Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Simalakama perampingan struktur jabatan pemda

Oleh Samsul Wahidin *
Spirit NTT, 10-16 Maret 2008

* Pusat jangan paksakan kehendak
Perampingan birokrasi pemerintahan bak simalakama. Di satu sisi, keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2007 tentang Struktur Organisasi Pemerintahan Daerah merupakan tuntutan untuk menuju pada kelembagaan dan performance aparat profesional sebagai profil manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien.
Konsekuensinya, akan banyak pejabat, khususnya eselon III, yang kehilangan jabatannya. Pada tingkat propinsi, eselon itu meliputi kepala kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Tingkat Propinsi. Tingkat kabupaten/kota meliputi kepala kantor, camat, dan kepala bagian.
Kebijakan itu sebenarnya sejalan dengan fungsionalisasi berbagai jabatan yang dirintis sejak 1990-an lalu. Dunia pendidikan telah memulainya dengan menerapkan prinsip pencapaian golongan fungsional tertentu melalui sistem kredit point yang memandang jabatan struktural terpisah, dalam arti bisa saja diduduki orang yang mempunyai jabatan fungsional rendah.
Kebijakan yang sama juga diterapkan pada sektor lain, seperti tenaga kesehatan, tenaga di lingkungan informasi dan komunikasi, dan sebagainya. Namun, hal itu sulit diterapkan pada birokrasi pemerintahan dalam negeri karena sudah sedemikian mengguritanya organisasi pada departemen tersebut sehingga menyangkut berbagai sisi lain yang semakin kompleks.
Konsekuensi praktis dari penerapan PP baru itu, misalnya, di Jawa Timur hanya akan ada 29 dinas daerah provinsi yang tentu berimplikasi pada daerah kabupaten/kota. Padahal, sekarang ada sekitar 58 dinas. Semestinya hanya ada 10 dinas (vide pasal 5 ayat 5 PP No 8 Tahun 2003). Di propinsi lain, juga tidak jauh dari itu.
Secara sederhana, banyak pejabat yang selama ini menempati kursi kepala akan kehilangan jabatannya dengan berbagai konsekuensi finansial, psikologis, sosial, dan bahkan kepribadian.
Beban kerja birokrasi
Kondisi obyektif menunjukkan, selama ini beban kerja yang diatur berdasar standar tertentu sebenarnya tidak terpenuhi. Artinya, suatu urusan tertentu yang cukup dilaksanakan satker (satuan kerja) - bahkan bersifat temporer karena pertimbangan jenjang kepangkatan dan lain-lain- harus dilaksanakan suatu dinas. Hal itu membuat birokrasi menjadi gemuk dan tidak efektif. Akibatnya, tentu terjadi pemborosan anggaran yang semestinya bisa dihindari.
Contoh konkret, pada suatu daerah kabupaten di luar Jawa hanya ada sekitar 100 mobil dan tidak sampai seribu kendaraan bermotor, tetapi "dipaksakan" ada Dinas Perhubungan. Akibatnya, banyak pekerjaan yang semestinya tidak ada lalu diadakan.
Akibat lebih lanjut, urusan yang semestinya bisa dikerjakan satu orang dikerjakan tiga orang atau lebih. Demikian pula, level yang semestinya cukup pada eselon bawah, karena tuntutan organisasi, mesti ditangani level di atasnya.
Ihwal kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu pada masa lalu diatur dengan PP No 25/2000 yang tetap dijadikan sebagai acuan. Meski, UU pokoknya sudah berganti dari UU No 22/1999 ke UU No 32/2004 dan sekarang sudah diwacanakan untuk diganti kembali, menyusul bagian pencalonan independen untuk jabatan kepala daerah.
Secara praktis, ada lima motivasi yang mesti dilakukan dalam perspektif profesionalisme atas organisasi yang lebih efektif dan efisien dengan mengacu pada beban kerja birokrasi pemerintahan daerah.
Pertama, penataan kelembagaan daerah yang secara praktis bisa dijadikan sebagai dasar untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki atas dasar UU. Penataan menjadi kata kunci ketika birokrasi ternyata lebih menitikberatkan pada komitmen "memberikan pekerjaan" dibandingkan dengan "melaksanakan pekerjaan" yang sebenarnya tidak ada kemudian diada-adakan.
Kedua, melakukan pengisian struktur atas dasar the man on the right place. Selama ini, jabatan-jabatan yang ada diduduki orang-orang yang memang secara struktural tidak mungkin diletakkan pada tingkat lebih bawah karena prinsip birokrasi menyatakan, menurunkan jabatan itu berarti sebagai bentuk penghukuman. Juga, atas dasar balas jasa, khususnya jasa ketika mengantarkan seseorang menjadi kepala daerah.
Ketiga, motivasi untuk penyusunan anggaran yang sesuai dengan keperluan operasional, terutama yang bisa menjaga keseimbangan kewenangan antara pusat-daerah. Sudah menjadi kendala umum, hampir semua perda bermasalah selama ini menyangkut soal pungutan yang dinilai menyalahi peraturan perundangan di atasnya.
Keempat, motivasi untuk dapat secara cerdas menggali potensi daerah yang akan dijadikan sebagai sumber pendapatan asli derah (PAD). Sisi itu bersifat sensitif sehingga pemerintah daerah menjadi salah tingkah dan salah kaprah ketika pada satu sisi ada keharusan untuk menggali potensi PAD, tetapi pada sisi lain bertabrakan dengan pungutan yang sudah dilegitimasi pusat.
Kelima, adanya motivasi untuk lebih memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Ternyata, idiom bahwa masyarakat lebih banyak melayani pejabat dibandingkan sebaliknya banyak benarnya.
Perampingan birokrasi
Selama ini pengaturan mengenai organisasi perangkat daerah itu didasarkan pada PP No 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang secara umum terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah sesuai dengan kenyataan praktis, dan badan serta kantor yang secara struktural bisa menjadi penghubung antara kepentingan pusat dan daerah.
Ada satu klausul (penjelasan pasal 1 ayat (2)) yang masih memberikan keleluasaan kepada daerah yang berlindung di balik "kesesuaian dengan kebutuhan daerah" menyebabkan membengkaknya jabatan di daerah sehingga tidak proporsional lagi.
Kendati PP No 8/2003 itu secara substansi sudah membatasi jumlah, jenis, dan unsur organisasi, hal itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masih besar campur tangan pusat yang mendominasi kinerja perangkat daerah sehingga menghambat kinerja perangkat yang sesuai dengan kenyataan praktis di daerah. Hal itu merupakan bentuk intervensi, bahkan arogansi pusat, yang tidak sejalan dengan makna otonomi daerah.
Idealisme dari PP No. 41/2007 sejatinya ingin konsisten dengan profesionalisme yang didasarkan pada prinsip efektivitas dan efisiensi. Namun, ada satu poin yang perlu dipertimbangkan secara cermat, yaitu tentang heterogenitas daerah yang secara objektif masih ada rentang persepsi cukup dalam antara pusat dan daerah.
Idealisme awal untuk tetap secara proporsional membagi kewenangan antara pusat-daerah dalam kerangka otonomi daerah harus tetap dipertahankan. Idealisme untuk bertanggung jawab mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan kenyataan objektif di daerah atas dasar aspirasi masyarakat setempat perlu dijadikan dasar untuk penguatan birokrasi di daerah.
Pusat jangan memaksakan kehendak. Hal itu berarti, PP tentang struktur organisasi pemda tersebut harus dikaji kembali sebelum diterapkan. *
* Penulis, guru besar Ilmu Hukum, Universitas Merdeka Malang (Sumber: jawa pos dotcom)

Tidak ada komentar: