Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Melalui pemberdayaan diri sendiri

Spirit NTT, 24-30 Maret 2008

KETIKA Jepang kalah dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang mengumpulkan para rakyatnya. "Masih berapa jumlah guru yang tersisa di negeri ini ?" tanya kaisar kepada rakyatnya, seusai negeri itu dibombardir pasukan Amerika. Pertanyaan kaisar ini diprotes oleh tentara Jepang yang juga yang juga hadir dalam pertemuan darurat itu. "Wahai kaisar mengapa tuan tak menanyakan jumlah kami yang tersisa, sebab kamilah yang mati-matian membela negeri ini," ujar seorang perwira militer yang luput dari serbuan ganas tentara AS.
"Jika di negeri ini masih ada guru, kita akan segera bangkit dari kekalahan kita. Dari gurulah nanti akan lahir insinyur, dokter, dan tenaga-tenaga terampil lainnya guna membangun negeri ini," jawab kaisar.
Ucapan kaisar terbukti benar, hingga sekarang Jepang merupakan salah satu raksasa dunia yang menguasai sektor perdagangan dunia dengan produk-produk hasil teknologi mereka.
Lima persen guru di Indonesia tidak memiliki kualitas sesuai standardisasi pendidikan nasional (SPN). Untuk itu perlu dibangun landasan kuat untuk meningkatkan kualitas guru dengan standardisasi rata-rata bukan standardisasi minimal.
"Saat ini baru 50 persen dari guru se-Indonesia yang memiliki standardisasi dan kompetensi. Kondisi seperti ini masih dirasa kurang. Sehingga kualitas pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan yang signifikan," kata Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Sutjipto (Jurnalnet, 16/10/2005).
Direktur Jenderal Mutu Tenaga Kependidikan Dr. Fasli Djalal mengatakan sejumlah guru mendapatkan nilai nol untuk materi mata pelajaran yang sesungguhnya mereka ajarkan kepada murid-muridnya. Fakta itu terungkap berdasarkan ujian kompetensi yang dilakukan terhadap tenaga kependidikan tahun 2004 lalu. Fasli mengatakan skor mental yang diperoleh guru untuk semua jenis pelajaran juga memprihatinkan. Guru PPKN, sejarah, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sosiologi, geografi, pendidikan seni hanya mendapatkan skor 20-an dengan rentang antara 13 hingga 23 dari 40 soal. "Artinya, rata-rata nilai yang diperoleh adalah 30 hingga 46 untuk skor nilai tertinggi 100," katanya. Ia sangat prihatin dengan buruknya kompetensi guru itu. Padahal, untuk tahun 2006 ini tuntutan minimal kepada siswa untuk memenuhi syarat lulus harus menguasai 42,5 persen (Tempo, 05/01/06)
Ratusan guru di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dinilai tidak layak mengajar karena tidak memiliki kompetensi dan profesionalitas di bidangnya. Para pendidik yang dinilai tidak layak mengajar tersebut tersebar di puluhan SLTP dan SLTA. Hal tersebut diketahui setelah Dinas Pendidikan setempat melakukan pendataan kompetensi guru tingkat SMP, SMA dan SMK. "Hasilnya 301 tidak layak mengajar, 463 semi layak mengajar dan 3.167 layak mengajar," kata Anhari, pejabat pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Sukoharjo (Tempo, 03/04/2006).
Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), fakta ini menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar macam kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%, SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan status profesi kualifikasi akademis guru minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana. Kemudian, guru juga harus memiliki kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional yang diraih lewat pendidikan profesi. Persyaratan berikutnya adalah sertifikat atau semacam lisensi dari perguruan tinggi tertentu yang terakreditasi. Kalau tiga persyaratan tadi sudah terpenuhi, baru seseorang bisa diangkat menjadi guru dengan hak-hak kesejahteraan yang jauh lebih besar daripada PNS lain. Setidaknya, ada 17 hak kesejahteraan yang akan diterima guru. Selain gaji pokok, guru berhak atas banyak tunjangan. Yaitu, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi satu kali gaji pokok dari APBN/APBD, tunjangan fungsional berupa subsidi APBN dan atau APBD, dan tunjangan khusus satu kali gaji pokok. Guru yang ditempatkan di daerah khusus (terpencil dan konflik) juga berhak atas rumah dinas dari pemda setempat. Kemudian, ada tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, penghargaan (tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam), pelayanan kesehatan, kemudahan pendidikan bagi putra-putri, dan bentuk kesejahteraan lain. Bagi guru di daerah khusus, negara juga akan memberikan kenaikan pangkat rutin otomatis, naik pangkat istimewa satu kali, dan perlindungan profesi baik hukum maupun keselamatan fisik. Guru juga diberi hak cuti studi dengan tetap memperoleh gaji penuh. "Hak dan penghasilan guru itu berlaku juga bagi mereka yang bekerja di sekolah swasta sepanjang memenuhi persyaratan guru," tegas Mendiknas.
Untuk menjaga kehormatan dan wibawa guru, setiap pendidik diwajibkan masuk organisasi profesi yang independen. Organisasi profesi itu harus memiliki kode etik dan dewan kehormatan guru.
Dalam buku The Power of Empowerment, David Clutterbuck bilang bahwa "tidak ada seorang pun bisa diberdayakan oleh orang lain; individu-individu harus memberdayakan diri mereka sendiri". Menjadi berdaya adalah mempersepsi bahwa sang diri itu memiliki potensi luar biasa dan, secara mandiri, orang yang berdaya tak lelah-lelahnya untuk menunjukkan kehebatannya kepada orang lain tanpa bergantung kepada pihak lain.
Hernowo (www.mizan.com), merinci cara-cara agar para guru menjadi benar-benar berdaya :
Pertama, para guru perlu berusaha keras untuk memiliki keterampilan belajar dan mengajar. Ini artinya para guru, misalnya, harus diberi peluang selebar-lebarnya untuk mempelajari materi-materi yang sangat baru berkaitan dengan proses pemelajaran. Misalnya, mereka perlu memahami brain-based learning (belajar berbasiskan cara bekerjanya otak) yang merevolusi pendidikan di milineum ketiga ini.
Selain itu, para guru juga perlu tahu lebih jauh tentang metode-metode belajar-mengajar, seperti Quantum Learning, Quantum Teaching, Accelerated Learning, Cooperative Learning, Multiple Intelligences, Neuro Linguistic Programming, Active Learning, CTL (Contextual Teaching and Learning), metode mencatat Mind Mapping, dan masih banyak lagi. Ringkasnya, pada bagian ini, para guru perlu menyadari bahwa mereka tidak lagi mengagung-agungkan pentingnya mendahulukan penguasaan atas kurikulum (what) melainkan lebih dahulu memperlengkapi diri mereka dengan hal-hal yang berkaitan erat dengan "how to teach" dan lebih-lebih lagi "how to learn".
Tanpa para guru mau berusaha keras untuk mengubah cara berpikir mereka berkaitan dengan apa yang perlu didahulukan agar dapat menjadi guru yang berdaya-yaitu lebih mendahulukan how ketimbang what--ada kemungkainan mereka akan terus-menerus diperdaya oleh keadaan. Marilah kita merenung sejenak. Mengapa kelas-kelas yang ada di sekolah saat ini cenderung membosankan? Mengapa buku-buku yang beredar di sekolah hanyalah buku-buku pelajaran? Mengapa perpustakaan-perpustakaan di sekolah bagaikan kuburan? Mengapa para guru mandul menulis dan tak mampu melahirkan karya-tulis yang inovatif? Mengapa peringkat perguruan tinggi kita merosot jauh dibandingkan dengan perguruan tinggi yang ada di Vietnam dan Malaysia?
Kedua, para guru perlu benar-benar menguasai ilmu atau materi yang diajarkannya secara total dan tidak sekadarnya. Ini berarti para guru perlu belajar dan berlatih reading and writing skill. Membaca dan menulis perlu dijadikan kebiasaan rutin para guru. Tanpa membaca dan menulis, mustahil para guru dapat secara terus-menerus meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang pengajar.
Bahkan, kalau memungkinkan, para guru pada akhirnya harus dapat menjadi 'ROLE MODEL' baca-tulis bagi anak didiknya. Lewat membaca, seorang guru akan memperluas dan memperkaya kosakata sehingga kalau bercerita di depan anak didik akan senantiasa mengasyikkan, sementara lewat menulis sang guru dapat merekam pengalamannya atau "mengikat" pengetahuan yang kemudian dikonstruksi menjadi semacam ilmu (ingat, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya," pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) yang bermanfaat.
Lewat proses mengikat (makna) itulah para guru benar-benar dapat membuktikan bahwa dirinya telah menguasai ilmu yang dimiliki yang akan diajarkan kepada anak didik. Lewat menulislah sang guru kemudian akan dapat mengaitkan ilmunya dengan pengalaman pribadinya. Apakah ilmunya memberdayakan dirinya? Apakah ilmunya benar-benar sesuai dengan karakter dirinya? Apakah ilmunya dapat memberi manfaat kepada orang lain? Apakah ilmunya memang layak diajarkan kepada anak didik dan menggembirakan anak didik?
Ketiga, para guru perlu mendidik dirinya sendiri agar memiliki kepribadian yang unggul dan bernilai. Bayangkan ada guru yang, setiap berhadapan dengan anak didiknya, memancarkan kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan. Kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan inilah yang akan membuat seorang guru dapat diterima oleh lingkungannya. Pertama, dia dihormati dan dihargai oleh murid-muridnya dan diterima sebagai orang yang akan mengarahkan murid-muiridnya menjadi manusia mulia (bermoral luhur). Kedua, dia diakui kehebatannya oleh rekan-rekan guru lainnya dan senantiasa mau menolong, membagikan pengalamannya, serta memotivasi rekan guru lain untuk meningkatkan diri. Ketiga, dia dapat menjadi mitra yang baik terhadap pengelola sekolah, terutama kepala sekolah, dan juga dengan orangtua murid, aktivis pendidikan, pemerintah, dan lain-lain.
Guru yang seperti ini jelas akan dapat mengubah lingkungan dan dirinya sendiri menjadi terus membaik. Inilah sosok guru yang sudah mulai menuju ke suatu wilayah yang di wilayah itu "guru kehidupan" berada. "Guru kehidupan" sangat berbeda dengan "guru kurikulum". "Guru kehidupan" benar-benar mau dan mampu mengajarkan sesuatu yang bermakna. Dan makna yang diajarkannya itu bukan merupakan "makna yang dirumuskan" sebagaimana yang sering diajarkan oleh "guru kurikulum". "Guru kehidupan" lebih menekankan untuk mengajarkan "makna yang dihayati", yaitu makna yang tidak sekadar tercantum di kurikulum atau buku, melainkan makna yang bersentuhan dengan kehidupan sejati.
Agar dapat menjadi "guru kehidupan", seorang guru perlu mengasah kecerdasan emosinya. Emosilah yang mampu memberi arti--bukan arti sekadar arti sebagaimana tertulis di buku, namun arti yang membumi yang mampu menjadikan sang diri terus bersemangat untuk memperbaiki diri. Masalah kecerdasan emosi ini memang sudah banyak dan sering dibicarakan. Namun, jarang pembicaraan itu menyentuh bidang-bidang penting dalam sebuah kehidupan, apalagi mengaitkan emosi dengan arti kehidupan sejati.
Dalam buku menariknya (dan ketika diterbitkan pertama kali, buku ini sempat mendapat label "buku menggemparkan"), Emotional Intelligence, Daniel Goleman menjelaskan secara panjang lebar soal pentingnya kecerdasan emosi. Lewat riset-riset intensifnya, Goleman menemukan bahwa yang membuat seseorang sukses itu bukanlah kecerdasan akademis (IQ). IQ tetap penting. Namun, IQ hanya menyumbang seseorang untuk meraih sukses hanya sebesar 20%. Sementara itu, sekitar 80% disumbang oleh kecerdasan emosi (EQ).
Dalam bukunya yang lain, yang lebih menggugah, Working with Emotional Intelligence, Goleman kemudian mengajari kita untuk menggunakan "peta emosi" agar kecerdasan emosi kita melejit. "Peta emosi" itu berkaitan dengan diri-personal dan diri-sosial. Dalam diri-personal, ada tiga hal penting yang perlu kita kuasai: (1) sadar-diri dan mampu memahami diri, (2) mengelola diri, dan (3) memotivasi diri. Tanpa kita dapat memahami diri, mustahil kita dapat mengelola diri kita sendiri. Dan jika kita tidak dapat mengelola diri kita, akibatnya kita tidak mungkin dapat memotivasi diri untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Dalam diri-sosial hanya ada dua hal penting, yaitu (1) memahami orang lain, dan (2) empati. Namun, sebelum kita beranjak ke diri-sosial, sebaiknya kita berupaya keras lebih dahulu untuk menyentuh hal-hal paling mendasar dari diri-personal--kalau perlu sampai ke sumur terdalam bernama inner self. Tanpa kita mau berupaya sungguh-sungguh untuk memahami diri, apa mungkin kita mampu memahami diri orang lain? Tanpa kita mampu lebih dahulu mengelola diri sendiri, apa mungkin kita dapat mengelola diri orang lain? Tanpa kita mampu memotivasi diri sendiri, apa mungkin kita memotivasi diri orang lain--bahkan ikut berempati kepada penderitaan orang lain?. (www.mizan.com, 25/04/05).
Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/mutu guru dan kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000).
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut : (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000).
Masyarakat meyakini pendidikan selalu identik dengan sekolah walaupun kita tahu bahwa sekolah bukanlah satu-satunya sarana pendidikan. Maka sekolah mempunyai peranan penting dalam aktivitas pendidikan yang mencetak dan membentuk kepribadian siswa, mencerdaskan dan membuat menjadi terampil dalam kompetensinya. Perhatian guru terhadap pendidikan adalah proritas. Maka guru perlu memahami peranan dan fungsinya serta dapat mengatasi kendala yang timbul dalam menjalankan tugas. Guru juga wajib meningkatkan mutunya ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri. (falah yunus/http://www.geocities.com/guruvalah)

Tidak ada komentar: