Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Air tawar, barang langka di Taman Nasional Komodo

Spirit NTT, 7-13 April 2008

BAGI nelayan bagan di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), nilai solar dan air tawar sama besar. Solar memberi kesempatan kepada mereka melaut dan menangkap ikan. Sementara air tawar membuat mereka bisa minum, memasak, dan beraktivitas. Ironisnya, keduanya sama-sama relatif susah diperoleh.
Dari sisi ekologi, kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) memang boleh dibanggakan, namun di sisi lain terasa pahit bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalamnya.


Disebut sebagai salah satu kawasan laut yang paling kaya di dunia, taman nasional itu meliputi 1,214 kilometer persegi habitat laut dengan keanekaragaman tinggi, termasuk karang, mangrove, rumput laut, gunung laut, dan teluk yang semi-tertutup.
Habitat itu mempunyai lebih dari 1.000 spesies ikan, sekitar 260 spesies karang, dan 70 spesies bunga karang. Dugong (Dugong dugon), lumba-lumba (10 spesies), paus (6 spesies), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) serta penyu hijau (Chelonia mydas). Terletak di wilayah Wallacea Indonesia, TNK juga diidentifikasi sebagai sebuah kawasan prioritas konservasi dunia. Namun, air tawar menjadi barang yang langka.
Curah hujan di kawasan TNK rata-rata kurang dari 800 milimeter per tahun. Hujan turun terutama dari bulan Desember hingga Maret sepanjang angin muson barat. Angin muson dan uap air yang dibawa jelas sangat berpengaruh pada ada tidaknya hujan di kawasan itu. Dan, uap air kebanyakan jatuh di bagian barat Indonesia sebelum sampai ke kawasan TNK, sehingga kawasan ini terkenal sangat kering.
Secara umum, sungai dan anak sungai timbul saat musim hujan dan menghilang saat musim kering. Sumber air yang cukup besar dapat ditemukan di Gunung Ara dan Gunung Satalibo di Pulau Komodo, serta Dora Ora di Pulau Rinca. Aliran air sangat tergantung pada kerapatan tutupan hutan di daerah itu. Sumber air menyediakan air segar yang terbatas melalui mata air dan kolam sepanjang tahun di Komodo dan Rinca, tapi kualitas dan ukuran mata air di dua pulau itu bervariasi.
Buku Panduan Sejarah Ekologi TNK terbitan tahun 2004 mencatat, walaupun beberapa sungai di dua pulau itu dilaporkan mengalir sepanjang tahun di pertengahan tahun 1970-an, tetapi sekarang nyaris tidak ada lagi. Itu diperkirakan akibat meningkatnya penggunaan air atau pengalihan sumber air oleh masyarakat, memburuknya hutan dalam daerah resapan air, atau perubahan iklim.
Dan, hal lain yang tidak kalah penting adalah kawasan TNK seluas 1.817 kilometer persegi tidak hanya mencakup Pulau Komodo dan Rinca. Masih ada Pulau Padar, Gili Motang, Nusa Kode, dan pulau-pulau kecil lain, di antaranya Mesa dan Papagaran. Bagi masyarakat di pulau- pulau itu, kerinduan akan air tawar itu berlaku sepanjang umur. Mau tidak mau, mereka harus menyeberang ke pulau lain untuk mendapatkan air, mulai dari menimba hingga membeli.

Labuan Bajo
Pulau Flores, khususnya Labuan Bajo, adalah sandaran masyarakat kepulauan di kawasan TNK. Aktivitas keseharian mereka dapat ditemui di sebuah dermaga kayu yang letaknya bersebelahan dengan dermaga kapal penyeberangan. Kebetulan, di tempat itulah dibangun instalasi tempat pembelian solar bagi nelayan bagan, sebutan bagi nelayan setempat yang mengacu pada jaring yang ditempatkan simetris di sisi kanan dan kiri perahu untuk menangkap cumi- cumi di malam hari dengan bantuan lentera atau lampu minyak. Selalu ada banyak kesempatan, masyarakat pulau antre air dan solar bersamaan.
"Jika tidak beli air, kami memang tidak bisa hidup," kata Mohammad Arok, pria setengah baya asal Pulau Mesa, pekan kedua Januari 2008.
Badan perahu tempelnya penuh dengan 32 jeriken berkapasitas masing-masing 20 liter air tawar. Sementara di sisi lain terdapat lima jeriken solar dengan kapasitas sama. Ia mengaku, setiap jeriken air dibeli dengan harga Rp 1.000, sedangkan solar Rp 4.500. Di musim kemarau, yakni saat susah-susahnya air, air bisa diperoleh dengan harga Rp 2.000-Rp 3.000 per jeriken. Seluruh air dan solar Arok hari itu cukup untuk keperluan seminggu. Itu artinya, seminggu kemudian ia harus balik lagi ke Labuan Bajo untuk membeli dua kebutuhan itu. Butuh waktu sekitar satu jam dari Mesa-Labuan Bajo.
Di samping orang-orang seperti Arok, banyak juga yang memanfaatkan hal itu sebagai lahan bisnis, yakni sebagai penjual air antar jemput. Mereka ada yang masyarakat pulau maupun warga Labuan Bajo. Orang-orang itu biasa mengambil keuntungan Rp 1.000- Rp 2.000 per jeriken. Keuntungan bisnis model itu jelas besar, terutama jika dilihat dari kebutuhan air berbanding dengan jumlah penduduk di pulau-pulau di sekitar TNK yang terus bertambah. Di Pulau Mesa saja, misalnya, kini hidup lebih dari 400 keluarga, sementara di Pulau Papagaran sekitar 300 keluarga.
Jasa antar jemput air ini banyak dimanfaatkan masyarakat pulau yang ingin praktis, kebutuhan mereka akan air relatif kecil, sekaligus punya uang lebih. Sebab, seperti diakui kebanyakan warga pulau, air tawar lebih banyak digunakan untuk keperluan minum dan memasak. Selebihnya, mereka menggunakan air laut.
"Untuk cuci dan mandi, kadang kalau punya uang kami pakai setengah-setengah. Artinya, kami pakai air laut dulu, lalu dibilas pakai air tawar," kata Syafruddin, warga Pulau Papagaran yang ditemui saat menjual hasil tangkapan di Labuan Bajo.
Bagi mereka yang tidak biasa membeli air, air diperoleh dari sejumlah mata air di kawasan pesisir Labuan Bajo. Jika tidak, masyarakat pulau juga mengambil air sungai di kawasan muara. Di samping itu, mereka juga biasa mengambil air dari sumur- sumur saudara mereka yang tinggal di Labuan Bajo.
Syafruddin maupun Arok mengaku, hingga saat ini belum pernah mendengar ada upaya serius pemerintah setempat membantu menyediakan air bersih bagi masyarakat pulau. Pun sejak masa otonomi daerah berlaku. Memang pernah ada isu ada bantuan air secara berkala dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Namun, dana yang diterima digulirkan sifatnya. Caranya, dana itu dibelikan kapal dan peralatan untuk jual beli air bersih. Jadinya, masyarakat tetap membeli air, hanya saja dengan harga yang lebih murah dari penjual lain. Perahu bantuan itu berjualan dari satu pulau ke pulau, dua minggu sekali, bergantian.
"Sebenarnya, kami ingin agar ada fasilitas tertentu dari pemerintah. Minimal, misalnya, kapal pengangkut air yang tetap sifatnya sehingga air dapat kami peroleh dengan mudah. Jika pas musim susah dapat solar, praktis kami tidak bisa membeli air sendiri, dan mengandalkan penjual air datang ke pulau kami," kata Arok.
Namun, karena tidak punya pilihan lain, masyarakat pulau pun tetap bertahan dengan membeli air secara swadaya. Di luar waktu rutin membeli air itu, masyarakat pulau sebenarnya biasa pergi ke Labuan Bajo setiap hari Rabu dan Sabtu. (benny dwi koestanto/kcm)

Tidak ada komentar: