berarti jeruk, sedangkan Kase artinya tempat. Bahkan, Leol Kase menjadi tempat pertama pembudidayaan jeruk itu. Dari sana, mulai menyebar ke desa tetangga, seperti Oenbasi, Bijeli, Bosen, Oelangkai, Tune, dan sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten TTS, serta kabupaten lain di NTT.

Ciri khusus jeruk keprok soE adalah buah bulat pendek dengan panjang rata-rata 5-7 sentimeter. Ukuran buahnya hampir seragam. Kulit agak tebal dan berongga, serta berwarna oranye, tetapi mudah dikupas. Warna daging buah kuning kemerahan, beraroma lembut, dan ketika masak kulit tampak mengkilat, licin, dan agak bergelombang. Pangkal buah agak menonjol ke atas yang menyerupai sanggul (konde) perempuan, sehingga sebagian kalangan menyebutnya jeruk keprok konde. Berat setiap buah berkisar 100 gram-125 gram.

Berdasarkan hasil pengujian Politeknik Universitas Nusa Cendana Kupang, setiap 100 buah jeruk mengandung kadar gula 12,80 persen, total keasamanan 0,31 persen, vitamin C 54,71 miligram, kadar lemak 0,60 persen, kadar protein 1,20 persen, dan kadar serat kasar 0,44 persen. Sementara itu, jeruk siam dengan ukuran yang sama memiliki kadar gula 11,53 persen, total keasaman 0,42 persen, kandungan vitamin C 60,43 miligram, kadar lemak 0,58 persen, kadar protein 1,24 persen, dan kadar serat kasar 0,43 persen.

Sadar akan keunggulan jeruk keprok soE, Departemen Pertanian bersama Dinas Pertanian NTT dan Dinas Pertanian Kabupaten TTS pun tidak patah arang. Sejak tahun 1997, digalakkan kembali pembudidayaan dengan menggunakan sistem okulasi. Pada tahun itu ditanam 5.000 batang pada areal 10 hektar. Petani yang dilibatkan 31 kepala keluarga (KK). Tahun anggaran (TA) berikutnya ditanam lagi 125.000 batang pada areal 244,46 hektar, melibatkan 442 KK. Kemudian TA 1999/2000 dibudidayakan 120.020 batang dalam areal 421 hektar, dengan menyertakan 421 KK. Proyek ini terus digalakkan hingga lima tahun mendatang dengan target minimal dua juta pohon.

Akan tetapi, kesadaran itu tak ditunjang instansi terkait lain, seperti Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) untuk penyediaan air bagi tanaman. Padahal, kondisi kawasan sentra pembudidayaan jeruk masih dipengaruhi iklim tropis dengan musim hujan yang pendek. Saat musim kemarau, curah hujan yang terjadi berkisar 850-1.250 milimeter per tahun. Jadi, air merupakan kebutuhan yang vital. Krisis air mengakibatkan cukup banyak tanaman jeruk yang mati. Untuk tahun 1997/1998 sampai tahun 1998/1999, dari 130.000 batang yang ditanam, yang hidup hanya 98.613 batang, atau 24,2 persen batang mati. Lalu, pada tahun 1999/2000 hanya 108.992 batang yang hidup.

"Sebetulnya di Gunung Mutis ada mata air dengan debit yang besar. Jarak dari lokasi itu ke kebun jeruk sekitar 20-30 kilometer. Kalau bisa diusahakan pemerintah maka kami tak kekurangan air, dan kami jamin tak akan ada tanaman jeruk yang mati lagi, kata Habel Ablugi (75), petani di Desa Tobu, Kecamatan Mollo Utara. Tiga tahun silam, dia menanam 3.050 batang jeruk hasil okulasi, namun sudah 500 batang mati akibat kekurangan air. Dulu, kawasan Mollo Utara merupakan daerah yang cukup dingin dengan frekuensi hujan yang tinggi. Sehingga tanaman jeruk bisa hidup dan berbuah sepanjang tahun. Tetapi lima tahun terakhir cuaca seperti itu semakin langka. Krisis air semakin dirasakan warga setempat.

Setahun terakhir, Dinas Pertanian mencoba membantu petani jeruk setempat dengan menarik air dengan program pipanisasi. Hanya saja, sumber air yang digunakan memiliki debit yang sangat kecil sehingga saat musim kemarau tetap terjadi krisis air. Masalah lain adalah prasarana transportasi. Memang, selama ini telah dibangun jaringan jalan menuju kawasan sentra perkebunan jeruk. Akan tetapi, ruas jalan yang menghubungkan kota kecamatan dengan sentra jeruk yang jarak rata-rata berkisar 15-35 kilometer tersebut umumnya masih berupa jalan tanah dan perkerasan. Jalan-jalan itu pun berlubang, dan pada saat musim hujan kendaraan truk pun sulit melewati.

"Kami akui, inilah keterbatasan kami dalam membudidayakan kembali jeruk keprok soE ini. Tetapi, kami pun tidak bisa memaksa Dinas Kimpraswil Kabupaten TTS agar menyediakan air bagi petani, sebab hal tersebut sudah di luar wewenang kami," kata BF Sadukh, Pimpinan Proyek Budidaya Jeruk Keprok SoE yang mengaku musim hujan ini akan merehabilitasi lagi tanaman jeruk yang telah mati.
Diakuinya, selama ini agak jarang dilakukan rapat koordinasi yang melibatkan semua instansi terkait yang digelar kepala daerah setempat untuk mensinergikan program pengembalian kejayaan komoditas tersebut. Akibatnya, sebagian dana pembudidayaan dan perawatan tanaman jeruk terpaksa dialihkan untuk penyediaan air dengan hasil yang belum sesuai dengan harapan petani. (kcm/bersambung)


1 komentar:

ratna_jo mengatakan...

saya sangat tertarik dg keprok soe. dmana sy bisa mendapatkan bibit keprok soe? ada no kontak yg bisa dihubungi?