Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mengenal potensi sarang burung walet di Belu (1)

Spirit NTT, 8-14 September 2008

SEJARAH mencatat bahwa sarang burung walet telah dikonsumsi oleh orang-orang Cina sejak tahun 700. Sedangkan perdagangan sarang burung walet dari Asia Tenggara ke Cina telah dilakukan sejak abab ke-14, pada saat Dinasti Ming berkuasa di Negeri Cina.

Maraknya perdagangan sarang burung walet tersebut berkaitan erat dengan khasiat sarang burung walet dan status sosial orang-orang yang mengonsumsinya. Sarang burung walet dipercaya mempunyai khasiat bermacam-macam, termasuk dapat menyembuhkan beberapa penyakit pernafasan, menghalus-kan kulit, menambah kebugaran tubuh dan memperpanjang usia. Walaupun semua khasiat tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah, kebiasaan pemanfaatan sarang walet sebagai bahan makanan terus berlanjut hingga kini dengan jumlah konsumen dari waktu ke waktu terus meningkat.

Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam. Pada bulan Januari 1999, misalnya, harga sarang walet yang dihasil-kan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg (Rp 25 juta/kg).
Tulisan ini mencoba memfokuskan perhatian pada potensi tambang 'emas putih' yang dihasilkan oleh sarang walet dari goa-goa alam di Kabupaten Belu yang bisa menjadi primadona perekonomian masyarakat setempat yang dapat mendatangkan pendapatan yang sangat prospektif di masa depan dan kemungkinan timbulnya potensi konflik dalam pengelolaan sarang burung walet nanti.

Potensi sarang walet di Belu
Indonesia merupakan negara penghasil sarang burung walet terbesar di dunia. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor sarang burung walet dari Indonesia adalah Hongkong (Cina), Taiwan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Amerika Serikat, Australia, Perancis dan Belanda.

Permintaan pasar internasional akan sarang burung walet dari Indonesia sebagian besar masih dipasok dari Pulau Jawa dengan daerah sentra produksi sarang walet tersebar di tiga wilayah yaitu Jawa Barat (Haurgeulis, Indramayu dan Karawang), Jawa Tengah (Pemalang, Pekalongan, Purwodadi, Kendal, Juwana, Semarang dan Wonosari) dan Jawa Timur (Gresik, Sedayu, Pasuruan dan Bangil).
Sebagian besar produksi sarang walet dari daerah-daerah tersebut di atas tidak diambil dari habitat alami di goa-goa walet, melainkan dari budidaya burung walet di rumah walet.

Namun, keterbatasan potensi ling-kungan alami, terutama faktor edafis (luas lahan) secara prospektif mempengaruhi lingkungan sosial dan lingkungan buatan. Pengaruh dimaksud di antaranya perubahan fungsi lahan yang semakin terbatas untuk pembangunan rumah walet sehingga me-nimbulkan masalah tata ruang di kota-kota di Jawa serta mempengaruhi kesehatan ma-syarakat yang mendiami kawasan sekitar rumah walet.

Selain itu, konversi lahan juga berdampak pada semakin terbatasnya ketersediaan pakan sehingga jumlah populasi burung walet semakin menurun. Akibatnya, para eksportir sarang burung walet di masa-masa mendatang, tidak mungkin lagi meng-andalkan produsen sarang burung walet di Pulau Jawa, tetapi akan melirik potensi sarang burung walet dari habitat alami di goa-goa alam di luar Jawa.
Kabupaten Belu merupakan salah satu dari 15 kabupaten/kota yang terdapat dalam wilayah administrasi Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki luas wi-layah daratan 2.445,57 km2 atau 5,16 persen dari total luas wilayah daratan NTT.

Secara administratif kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, bekas Propinsi Timur Timur ini terbagi atas 12 kecamatan yang terbagi dalam 155 desa dan 12 kelurahan. Goa-goa alam yang selama ini telah diidentifikasi memiliki potensi menghasilkan sarang walet di Kabupaten Belu antara lain tersebar di delapan dari 12 kecamatan di sana, yakni Kakuluk Mesak (Desa Fatuketi), Tasifeto Barat (Desa Tukuneno), Tasifeto Timur (Desa Takirin, Lasiolat dan Bauho), Raihat (Desa Tohe), Kobalima (Desa Litamali dan Rainawe), Malaka Tengah (Desa Kateri), Sasita Mean (Desa Manulea) dan Rinhat (Desa Biuduk-foho). Besarnya potensi sarang walet dari goa-goa alam di beberapa kecamatan ter-sebut di atas belum dieksploitasi secara optimal karena sebagian besar penduduk Belu yang tinggal di sekitar goa-goa walet, belum banyak mengetahui manfaat ekonomis sarang burung walet.

Khusus masyarakat adat Lidak, Kelurahan Umanen, Kecamatan Kota Atambua yang memiliki 37 goa alam, para tokoh masyarakat dan pe-mangku adat mengaku dengan lugu kepada Wakil Bupati (Wabup) Belu, drg. Gregorius Mau Bili bahwa selama ini mereka membiarkan saja kegiatan mengambil sarang walet oleh kelompok masyarakat yang berasal dari luar Kampung Lidak karena mereka tidak mengetahui manfaat ekonomis dari sarang burung walet sehingga Wabup Belu meminta masyarakat adat Lidak agar melindungi se-kaligus mengelola sarang burung walet yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga. (alfons loemau/yusuf leonard henuk/bersambung)


1 komentar:

ongkosas mengatakan...

kalo mo cari info sarang burung walet i ntt siapa contact personnya