Spirit NTT, 25 Februari - 2 Maret 2008
KURIKULUM muatan lokal (mulok) belum memberi peluang perkembangan kesenian. Seharusnya, keberadaan kurikulum baru mampu membangkitkan kesenian -- khususnya seni tradisi sebagai bahan ajar di sekolah.
Banyak hal yang meragukan dalam pendidikan seni di sekolah. Hal yang utama adalah masalah guru. Setelah dilakukan perekrutan guru secara massal beberapa tahun yang lalu, kini nampak beberapa kelemahan, yakni tidak terekrutnya guru kesenian dengan baik.
Budayawan, Lalu Agus Fathurrahman, mengemukakan, persoalan ini sudah menjadi lagu lama, yang sudah sering kali disuarakan. Banyak sekolah tidak memiliki guru kesenian, sehingga terjadi ketimpangan yang cukup signifikan dalam pendidikan di sekolah. Namun, masalah ini tidak serta merta bisa segera diatasi.
Koordinator Pendidikan Seni Nusantara (PSN) NTB, Moch Yamin, mengatakan, kesulitan mencari sekolah yang mencantumkan mata pelajaran kesenian di sekolah. Mata pelajaran lain yang kesulitan jam, cenderung menumpangkan pada mata pelajaran kesenian, sehingga pendidikan kesenian praktis kosong.
''Memang masalah guru menjadi persoalan utama,'' ujarnya. Kalaupun ada guru yang mengajar kesenian, guru itu tidaklah murni guru yang menguasai kesenian. Ada di antaranya guru matematika, guru agama, geografi, fisika dan lain-lain. Dampaknya, kesenian tidak berjalan sebagaimana pemahaman terhadap kesenian yang baik.
Namun, ada solusi yang ditawarkan Ady Rosa, dosen seni rupa FBSS Universitas Negeri Padang, yakni program sertifikasi seni bagi guru kesenian. Pendidikan seni berdasar kurikulum muatan lokal belum memenuhi peryaratan manakala mengacu untuk kepentingan pendidikan berbasis tradisi.
''Oleh karena itu, pendidikan yang mengajar seni berbasis tradisi, ada baiknya diberi sertifikasi kelayakan untuk mengajarkan pendidikan seni berbasis tradisi,'' ujar Ketua Pusat Kajian Budaya Indonesia Bung Hatta Padang ini ketika tampil sebagai pemakalah pada KKI II di Jakarta, baru-baru ini.
Ia mengakui acap kali guru yang mengajar kesenian tidak sesuai dengan kemampuannya atau asal-asalan saja, bahkan yang mengajar bisa berasal dari latar belakang apa saja hanya karena memenuhi target jam ajar yang sesuai dengan tuntutan kedinasan.
Menurut Ady Rosa, diperlukan pengajar yang memiliki kemampuan bila ingin menumbuhkan kualitas pendidikan seni berbasis tradisi -- di antaranya dengan memberikan sertifikasi yang bisa menunjukkan kemampuan seseorang dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan seni berbasis tradisi.
Seseorang yang mengajar pada pendidikan seni berbasis tradisi, kata dia, mesti memahami kesenian yang hidup atau pernah hidup di tengah-tengah masyarakat -- yang nantinya dijadikan patron -- atau paling tidak bisa menggugah cipta seni peserta didik dalam berolah seni.
Ady Rosa mengatakan, pendidikan seni di tanah air masih memiliki banyak persoalan, mulai dari apresiasi masyarakat, jam ajar di sekoah, laboratorium kesenian yang bisa dibilang tidak ada di masing-masing sekolah. Itulah sebabnya, pendidikan seni di sekolah dianggap sekadar mengisi bagian dari kurikulum.
Bila dikaji secara empirik hampir tiga dekade pendidikan seni tidak mendapatkan tempat. Pendidikan seni merupakan korban dari fokus pembangunan yang memprioritaskan sains dan teknologi -- yang memungkinkan menyempitnya pemahaman modernitas normatif yang di dalamnya adalah pendidikan seni.
''Persoalan ini menjadi tantangan manakala disodorkan satu persoalabn baru, yaitu menggali pola alternatif pendidikan seni berbasis tradisi. Inilah suatu bentuk pembuktian di mana persoalan pendidikan seni berbasis tradisi, mestinya sudah sejak lama dikurikulumkan sehingga jelas arah pembangunan pendidikan seni di tanah air,'' paparnya.
Seni menjadi penting karena seni tidaklah untuk seni. Kesenian untuk sebuah tujuan yang lebih besar, mencakup di antaranya kepekaan, kreativitas, etika, dan estetika. Seorang pelajar ketika dihadapkan kepada pelajaran kesenian, bukan untuk menjadikannya seorang seniman. Daya tarik mata pelajaran tetentu pun sangat bergantung dari seni penyampaian.
Itulah sebabnya, Cut Kamaril Wardani, Wakil Rektor yang juga Ketua Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, penyampaian mata pelajaran tertentu perlu dengan dan melalui seni.
Kehidupan kesenian memang tidak hanya mencakup pengertian pembelajaran seni di sekolah, melainkan terkait erat dengan kehidupannya secara menyeluruh di masyarakat. Upaya mengoptimalkan dunia pendidikan seni hanya bisa dilakukan jika disertai semangat mengubah pola pikir (mind-set) yang tidak terus-menerus berstandar pada pardigma lama -- dimana guru mengajarkan sesuai dengan bahan dan metodologi yang dipelajari.
Karena itu, paradigma baru pendidikan seni harus mengarah pada dialog antarsubkultur yang beragam, peningkatan pemahaman serta penghargaan lintas etnik dalam hubungannya dengan perspektif kultur lain (inklusif) dan orientasi akademik yang berkonsekuensi terhadap sistem dan piranti pendidikan.
Bahan ajar yang berdasar pada keberagaman kesenian dari berbagai budaya lokal, dengan memperhatikan relevansinya terhadap dunia pendidikan dan kehidupan kekinian, harus disampaikan pada anak didik untuk meningkatkan daya apresiasi, keterlibatan, dan kepedulian peserta didik pada kebudayaan bangsa.
Dalam persepsi plural, maka pendidikan seni berbasis seni tradisi akan menyumbang pada penumbuhan rasa kebangsaan, peningkatan daya toleransi sosial perilaku saling menghormati antarsesama -- dan bukan sebaliknya menumbuhkan fanatisme masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri. Karena itu, kata dia, bahan ajar seyogyanya tidak mengacu pada kesenian dari suatu lokal saja, melainkan dapat mencakup seluas mungkin secara proporsional, baik khazanah budaya dominan maupun marginal, baik cakupan wilayah lokal, nasional maupun global. (rab)
Banyak hal yang meragukan dalam pendidikan seni di sekolah. Hal yang utama adalah masalah guru. Setelah dilakukan perekrutan guru secara massal beberapa tahun yang lalu, kini nampak beberapa kelemahan, yakni tidak terekrutnya guru kesenian dengan baik.
Budayawan, Lalu Agus Fathurrahman, mengemukakan, persoalan ini sudah menjadi lagu lama, yang sudah sering kali disuarakan. Banyak sekolah tidak memiliki guru kesenian, sehingga terjadi ketimpangan yang cukup signifikan dalam pendidikan di sekolah. Namun, masalah ini tidak serta merta bisa segera diatasi.
Koordinator Pendidikan Seni Nusantara (PSN) NTB, Moch Yamin, mengatakan, kesulitan mencari sekolah yang mencantumkan mata pelajaran kesenian di sekolah. Mata pelajaran lain yang kesulitan jam, cenderung menumpangkan pada mata pelajaran kesenian, sehingga pendidikan kesenian praktis kosong.
''Memang masalah guru menjadi persoalan utama,'' ujarnya. Kalaupun ada guru yang mengajar kesenian, guru itu tidaklah murni guru yang menguasai kesenian. Ada di antaranya guru matematika, guru agama, geografi, fisika dan lain-lain. Dampaknya, kesenian tidak berjalan sebagaimana pemahaman terhadap kesenian yang baik.
Namun, ada solusi yang ditawarkan Ady Rosa, dosen seni rupa FBSS Universitas Negeri Padang, yakni program sertifikasi seni bagi guru kesenian. Pendidikan seni berdasar kurikulum muatan lokal belum memenuhi peryaratan manakala mengacu untuk kepentingan pendidikan berbasis tradisi.
''Oleh karena itu, pendidikan yang mengajar seni berbasis tradisi, ada baiknya diberi sertifikasi kelayakan untuk mengajarkan pendidikan seni berbasis tradisi,'' ujar Ketua Pusat Kajian Budaya Indonesia Bung Hatta Padang ini ketika tampil sebagai pemakalah pada KKI II di Jakarta, baru-baru ini.
Ia mengakui acap kali guru yang mengajar kesenian tidak sesuai dengan kemampuannya atau asal-asalan saja, bahkan yang mengajar bisa berasal dari latar belakang apa saja hanya karena memenuhi target jam ajar yang sesuai dengan tuntutan kedinasan.
Menurut Ady Rosa, diperlukan pengajar yang memiliki kemampuan bila ingin menumbuhkan kualitas pendidikan seni berbasis tradisi -- di antaranya dengan memberikan sertifikasi yang bisa menunjukkan kemampuan seseorang dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan seni berbasis tradisi.
Seseorang yang mengajar pada pendidikan seni berbasis tradisi, kata dia, mesti memahami kesenian yang hidup atau pernah hidup di tengah-tengah masyarakat -- yang nantinya dijadikan patron -- atau paling tidak bisa menggugah cipta seni peserta didik dalam berolah seni.
Ady Rosa mengatakan, pendidikan seni di tanah air masih memiliki banyak persoalan, mulai dari apresiasi masyarakat, jam ajar di sekoah, laboratorium kesenian yang bisa dibilang tidak ada di masing-masing sekolah. Itulah sebabnya, pendidikan seni di sekolah dianggap sekadar mengisi bagian dari kurikulum.
Bila dikaji secara empirik hampir tiga dekade pendidikan seni tidak mendapatkan tempat. Pendidikan seni merupakan korban dari fokus pembangunan yang memprioritaskan sains dan teknologi -- yang memungkinkan menyempitnya pemahaman modernitas normatif yang di dalamnya adalah pendidikan seni.
''Persoalan ini menjadi tantangan manakala disodorkan satu persoalabn baru, yaitu menggali pola alternatif pendidikan seni berbasis tradisi. Inilah suatu bentuk pembuktian di mana persoalan pendidikan seni berbasis tradisi, mestinya sudah sejak lama dikurikulumkan sehingga jelas arah pembangunan pendidikan seni di tanah air,'' paparnya.
Seni menjadi penting karena seni tidaklah untuk seni. Kesenian untuk sebuah tujuan yang lebih besar, mencakup di antaranya kepekaan, kreativitas, etika, dan estetika. Seorang pelajar ketika dihadapkan kepada pelajaran kesenian, bukan untuk menjadikannya seorang seniman. Daya tarik mata pelajaran tetentu pun sangat bergantung dari seni penyampaian.
Itulah sebabnya, Cut Kamaril Wardani, Wakil Rektor yang juga Ketua Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, penyampaian mata pelajaran tertentu perlu dengan dan melalui seni.
Kehidupan kesenian memang tidak hanya mencakup pengertian pembelajaran seni di sekolah, melainkan terkait erat dengan kehidupannya secara menyeluruh di masyarakat. Upaya mengoptimalkan dunia pendidikan seni hanya bisa dilakukan jika disertai semangat mengubah pola pikir (mind-set) yang tidak terus-menerus berstandar pada pardigma lama -- dimana guru mengajarkan sesuai dengan bahan dan metodologi yang dipelajari.
Karena itu, paradigma baru pendidikan seni harus mengarah pada dialog antarsubkultur yang beragam, peningkatan pemahaman serta penghargaan lintas etnik dalam hubungannya dengan perspektif kultur lain (inklusif) dan orientasi akademik yang berkonsekuensi terhadap sistem dan piranti pendidikan.
Bahan ajar yang berdasar pada keberagaman kesenian dari berbagai budaya lokal, dengan memperhatikan relevansinya terhadap dunia pendidikan dan kehidupan kekinian, harus disampaikan pada anak didik untuk meningkatkan daya apresiasi, keterlibatan, dan kepedulian peserta didik pada kebudayaan bangsa.
Dalam persepsi plural, maka pendidikan seni berbasis seni tradisi akan menyumbang pada penumbuhan rasa kebangsaan, peningkatan daya toleransi sosial perilaku saling menghormati antarsesama -- dan bukan sebaliknya menumbuhkan fanatisme masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri. Karena itu, kata dia, bahan ajar seyogyanya tidak mengacu pada kesenian dari suatu lokal saja, melainkan dapat mencakup seluas mungkin secara proporsional, baik khazanah budaya dominan maupun marginal, baik cakupan wilayah lokal, nasional maupun global. (rab)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar