Spirit NTT 5-11 Mei 2008
WACANA pembentukan kabupaten baru di Adonara kini memasuki tahapan kajian akademis. Pemerintah Kabupeten Flores Timur (Flotim) menghadirkan tim ahli dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada-Yogyakarta.
Tim yang terdiri dari Cornelis Lay, Purwo Santoso, Ratnawati, Wawan Mas'udi serta Nova Dona Bayo itu selama seminggu sejak 7 April 2008 berada di Flores Timur untuk melakukan kajian. Saya bersama wartawan Pos Kupang Marthen Lau mendampingi rombongan kecil itu selama sua hari mengelilingi Adonara. Berikut catatan lepas saya bersama tim itu.
Lima orang dosen dan peneliti dari Program Pasca Sarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah pada Jurusan Ilmu Pemerintahan- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada-Yogyakarta berada di Flores Timur. Sekitar jam 07.30 wita Rabu, 9 April 2008, tim menyeberangi selat Larantuka ke Tobilota. Ini mengkin merupakan perjalanan laut pertama mereka menggunakan motor kecil menyeberangi selat berarus kencang. Dari Tobilota, dengan sebuah truk tua menyusuri jalur Tobilota-Waiwarang. Di ibukota Adonara Timur itu, kami bermalam di Penginapan Asri.
Apa gerangan tim ini di Adonara?
Setelah beristirahat sejenak di Asri, rombongan kecil itu lalu ke Kantor Camat Adonara Timur. Agendanya, untuk bertemu dan bertukar informasi dengan komponen masyarakat dari 8 kecamatan di Adonara. Ada sekitar 30-an orang hadir di sana, di antaranya para camat dan mantan birokrat asal Adonara, juga FPArK (Forum Perjuangan Adonara Kabupaten).
Walau tema besar kajian tim ini adalah atasnama Adonara Kabupaten, namun Cornelis Lay selaku ketua tim lebih awal menegaskan bahwa tujuan utama kajian akademis ini sama sekali tidak untuk memutuskan apakah Adonara layak atau tidak layak jadi.
"Bukan soal dimekarkan atau tidak dimekarkan. Tujuan utama kita adalah menghasilkan sebuah masukan bagi pemerintah tentang pengembangan pembangunan Flores Timur ke depan secara menyeluruh."
Kata pengantar Cornelis Lay ini bagai arus listrik yang mengejutkan banyak orang yang ada dalam aula bekas kantor Swapraja Adonara - peninggalan kolonial Belanda itu. Begitu pula ketika Asisten Tata Praja Pemkab Flores Timur, Dominikus Demon, mengumumkan pemecahan forum menjadi empat kelompok diskusi yang lebih kecil, ada kelompok para birokrat dan mantan birokrat, kelompok para tokoh masyarakat dari delapan wilayah kecamatan, kelompok ketiga para aktivis dan pegiat LSM, serta kelompok orang-orang muda. Mereka membahas tiga tema besar yang telah diidentifikasi tim, yaitu soal kemiskinan, isolasi dan konflik.
Diskusi baru bubar usai makan siang, namun diskusi tidak berhenti di situ. Di penginapan masih ada diskusi informal untuk menggali lebih banyak lagi informasi tentang Adonara, dari masa ke masa.
Tema diskusi pun beragam, mulai dari sejarah Adonara, perkembangan ekonomi Adonara, penyebaran agama, pendidikan, kesehatan, sejarah pemerintahan di Adonara, hingga konflik tanah yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di Adonara.
Diskusi di para tokoh utusan dari delapan kecamatan yang berlangsung aula Kantor Camat dipandu Cornelis Lay mengisyaratkan bahwa salah satu penyebab tidak tuntasnya penyelesaian konflik tanah di Adonara selama ini adalah akibat penerapan sistim hukum di negeri ini yang lebih pengutamaan hukum formal dan mengabaikan hukum adat.
Walau begitu, seluruh peserta diskusi pun tidak mampu merumuskan dengan kata-kata mereka sendiri tentang mekanisme adat seperti apa yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap konflik berdarah yang timbul.
Kasus Tobi-Lewokeleng di Ile Boleng yang telah bertahan selama delapan tahun tanpa penyelesaian yang berarti adalah salah satu bukti bahwa penyelesaian secara adat sepertinya sudah tidak mempan lagi di Ile Boleng?
Menyusuri secara lebih jauh ke belakang lagi tapak sejarah di Adonara, ditemukan sebuah cerita soal tentang perang Paji- Demon di tahun 1859. Ketua FPArK, SO Corebima dalam diskusi informal di Asri sepertinya ingin mengabaikan perang itu sendiri dengan mengatakan bahwa, "Sekarang, proses kawin mawin antara keturunan paji dengan keturunan demon sudah semakin meluas. Sebagai contoh, saya orang demon menikah dengan isteri saya orang paji. Sudah tidak apa-apa lagi, dan sudah sering terjadi."
Apakah kawin mawin seperti yang digambarkan Corebima itu mutlak menyelesaikan konflik itu sendiri, atau justru hanya mendiamkannya agar tidak tampak riaknya di permukaan?
Sebab, penyelesaian secara menyeluruh sebuah konflik, apalagi itu konflik berdarah, tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan itu haruslah dimulai dengan mengkaji secara lebih mendalam untuk mengetahui akar permasalahannya.
Memang, ada penuturan yang menyebutkan bahwa perang Paji- Demon adalah sebuah strategi kolonial Belanda untuk bisa menduduki wilayah itu, yaitu dengan mengadu domba dua saudara yang mengusai wilayah Lamaholot? Kalau betul demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita mudah diadu domba seperti itu?
Proses pembaur melalui perkawinan seperti yang digambarkan SO Corebima bisa saja benar, sebagai upaya untuk mengakhiri perang saudara. Sejarah raja-raja dahulu juga menggunakan taktik seperti itu, tetapi menduduki dan menguasai atau untuk memperkuat bala tentara mereka, bukan untuk mengakhiri perang.
Lalu, menjadi pertanyaan yang menarik adalah apakah diam yang tercipta melalui pembaruan dengan cara perkawinan seperti itu bisa menjamin bahwa potensi konflik telah tiada?
Mengantar kita ke dalam permenungan di atas, pertanyaan lain yang ingin saya dikemukakan di sini adalah mengapa dari sembilan bupati yang memimpin Flores Timur sejak awal hingga sekarang, lima bupati di antaranya berasal dari kalangan tentara?
Cornelis Lay menyebut ada dua kemungkinan mengapa demikian, pertama, kalau ada potensi ekonomi yang sangat besar dan kedua, karena situasi dan kondisi keamanan di daerah itu tidak kondusif atau memiliki potensi konflik yang besar. Di manakah posisi Flores Timur?
Mengapa semuanya harus dibuka sejak awal untuk dikaji satu per satu dalam proses menuji Adonara kabupaten ini?
Cornelis Lay kemudian mengemukakan sejumlah contoh konflik berdarah yang meletus di beberapa daerah pemekaran.
Konflik berdarah di Maluku Utara misalnya; disebutkan oleh lelaki berdarah Sabu itu bahwa potensi itu sudah ada sejak lama berkaitan dengan perebutan potensi tambang emas yang berada diperut bumi persis pada lima desa yang kini diperebutkan lima daerah pasca pemekaran.
Selain konflik berdarah yang mengorbankan rakyat kecil tak berdosa, di tiap-tiap desa itu kini terdapat dua pemerintahan desa yang masing-masing berkiblat ke satu kabupaten. Kehidupan desa pun menjadi tak karuan. Masih ada konflik lain lagi yang dikemukakan peneliti senior itu, yang disebutnya akan disajikan dalam laporan hasil kajian tentang Adonara.
"Ini semata-mata karena kita tidak ingin ada konflik di Adonara justru terjadi setelah pemekaran," katanya. Alasan ini pula yang sering tim ini gunakan untuk menolak berbagai tawaran dari sejumlah daerah untuk melakukan kajian bagi pemekaran wilayah.
Dan, Flores Timur merupakan daerah kedua yang mereka terima untuk melakukan kajian, setelah pertama adalah sebuah kabupaten di Papua, yang disebut sebagai kabupaten peling tinggi di Indonesia. (peren lamanepa)
WACANA pembentukan kabupaten baru di Adonara kini memasuki tahapan kajian akademis. Pemerintah Kabupeten Flores Timur (Flotim) menghadirkan tim ahli dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada-Yogyakarta.
Tim yang terdiri dari Cornelis Lay, Purwo Santoso, Ratnawati, Wawan Mas'udi serta Nova Dona Bayo itu selama seminggu sejak 7 April 2008 berada di Flores Timur untuk melakukan kajian. Saya bersama wartawan Pos Kupang Marthen Lau mendampingi rombongan kecil itu selama sua hari mengelilingi Adonara. Berikut catatan lepas saya bersama tim itu.
Lima orang dosen dan peneliti dari Program Pasca Sarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah pada Jurusan Ilmu Pemerintahan- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada-Yogyakarta berada di Flores Timur. Sekitar jam 07.30 wita Rabu, 9 April 2008, tim menyeberangi selat Larantuka ke Tobilota. Ini mengkin merupakan perjalanan laut pertama mereka menggunakan motor kecil menyeberangi selat berarus kencang. Dari Tobilota, dengan sebuah truk tua menyusuri jalur Tobilota-Waiwarang. Di ibukota Adonara Timur itu, kami bermalam di Penginapan Asri.
Apa gerangan tim ini di Adonara?
Setelah beristirahat sejenak di Asri, rombongan kecil itu lalu ke Kantor Camat Adonara Timur. Agendanya, untuk bertemu dan bertukar informasi dengan komponen masyarakat dari 8 kecamatan di Adonara. Ada sekitar 30-an orang hadir di sana, di antaranya para camat dan mantan birokrat asal Adonara, juga FPArK (Forum Perjuangan Adonara Kabupaten).
Walau tema besar kajian tim ini adalah atasnama Adonara Kabupaten, namun Cornelis Lay selaku ketua tim lebih awal menegaskan bahwa tujuan utama kajian akademis ini sama sekali tidak untuk memutuskan apakah Adonara layak atau tidak layak jadi.
"Bukan soal dimekarkan atau tidak dimekarkan. Tujuan utama kita adalah menghasilkan sebuah masukan bagi pemerintah tentang pengembangan pembangunan Flores Timur ke depan secara menyeluruh."
Kata pengantar Cornelis Lay ini bagai arus listrik yang mengejutkan banyak orang yang ada dalam aula bekas kantor Swapraja Adonara - peninggalan kolonial Belanda itu. Begitu pula ketika Asisten Tata Praja Pemkab Flores Timur, Dominikus Demon, mengumumkan pemecahan forum menjadi empat kelompok diskusi yang lebih kecil, ada kelompok para birokrat dan mantan birokrat, kelompok para tokoh masyarakat dari delapan wilayah kecamatan, kelompok ketiga para aktivis dan pegiat LSM, serta kelompok orang-orang muda. Mereka membahas tiga tema besar yang telah diidentifikasi tim, yaitu soal kemiskinan, isolasi dan konflik.
Diskusi baru bubar usai makan siang, namun diskusi tidak berhenti di situ. Di penginapan masih ada diskusi informal untuk menggali lebih banyak lagi informasi tentang Adonara, dari masa ke masa.
Tema diskusi pun beragam, mulai dari sejarah Adonara, perkembangan ekonomi Adonara, penyebaran agama, pendidikan, kesehatan, sejarah pemerintahan di Adonara, hingga konflik tanah yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di Adonara.
Diskusi di para tokoh utusan dari delapan kecamatan yang berlangsung aula Kantor Camat dipandu Cornelis Lay mengisyaratkan bahwa salah satu penyebab tidak tuntasnya penyelesaian konflik tanah di Adonara selama ini adalah akibat penerapan sistim hukum di negeri ini yang lebih pengutamaan hukum formal dan mengabaikan hukum adat.
Walau begitu, seluruh peserta diskusi pun tidak mampu merumuskan dengan kata-kata mereka sendiri tentang mekanisme adat seperti apa yang paling tepat untuk menyelesaikan setiap konflik berdarah yang timbul.
Kasus Tobi-Lewokeleng di Ile Boleng yang telah bertahan selama delapan tahun tanpa penyelesaian yang berarti adalah salah satu bukti bahwa penyelesaian secara adat sepertinya sudah tidak mempan lagi di Ile Boleng?
Menyusuri secara lebih jauh ke belakang lagi tapak sejarah di Adonara, ditemukan sebuah cerita soal tentang perang Paji- Demon di tahun 1859. Ketua FPArK, SO Corebima dalam diskusi informal di Asri sepertinya ingin mengabaikan perang itu sendiri dengan mengatakan bahwa, "Sekarang, proses kawin mawin antara keturunan paji dengan keturunan demon sudah semakin meluas. Sebagai contoh, saya orang demon menikah dengan isteri saya orang paji. Sudah tidak apa-apa lagi, dan sudah sering terjadi."
Apakah kawin mawin seperti yang digambarkan Corebima itu mutlak menyelesaikan konflik itu sendiri, atau justru hanya mendiamkannya agar tidak tampak riaknya di permukaan?
Sebab, penyelesaian secara menyeluruh sebuah konflik, apalagi itu konflik berdarah, tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan itu haruslah dimulai dengan mengkaji secara lebih mendalam untuk mengetahui akar permasalahannya.
Memang, ada penuturan yang menyebutkan bahwa perang Paji- Demon adalah sebuah strategi kolonial Belanda untuk bisa menduduki wilayah itu, yaitu dengan mengadu domba dua saudara yang mengusai wilayah Lamaholot? Kalau betul demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita mudah diadu domba seperti itu?
Proses pembaur melalui perkawinan seperti yang digambarkan SO Corebima bisa saja benar, sebagai upaya untuk mengakhiri perang saudara. Sejarah raja-raja dahulu juga menggunakan taktik seperti itu, tetapi menduduki dan menguasai atau untuk memperkuat bala tentara mereka, bukan untuk mengakhiri perang.
Lalu, menjadi pertanyaan yang menarik adalah apakah diam yang tercipta melalui pembaruan dengan cara perkawinan seperti itu bisa menjamin bahwa potensi konflik telah tiada?
Mengantar kita ke dalam permenungan di atas, pertanyaan lain yang ingin saya dikemukakan di sini adalah mengapa dari sembilan bupati yang memimpin Flores Timur sejak awal hingga sekarang, lima bupati di antaranya berasal dari kalangan tentara?
Cornelis Lay menyebut ada dua kemungkinan mengapa demikian, pertama, kalau ada potensi ekonomi yang sangat besar dan kedua, karena situasi dan kondisi keamanan di daerah itu tidak kondusif atau memiliki potensi konflik yang besar. Di manakah posisi Flores Timur?
Mengapa semuanya harus dibuka sejak awal untuk dikaji satu per satu dalam proses menuji Adonara kabupaten ini?
Cornelis Lay kemudian mengemukakan sejumlah contoh konflik berdarah yang meletus di beberapa daerah pemekaran.
Konflik berdarah di Maluku Utara misalnya; disebutkan oleh lelaki berdarah Sabu itu bahwa potensi itu sudah ada sejak lama berkaitan dengan perebutan potensi tambang emas yang berada diperut bumi persis pada lima desa yang kini diperebutkan lima daerah pasca pemekaran.
Selain konflik berdarah yang mengorbankan rakyat kecil tak berdosa, di tiap-tiap desa itu kini terdapat dua pemerintahan desa yang masing-masing berkiblat ke satu kabupaten. Kehidupan desa pun menjadi tak karuan. Masih ada konflik lain lagi yang dikemukakan peneliti senior itu, yang disebutnya akan disajikan dalam laporan hasil kajian tentang Adonara.
"Ini semata-mata karena kita tidak ingin ada konflik di Adonara justru terjadi setelah pemekaran," katanya. Alasan ini pula yang sering tim ini gunakan untuk menolak berbagai tawaran dari sejumlah daerah untuk melakukan kajian bagi pemekaran wilayah.
Dan, Flores Timur merupakan daerah kedua yang mereka terima untuk melakukan kajian, setelah pertama adalah sebuah kabupaten di Papua, yang disebut sebagai kabupaten peling tinggi di Indonesia. (peren lamanepa)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar