Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Proyek komersialisasi sekolah

Spirit NTT, 21 - 27 Juli 2008

DUNIA pendidikan Indonesia sedang memasuki tahun ajaran baru 2008/2009. Setiap tahun, tahun ajaran baru selalu diwarnai dengan ragam gejolak ihwal naiknya biaya pendaftaran dan registrasi. Institusi pendidikan terus "menancap gas" dalam menaikkan biaya pendidikan, terlebih seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) sekarang.

Kenaikan biaya itu, oleh institusi pendidikan, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan kenaikan harga kebutuhan manusia yang juga terus melonjak naik.
Rasionalisasi tersebut akhirnya memakan korban yang sangat tragis. Ya, kaum miskin yang berpenghasilan sederhana akan semakin meratapi nasib, karena anak-anak mereka pasti 'gagal' menangkap peluang strategis di institusi pendidikan. Rakyat kecil akan semakin terpinggirkan aksesibilitas publiknya, karena hak pendidikannya terpasung oleh ambisi dan arogansi kuasa pasar. Sangat ironis, memang. Institusi pendidikan sudah diibaratkan 'barang dagangan' (komoditas) yang diperjualbelikan, sesuai dengan tingkat kenaikan harga di pasar.

Nasib rakyat kecil yang menjadi korban kapitalisasi pendidikan sedang meradang. Lihat saja kasus di Semarang, di mana biaya masuk sekolah negeri mencapai biaya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Demikian juga yang terjadi di Jakarta, sekolah berlomba menaikkan biaya pendaftaran dan registrasi, sehingga kaum miskin kehilangan kesempatan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Nasib tragis warga miskin di berbagai pelosok negeri masih bergentayangan. Terlebih di Indonesia wilayah timur. Selain gagal menggapai pendidikan, nasib mereka masih dikerubungi aneka krisis gizi, kekeringan, dan sebagainya.

Slogan pendidikan untuk semua sekarang hanya isapan jempol. Rakyat miskin terlunta-lunta mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Akhirnya, kaum miskin biasanya menjatuhkan pilihan pendidikan di berbagai sekolah swasta yang miskin kualitas. Harapan merenda masa depan di sekolah yang sejajar mungkin sudah tertutup. Sebuah petanda buruk bahwa eksistensi pendidikan sedang diperjual-belikan demi memperoleh proyek komersialisasi yang bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmanistyas (2005), menjadikan pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi justru menjadi ajang mengeruk keuntungan finansial. Menyembah kepada pasar, mengakibatkan dunia pendidikan menjadi salah satu sarana rekolonialisasi dan reimprealisasi neoliberal dalam menghegemoni seluruh ruang gerak manusia.

Gerak laju dunia pendidikan akhirnya terjebak dalam statistik yang penuh rentetan data sebagai bahan laporan bagi lembaga yang disetir dunia pasar. Data-data itu kemudian menjadi bahan dasar 'pengelola pasar' dalam monitoring laku-tidaknya aksentuasi formalitas pendidikan dalam pertarungan dunia industri global. Dalam tataran demikian, siswa dan mahasiswa dijebak dalam jerat permainan industri global.

Memasuki dunia pendidikan, maka mindsetnya dicetak dalam bingkai laku-tidaknya dalam dunia pasar. Terbukti, jurusan-jurusan yang menjadi favorit mesti jurusan yang selalu 'laku keras' dalam arus industri global. Jurusan yang tidak laku, maka akan ditinggalkan, bahkan kalau perlu 'dimuseumkan', sehingga tidak lagi menjadi incaran peminat.

Menggiring mindset siswa dalam logika pasar inilah yang sedang berlangsung sangat kolosal dalam alur dunia pendidikan di Indonesia. Misi dunia pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia jadi terganggu. Sekolah sekarang mencetak siswa-siswa yang segera layak jual di dunia industri. Guru-guru dan seluruh insan dunia pendidikan kemudian sibuk dengan agenda birokratisasi 'proyek yang sedang ramai' setiap tahun ajaran baru menggelinding. Atau setiap babakan momentum penting yang terjadi, maka akan selalu dimanfaatkan untuk mensukseskan sekian proyek kapitalisasi yang mendatangkan keuntungan finansial tinggi.

Tragedi komersialisasi sekolah telah menghadirkan duka sejarah yang berulang-ulang. Mengapa tidak? Setiap tahun ajaran baru, tragedi itu terus diulang-ulang. Bukannya disudahi, tetapi justru prakyek komersialisasi semakin merajalela. Jurus-jurus komersialisasi juga semakin canggih, sehingga sulit diendus publik.

Sampai titik ini, institusi pendidikan sejatinya sedang dalam gawat darurat. Peserta didik akan menjadi manusia robot, yang seluruh gerak langkahnya ditentukan oleh mesin produksi pasar. Jadilah mereka menjadi sosok yang saklek, monoton, dan tak berkreasi mencipta hal baru yang inspirasional. Terjebak dalam instanisme dan pragmatisme. Kaku dalam bertindak, miskin gagasan mencipta visi.
Maka, sudah saatnya sekarang semua pihak harus berupaya memutus benang kusut proyek komersialisasi sekolah. Sekolah harus dikembalikan kepada hakikatnya sebagai proses memanusiakan manusia. Proses belajar-mengajar adalah proses agung dalam mentransfer tata nilai kehidupan dan tata nilai gagasan. Tahun ajaran baru harus dikembalikan sebagai ritus suci mencipta manusia baru yang berjuang demi membela hakekat kemanusiaan dan kehidupan.

Atau menurut Sayed Husain Al-Attas (2005), proses pendidikan adalah proses menemukan kesejatian menuju kefitrian (al-fithrah). Fitrah kemanusiaan (al-fithrah al-insaniyyah) inilah yang akan menjadi landasan gerak proses pendidikan dalam transformasi tata nilai kehidupan berdasarkan hakekat kemanusiaan universal. Disinilah kita akan kembali kepada pemaknaaan sejati pendidikan. (muhammadun as/www.republika.co.id)



Tidak ada komentar: