Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Perkawinan adat Sikka, pesta sebenarnya

Spirit NTT, 7-13 April 2008

BERITA tentang akan digelarnya pesta perkawinan adat Sikka sudah kami terima sejak sore. Seorang teman memastikan pesta itu akan berbeda dari kebanyakan pesta perkawinan di Pulau Jawa. Ternyata ucapan itu bukan omong kosong. Pesta perkawinan adat Sikka memang sebenar-benarnya pesta.
Hari itu kami menyaksikan pesta perkawinan Quirinus Vincentius (30) dan Fransisca Andeja (27) di sebuah rumah tidak jauh dari pemakaman, tepatnya di Kelurahan Kota Uneng, Alok, Maumere. Seusai pemberkatan nikah, pelataran rumah selebar lapangan voli berubah jadi arena dansa. Alunan lagu-lagu daerah, pop tahun 1970-an, disko, dangdut, poco-poco, hingga house music bergantian disetel. Dan, para pengunjung pesta laki-perempuan, tua-muda, om-tante asyik berjoget sampai pagi.

"Ayo dansa. Di sini semua orang harus gembira," kata seorang pemuda yang sejak acara dimulai sudah berpromosi bahwa pesta akan dahsyat.
Kami pun melenggang ke arena dansa yang sudah sesak, mengikuti gerakan tari j'ai serupa poco-poco yang berputar-putar. Hihaa..., ayo menari, teriak beberapa orang sambil tertawa cekikikan.
Ternyata satu tarian memang tidak cukup. Kami pun ketagihan dan mencoba tari gawi, roka tenda, gong waning, dan akhirnya goyang bebas dengan iringan musik dangdut, house music, dan cha-cha sampai keringat mengucur deras. Dari sana kami jadi tahu mengapa hampir semua orang Sikka berbinar-binar jika mendengar akan ada pesta perkawinan.
Tepat pukul 24.00, acara dansa-dansi dipotong prosesi tama olauneng, yakni pengantin wanita dan pria dibimbing masuk kamar pengantin. Acara ini dipimpin tante besar dari pengantin perempuan yang biasa disebut a'a gete atau tante besar. Tante akan menjemput mempelai perempuan ke dalam rumah dan membimbingnya untuk meminta restu kepada seluruh keluarga besar, lalu pengantin perempuan dibawa masuk kamar.
Selanjutnya, tante menjemput pengantin pria dari kursi pengantin, dan membawanya ke rumah perempuan. Tante sekali lagi membimbing pengantin pria meminta restu kepada seluruh keluarga besar pihak perempuan.
Setelah itu, dia dibimbing masuk ke kamar. Tante, kemudian, mengunci kamar dan menunggunya hingga pagi hari. Dia akan membangunkan dan membuka pintu kamar pengantin. Sementara pengantin berada di dalam kamar, pesta dansa-dansi dilanjutkan hingga pagi.
Pesta perkawinan Sikka memang berarti juga pesta seluruh keluarga besar dan pesta orang sekampung. Di setiap pesta hampir dipastikan orang berduyun-duyun. Mereka berkumpul, menari bersama, makan bersama, hingga minum moke (sejenis tuak) dan melupakan persoalan yang mereka hadapi. Tuan rumah juga tidak berpikir apakah angpau yang diberikan tamu akan menutupi seluruh biaya pesta.
Pesta ini juga semacam perayaan kemenangan atas sebuah perjuangan panjang menyatukan dua anak manusia dalam ikatan perkawinan. Pasalnya, prosesi perkawinan adat Sikka tergolong rumit, panjang, dan makan biaya.
Beginilah alur sederhananya: seorang pria yang ingin menikahi seorang perempuan harus menyampaikan niatnya kepada keluarga besar. Untuk menjajaki pernikahan, pihak laki-laki melakukan pano nahu yang bermakna pelacakan pertama yang dilakukan bibi si laki-laki. Si bibi akan menyampaikan isi hati keponakan laki-lakinya kepada pihak keluarga perempuan.
Proses ini boleh jadi tidak berlangsung mulus. Konstentius, warga Maumere, mengatakan, keluarga perempuan belum tentu bersedia membukakan pintu keluarga laki-laki yang datang.
"Dulu, ketika ikut melamarkan paman saya, kami harus menunggu dari sore hingga pagi di rumah keluarga perempuan. Kami sampai membuat shift untuk bergantian menunggu di depan pintu sampai yang punya rumah membuka," kata Konstentius.
Ini menjadi semacam tes apakah keluarga laki-laki bersungguh-sungguh melamar atau tidak. "Saya ingat waktu itu kami baru boleh masuk rumah perempuan sekitar pukul 04.00. Tapi yang seperti ini sekarang sudah mulai berkurang," tutur Konstentius menambahkan.
Tahap pano nahu ini memang menentukan. Jika keluarga perempuan memberi sinyal positif, keluarga laki-laki akan melakukan bowa taa atau membawa sirih dan pinang sebagai simbol lamaran resmi. Setelah itu, pihak perempuan dan laki-laki menaksir jumlah belis (semacam mas kawin) yang harus dibayar pihak laki-laki. Biasanya belis terdiri dari gading utuh, kuda, uang, dan emas yang jika dinilai dengan uang bisa sangat besar.

Belis
Untuk meminang Fransisca Andeja, Quirinus Vincentius membayar belis berupa uang Rp 25 juta, dua perhiasan emas seberat 10 gram, gading gajah utuh dua batang (sebatang berharga Rp 7,5 juta), kuda 25 ekor. Ditambah dengan barang hantaran lain dalam bentuk bahan makanan, seperti padi, jagung, pisang, ayam, ikan kering, dan ubi-ubian, biaya yang dikeluarkan pihak laki-laki bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Barang hantaran ini akan dibagikan pihak perempuan kepada keluarga besarnya. Jika belis diterima, pihak keluarga perempuan akan membalas dengan memberi beras, tuak, babi, kambing, dan sarung tenun Sikka yang nilai totalnya juga setara atau lebih dari jumlah yang diberikan pihak laki-laki. Namun, belis dapat diangsur.
Setelah sebagian besar belis dibayar, pihak laki-laki bisa mengajukan waktu pemberkatan nikah di gereja. Prosesi ini disebut tung hakeng. Pihak perempuan akan menentukan hari pernikahan dan pesta adat.
Dalam perkawinan adat Sikka, belis merupakan hal utama dan memberi konsep sosial-budaya atas keseluruhan prosesi perkawinan. Menurut budayawan Oscar Pareira Mandalangi, belis merupakan cara orang Sikka mempererat tali persaudaraan.
"Belis mendorong gotong royong, sebab sesungguhnya belis dipikul oleh semua anggota keluarga laki-laki, mulai tante, om, orangtua, adik-kakak, ipar, dan seterusnya. Karena itu, perkawinan tanpa belis tidak seutuh perkawinan dengan belis," katanya.
Belis pertama kali ditetapkan oleh seorang raja perempuan Kerajaan Sikka bernama Agnes Donaines Da Silva pada abad ke-17. Tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Dengan belis, wanita mempunyai nilai yang tinggi. Laki-laki akan berpikir seribu kali untuk poligami karena besarnya belis yang harus dibayar. Jadi, laki-laki dituntut untuk setia, kata Mandalangi.
Meski begitu, saat ini ada persepsi keliru soal belis. Belis dianggap mahal dan menghambat perkawinan sehingga banyak anak muda Sikka yang memilih kawin dengan suku lain agar tidak perlu membayar belis. Yang lebih menyakitkan, ada yang menganggap membayar belis berarti membeli perempuan. Ah, keterlaluan. (kcm/maumere blogspot.com)



Tidak ada komentar: