Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

100 Hari Bersama Sosi-Dami (1)

Cinta dalam sepotong ubi

Oleh Even Edomeko

"PROGRAM 100 hari? Belum kami pikir." Begitu kata Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang dan Wakil Bupati, dr. Wera Damianus kepada sejumlah wartawan di lobby Hotel Cendana-Kupang, usai dilantik Gubernur NTT 2003-2008, Piet Tallo, S.H, Sabtu (31/5/2008).

Dalam jumpa pers yang juga disiarkan langsung oleh Radio Suara Sikka itu, Bupati Sosimus mengatakan, "Fokus kami kini adalah bagaimana menyatukan hati, otak dan potensi semua warga untuk bersama membangun Kabupaten Sikka, sejak perencanaan hingga penikmatannya..."


Mendengarkan rakyat
Kaul untuk mengumpulkan kuntum-kuntum aspirasi tentang rencana pembangunan Sikka lima tahun ke depan mulai terpenuhi hari itu juga. Dalam perayaan syukur bersama warga Sikka di Sikumana Kupang, Dr. Edmund Woga C.Ss.R mengedepankan pentingnya menyatukan kembali berbagai elemen masyarakat yang kadung tersegmentasi oleh keberpihakan politis selama proses pilkada. Sementara sesepuh NTT, dokter Hendrikus Fernandes membagikan kiat sukses menjadi pemimpin.

Besoknya, dalam perayaan syukur di Lokaria Maumere, sejumlah pemuka masyarakat naik podium beri wejangan. Uskup Maumere, Mgr. Kerubim Parera, serukan pentingnya memimpin tanpa dendam. "Hindarkan rezim Anda dari rasa dendam...," khotbah Uskup (Pos Kupang 2/6/2008). Lantas Drs. Daniel Woda Pale, Bupati Sikka ke-3, juga sesepuh NTT, meminta Sosi-Dami mendengarkan dengan bijak semua permintaan dan kebutuhan rakyat (Pos Kupang, ibid.).

Lalu apa permintaan rakyat? "Kami minta supaya para petani yang sudah susah jangan dipersusah, dibingungkan pula. Waktu lapor ke Dinas Pertanian tanaman kakao dirusak hama, kami disuruh ke Subdin Perkebunan; tiba di Subdin Perkebunan, kami disuruh ke PPL; padahal kami tidak pernah tahu PPL ada di mana. Kami ingin Dinas Perkebunan itu berdiri sendiri karena kami butuh itu," demikian permintaan Alo Gowa, tokoh masyarakat Hewokloang dalam acara syukuran di Kampung Hewokloang, Desa Seusina, Kecamatan Hewokloang (8/6/2008).

Dari podium yang sama, ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sikka, Drs. Felix Wodon, menitip pesan agar duet Sosi-Dami harus menjadi moan jaga nian plamang natar dan bukan menjadi moan jaga orin plamang woga. "Moan jaga nian akan menomorsatukan kepentingan rakyat banyak, tetapi moan jaga orin memrioritaskan kepentingan dia punya anak, kepentingan dia punya istri dan saudara-saudara istrinya.... Yang ini jangan sampai terjadi," pinta Wodon.

Sementara dari Nusa Lu'a, PaluE, (10-13/6/2008), dalam kulababong bersama tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pegawai se-Kecamatan PaluE, kepada Duo Pemimpin ini masyarakat 'memanjatkan' Doa Umat Klasik: "Beri kami jalan, air bersih, penerangan, dan alat telekomunikasi."

Di Kebot, Kecamatan Waigete, dalam acara syukuran serupa (15/6/2008), Wakil Uskup Bidang Pastoral, Romo Cirilus Meo Mali, Pr, minta bupati dan wabup perhatikan pembangunan hidup rohani umat. "Dari 64 pastor yang berkarya di Keuskupan Maumere, putra asli Nian Sikka cuma dua orang. Mohon bapak berdua membantu promosikan panggilan imamat kepada anak-anak kita," pinta Romo Cirilus.

Dari Doreng, Kecamatan Doreng (29-30/6/2008), dalam kesempatan kunjungan kerja Wabup Damianus, masyarakat meminta pembangunan potensi wisata, di samping kebutuhan dasar khususnya jalan raya, penerangan, pelayanan kesehatan dan pemberantasan hama penyakit tanaman. "Sudah lama Pantai Doreng ditetapkan sebagai salah satu obyek wisata, tapi sampai sekarang pantai ini belum pernah pernah diapa-apakan," ujar Kanisius salah satu tokoh masyarakat Doreng.

Di Pemana, Kecamatan Alok (8-9-9/7/2008), setelah menari bersama semalaman dengan iringan orkes dangdut qasidah, Sosi-Dami 'cuma' dititipi oleh warga pulau di depan Teluk Maumere itu, sebuah pesan pendek: "Tolong bapak berdua jangan lupa kami di sini."

Jika Pemana titip pesan pendek, Tana Ai 'titi' nota panjang. Dalam kulababong bersama dua ratusan tokoh masyarakat se-Kecamatan Talibura di Aula Paroki Boganatar (14/8/2008), tampil delapan pembicara mewakili delapan desa, omong aneka kebutuhan mulai dari pembangunan ekonomi dan prasarana transportasi, manajemen pendidikan dan pelayanan kesehatan, listrik dan menara handphone, sampai pemekaran kecamatan.

Sekretaris Desa Ojang, Ibu Klemensia mengatakan, "Saya mau sampaikan kepada bapak-bapak, bahwa kami di Ojang sampai sekarang ini susah sekali. Listrik tidak ada, jalan juga rusak berat, radio RPD Sikka juga kami tidak bisa dengar. Dan, itu sudah berlangsung lama sekali, sampai saat HUT Republik Indonesia ke-63 sekarang ini. Jadi kami harap agar prinsip 'membangun mulai dari desa' itu menyentuh juga kami di Desa Ojang juga."

Permintaan sesama dan kebutuhan serupa muncul di berbagai desa dan kecamatan lain, pun di aneka forum dialog bersama Bupati dan Wabup Sikka periode 2008-2013 ini. Namun kulababong paling panjang dan terintens, hemat penulis, adalah dialog bersama para pastor se-Keuskupan Maumere yang juga dihadiri oleh Uskup Maumere, Mgr. Kerubim Parera, di Wisma Nazareth Nele (26/7/2008).

Dalam dialog ini, Bupati dan Wabup mendengarkan berbagai masalah yang ditangkap dan dirumuskan tajam oleh para pastor, di hampir semua bidang kehidupan. Pada kesempatan ini pula, Pemerintah dan Gereja saling men-sharing-kan program kerja dan berjanji baku kooperatif membangun Kabupaten Sikka. "Seluruh wilayah administratif Kabupaten Sikka, itulah seluruh wilayah gembala Keuskupan Maumere. Di dalamnya hiduplah orang-orang: yang pemerintah sebut rakyat, dan yang gereja sebut umat. Jadi kerja sama kita akan sangat membantu mereka," simpul Romo Wilfried Valiance, Pr yang memoderatori kulababong itu.

Satu Otak, Satu Hati
Untuk menyatukan otak (baca: persepsi) dan hati (baca: tekad), Sosi-Dami ---setelah mendengarkan rakyat bicara--- mengedepankan program kerja lima tahun ke depan (2008-2013), di periode abdinya.

"Kabupaten Sikka tidak akan berkembang hanya oleh dua orang; sebaliknya ia akan melesat pesat ke depan jika semua kita bersatu hati dan wain-talin berjuang. Karenanya, saya mengajak mai mogat hama-hama, mai kita ate lele ha membangun Nian Tana tercinta," ajak Bupati Sosimus dalam berbagai kesempatan.
"Mai mogat hama-hama itu elan vital; spiritnya adalah membangun mulai dari desa," terang Wabup Damianus dalam aneka forum.

Spirit 'membangun Kabupaten Sikka mulai dari desa' ini menjadi prinsip penting, karena 80 persen dari 234.213 penduduk Kabupaten Sikka tinggal di desa-desa. Karena itu, memajukan desa-desa, yang total berjumlah 147 itu, berarti menyejahterakan sebagian besar wilayah dan masyarakat kita, yang akan menyempurna dengan juga memajukan wilayah dan masyarakat perkotaan (dalam 13 kelurahan).

Sambil terus-menerus mendengarkan rakyat dan tanpa henti menyatukan otak dan hati lewat sosialisasi dan sharing program dan ide, gebrakan 'mendagingkan sabda' pun mulai dilancarkan, bahkan sejak hari pertama masa bakti.

Cinta dalam Sepotong Ubi
"Mohon maaf sungguh-sungguh, saya tidak bisa makan kue ini. Saya hanyalah orang kampung biasa. Sekiranya ada ubi atau pisang, saya akan sangat berterima kasih." Begitu kata Wabup Damianus, ketika dijamu seusai melantik Kepala Desa Bloro, Kecamatan Nita (7/6/2008).

Panitia terkejut. Undangan terdiam. Semua mata tertuju ke sang kue tart warna-warni yang tidak berdosa itu, yang tertata cantik-apik di talam berlapis kain sarung dala mawarani. "Perut saya tak bisa mencerna kue ini. Maafkan...," ucap Wabup lagi.

Panitia memang terlatih melayani. Dalam tempo pendek, ubi bakar, ubi rebus, dan ubi goreng menggantikan tempat tart di nampan dala mawarani. Dan Pak Wabup, setelah berterima kasih, menunjukkan selera makan yang bagus akan berbagai makanan lokal itu, diiringi senyum lega panitia dan derai tawa undangan.

Seperti angin, 'Peristiwa Bloro' segera tersiar luas tersebar lebar. Sejak itu, jika Sosi-Dami berkunjung ke desa, ubi-pisang-jagung-rebung, daun pepaya - daun ubi berbagai daun di kebun petani, yakni aneka makanan lokal, bakal jadi menu utama.
Tetapi, mengapa ubi? Mengapa pisang? "Karena hal ini membantu petani-petani kita, yang adalah mayoritas penduduk Kabupaten Sikka. Karena hal ini juga membantu para mama tua kita yang berjualan ubi-pisang-jagung di pasar-pasar, yang setelah dibakar matahari dari pagi sampai petang, mereka pulang dengan kantong kosong karena tidak ada yang beli." Demikian paparan Bupati Sosimus dan Wabup Damianus dalam Rapat Koordinasi bersama segenap pejabatan eselon II dan III Pemkab Sikka beserta seluruh camat, di ruang kerja bupati (9/6/2008).

"Prinsip 'Membangun Mulai dari Desa' harus didukung dengan rasa cinta kepada petani dengan kebiasaan memuliakan produk-produk dari desa. Mari kita mulai dengan makanan lokal kita, dan kita harus budayakan ini. Ini tidak sulit, karena sejak kecil kita makan ubi-jagung-pisang," imbuh bupati.

Argumen lain kebijakan ini adalah kesehatan. Adalah Sang Wabup Damianus yang dokter itu menjelaskan, "Dari sisi kesehatan, makanan yang memakai banyak bahan kimia seperti pewarna makanan (dalam kue), zat pengawet, dan kadar gula amat tinggi itu tidak baik untuk kesehatan kita. Lebih tidak sehat lagi bagi pegawai yang memang bekerja dengan banyak duduk."

Karena itu, lanjut Bupati Sosimus, "Saya imbau kepada kita semua agar dalam kegiatan pemerintahan di mana saja, jika ada makan-minum, belilah, olahlah, dan sajikanlah makanan lokal."

"Apa buktinya kita bilang mencintai petani tetapi untuk snack (makanan ringan) saja kita beli di toko? Berapa harga kue? Berapa harga kertas kotak pembungkus kue? Ke mana perginya uang jika kita beli snack kotak?"

Kita tahu satu kotak kue berharga Rp 5000. Kita tahu kertas pembungkus berharga Rp 500/lembar. Kita tahu kemana uang itu pergi. Tapi mengapa bupati dan wabup yang demikian penting-genting-strategis posisi dan fungsinya kok repot-teo urus-atur snack yang hanya lima ribu perak itu? Mengapa?

Kendati tidak eksplisit terkatakan, namun implisit terkuak ke permukaan hal-hal penting ini, pertama, menciptakan pasar buat makanan lokal. Betapa sering kita dengar, banyak rezim di banyak kabupaten, pun Kabupaten Sikka, memrogramkan, memroyekkan dan memerintahkan petani menanam berbagai produk lokal, tetapi tanpa pernah siapkan pasarnya. Ada proyek penanaman pisang beranga, lalu beranga diberi kepada babi. Ada proyek penanaman buah advokat, namun tatkala musim panen tiba, babi lagi yang kenyang. Ada proyek penanaman ubi kayu, finalnya untuk babi lagi. Ada proyek penanaman jagung, ya syukurlah.... yang ini ayam dapat giliran kenyang. Dan petani? Makan hati.

Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat. Imbauan di atas jelas menguntungkan petani dan papalele kecil, khususnya para penjual berbagai makanan lokal, yang selalu kita lihat duduk bertengger di trotoar-trotoar sehingga dikejar-kejar Polisi Pamong Praja; atau yang duduk bersila di emper-emper toko, disengat terik dan yang barang jajaannya hanya laku untuk babi. Dari pada pulang kosong, mereka sering menjual dengan harga di bawah normal. Dan kita kadang membeli karena kasihan daripada butuh memakannya (Bukankah kita tidak cinta ubi?). Pantas dicatat, sewahid apapun sebuah teori pembangunan ekonomi masyarakat kecil, parameternya pasti ini: bisa langsung dinikmati masyarakat lapisan terbawah atau tidak.

Ketiga, membudayakan cinta makanan lokal. Saban tahun Kabupaten Sikka alami rawan pangan (seperti beberapa kabupaten di NTT), entah karena bencana alam (kemarau panjang/angin taufan) atau lantaran hama tanaman. Di saat itu, untuk tetap hidup, rakyat masuk hutan dan cari berbagai ubi. Orang Tana Ai cari magar, orang PaluE cari uwi ndua, orang Lio cari ondos, orang Hewokloang cari putak (bagian dalam batang enau).

Padahal rawan pangan tak perlu terjadi, jika kita terus merawat ubi, pisang, jagung dan berbagai tanaman pangan lokal di kebun-kebun kita. Dan untuk itu, pemerintah selalu punya program diversifikasi pangan. Soalnya, mengapa tidak dituruti? Jawaban bisa macam-macam. Namun, sebab sesungguhnya adalah karena kita tidak menaruh cinta (sekali lagi: MENARUH CINTA) pada makanan lokal. Cinta (dan rasa bangga) kita hanya jika menyantap berbagai makanan instant: Chiki-Chiki, Kreeeeepek, pisang molen, dan Barata Fried Chicken, dlsb, semua yang nongol di iklan televisi.

Orang bosan dengar imbauan dan tak suka diperintah-perintah. Mereka ingin lihat kiprah dan contoh nyata. "Peristiwa Bloro" di atas bisa berbicara sangat lantang tapi merdu. Ia mengajak tanpa perintah. Meneladankan tanpa ancaman. Ia menunjukkan bagaimana berbudaya dengan penuh martabat.

Kini 100 hari telah lewat, sejak Sosi-Dami dilantik. Di bidang pemberdayaan ekonomi, program besar baru tengah dimatangkan. Namun saya mencatat: semangat 'Cinta dalam sepotong ubi' mendapat tempat di sukma rakyat. Petani senang, tanamannya diborong para papalele. Papalele senang, jualannya diborong para pegawai. Pegawai senang, memakan makanan tanpa bahan kimia, masih hangat lagi, tak lagi dingin seperti dulu.* (bersambung)

Spirit NTT, 29 September - 5 Oktober 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Benar memang, Sikka amat potensial. Akan lebih potensial lagi kalau paket SODA bisa dengan besar hati menyatukan juga para lawan politik untuk duduk bersama dalam posisi strategis.... Secara pribadi, saya benci "politik balas dendam", saya suka "politik selektif" = yang potensial, ya mari itan bangun Sikka tercinta. Dengan prinsip "the right person at the right time, job, position & capabilities......".

Niko
Jakarta