Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sertifikasi guru, antara harapan dan tantangan

Spirit NTT, 3-9 Maret 2008

KUALITAS sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru. Hal ini dikarenakan guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan, khususnya dalam membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal.
Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memiliki fungsi yang semakin signifikan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Untuk itu pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru disejajarkan dengan profesi lainya sebagai tenaga profesional. Sebagai tenaga profesional, guru diharapkan dapat melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, inovatif, demokratis dan berakhlak, serta menjadi teladan bagi terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan persyaratan memiliki kualifikasi akademik minimal S1 atau Diploma IV yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sebagai agen pembelajaran, seorang guru harus memiliki kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Kenyataan di lapangan, pandangan guru dalam menyikapi program sertifikasi terpecah menjadi dua kelompok, yaitu pertama kelompok yang pesimis dan kedua kelompok yang optimis. Kelompok pertama adalah mereka yang telah terlanjur terkonstruksi dalam mitos yang serba buruk dalam profesinya sebagai pendidik. Mereka adalah guru-guru yang stagnan, yang sejak mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) tidak mau lagi untuk berpikir, membaca atau bahkan belajar untuk meng-upgrade dirinya sendiri, sehingga selalu serba tertinggal baik informasi maupun teknologi terbaru khususnya dalam bidangnya.
Bahkan, ketika guru ditunjuk sebagai peserta pelatihan atau sejenisnya, mereka tidak menyambutnya dengan suka cita, jauh dari konteks atau motivasi untuk mengembangkan diri menjadi sumber daya manusia (guru) yang berkualitas. Pertanyaan yang justru sering dilontarkan adalah "Apakah ada uang sakunya?" Padalah jika mau jujur dan berpikir secara positif, kalaupun guru tersebut tidak mendapatkan uang saku ia sudah beruntung karena telah mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri secara gratis sebagai investasi di masa yang akan datang. Ironisnya, kelompok ini adalah yang terbanyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kelompok kedua adalah guru-guru yang selalu optimis, selalu ingin maju, berfikir, membaca dan selalu belajar (dengan cara mengikuti kursus, pelatihan atau seminar) meskipun dengan cara swadana.
Mereka sangat menyadari bahwa dengan terus belajar untuk dirinya sendiri, akan memberikan kontribusi yang sangat besar kepada siswa. Sayangnya jumlah mereka sangat sedikit. Akankah sertifikat pendidik yang didapat oleh guru kelompok pertama mengubah mind set mereka menjadi guru kelompok kedua yaitu kelompok guru yang selalu optimis dan ingin selalu mengembangkan diri? Atau justru sebaliknya, menjadikan mereka lupa diri dan mabuk kepayang dengan penghasilan yang lebih baik daripada sebeleumnya sehingga mereka lebih senang pergi ke diskotik untuk bersenang-senang atau membelanjakan pendapatan yang besar tersebut untuk hal-hal yang bersifat konsumtif? Hanya sang waktu yang dapat menjawabnya.
Mutu guru dan mutu pendidikan
Sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru sehingga pembelajaran di sekolah juga akan berkualitas. Hal ini dengan asumsi, peningkatan mutu guru akan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Peningkatan kesejahteraan guru dalam bentuk tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik ini, berlaku untuk guru baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau guru swasta.
Tujuan sertifikasi adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional; meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan; meningkatkan martabat guru; dan meningkatkan profesionalimse guru. Untuk tujuan yang terakhir ini guru dituntut agar dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Artinya, dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik guru harus dapat memenuhi keinginan/harapan masyarakat dalam hal ini siswa dan orang tua; memiliki landasan pengetahuan yang kuat dan terkini khususnya dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya; dan dalam proses untuk mendapatkan profesionalisme itu hendaknya dilakukan atas dasar kompetensi individu, bukan hasil KKN.
Sertifikasi sebagai proses ilmiah sangat memerlukan pertanggungjawaban moral dan akademis bagi pemilik sertifikat. Maka sangatlah tidak terpuji jika dalam proses mendapatkan sertifikat itu seorang guru melakukan segala cara, atau ketika telah mendapatkan sertifikat wawasan dan gaya mengajarnya masih biasa-biasa saja. Disinilah perlunya kesadaran dan pemahaman bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas, sehingga apapun yang dilakukan guru adalah semata-mata untuk meningkatkan kualitas. Bila pemahaman semacam ini dimiliki oleh setiap guru, maka cita-cita untuk meningkatkan mutu pendidikan akan menjadi kenyataan.
Sebuah tantangan
Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari di era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini. Persaingan yang semakin kuat dan proses transparansi di segala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru yang profesional harus mampu melakukan terobosan dan perubahan, tak terkecuali perubahan paradigma dalam mengajar.
Sudah saatnya seorang guru tidak menempatkan anak didik sebagai obyek pembelajaran, akan tetapi harus mengaktifkan mereka untuk berperan dan menjadi bagian dari proses pembelajaran itu sendiri. Guru tidak lagi memposisikan diri lebih tinggi daripada anak didik atau sebagai tokoh sentral, tetapi berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam hal ini maka seorang guru dituntut untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dan demokratis.
Bagi sekolah, memiliki guru yang profesional merupakan kunci keberhasilan bagi pembelajaran, karena ia akan selalu melakukan pembelajaran yang efektif. Ciri-ciri guru yang melakukan pembelajaran secara efektif menurut Gary A Davis dan Margareth A Thomas ada empat.
Pertama, memiliki kemampuan yang berhubungan dengan iklim belajar di kelas. Termasuk dalam komponen ini adalah kemampuan interpersonal guru khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa dan ketulusan, memiliki hubungan yang baik dengan siswa, dan mampu menerima, mengakui dan memperhatikan siswa secara tulus.
Kedua, memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran meliputi kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suka mencela, mengalihkan pembicaraan; dan mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkat berpikir yang berbeda untuk semua siswa.
Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement), meliputi mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa; mampu memberikan respons yang bersifat membantu bagi siswa yang lamban belajar; dan mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan.
Keempat, memiliki kemampuan yang berhubungan dengan peningkatan diri meliputi mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; mampu menambah dan memperluas pengetahuan baik yang bersifat umum maupun pengetahuan mengenai metode-metode pembelajaran; dan mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pembelajaran yang relevan. (bambang riadi)

Tidak ada komentar: