Spirit NTT 4-10 Februari 2008
SETIAP berakhirnya musim kemarau, masyarakat Dusun Nuaria, Desa Detu Binga, Kecamatan Tana Wawo, Kabupaten Sikka, 55 kilometer arah barat Kota Maumere, menggelar ritual adat.
Melalui musyawarah bersama para tokoh adat setempat disepakati menggelar upacara Loka Po'o, pertengahan September 2007 lalu. Loka Po'o merupakan ritual adat masyarakat Suku Lio yang dilangsungkan setiap awal musim tanam. Upacara ini diyakini sebagai jembatan untuk menyampaikan permohonan terhadap kesuburan lahan perkebunan, pertanian, sawah. Juga sebagai upacara syukuran kepada Du'a Nggae Lulu Wula (Allah Penguasa Jagad) atas hasil panen yang diperoleh pada musim tanam sebelumnya.
Loka Po'o, merupakan sebuah upacara adat yang telah dilangsungkan sejak berabad-abad silam sebagai warisan leluhur masyarakat Suku Lio. Suku Lio merupakan salah satu suku yang terdapat di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menempati dua wilayah kabupaten di Pulau Flores. Sebagian Suku Lio menempati wilayah barat Kabupaten Sikka (Ata Lio Sikka: Orang Lio Sikka) dan sebagiannya masuk dalam wilayah Kabupaten Ende (Ata Lio Ende: Orang Lio Ende). Dalam Suku Lio, baik yang menempati wilayah Sikka maupun Ende masing-masingnya memiliki gaya dan dialek bahasa yang sedikit berbeda satu sama lainnya.
Pelaksanaan upacara adat Loka Po'o ini dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut. Dan, dilakukan di sebuah tempat khusus, seperti di pelataran/halaman rumah adat yang terdapat di tengah kampung. Di atas tanah datar pelataran rumah adat (Heda Hanga) ini, terdapat lingkaran kecil yang terbuat dari batu cadas yang tertancap sebagiannya ke bumi. Batu-batu ini memiliki fungsi magis, yakni untuk memisahkan dunia nyata (dunia manusia) dan dunia baka (dunia leluhur/orang mati). Dan, di tengah lingkaran batu tersebut terdapat tiga atau lima batu lonjong yang juga tertanam sebagian ke tanah. Juga terdapat satu tonggak kayu menjulang dari bumi ke arah langit. Kayu ini berfungsi sebagai penghubung antara kekuatan langit/di atas (Du'a Lulu Wula) dan kekuatan bumi (Nggae Wena Tana).
Upacara adat Loka Po'o ini dipimpin Mosalaki Ria Bewa, seorang atau beberapa orang tokoh masyarakat/dewan adat yang dipercayakan. Dan, selama berlangsungnya kegiatan permohonan tersebut, masyarakat peserta dilarang keras untuk memasuki areal inti upacara Loka Po'o yang telah dibatasi batu. Pelanggaran yang terjadi dapat berakibat fatal bagi si pelanggar, serta dapat menggagalkan niat dan permohonan yang telah dipanjatkan pemimpin upacara. Doa atau permohonan yang disampaikan oleh mosalaki ini menggunakan bahasa adat setempat dengan gaya bahasa warisan leluhur.
Selain bahasa adat yang digunakan dan banyaknya jumlah peserta acara yang melibatkan seluruh penduduk kampung, ciri utama dari rangkaian kegiatan Loka Po'o ini adalah bahan sajian yang dipersembahkan adalah nasi yang ditanak dalam ruas bambu mentah. Proses menanak nasi dalam bambu ini dilakukan dengan cara dibakar atau dipanggang pada bara api yang sedang menyala. Upacara ini biasanya dilakukan pada bulan September (Wula Mapa) dan bulan Maret (Wula More).
Berkaitan dengan ritual kesuburan ini, mesti juga disinggung mitos Ine Pare (Ibu Padi) yang sampai sekarang hidup dikalangan Masyarakat Lio. Mitos bahwa padi berasal dari tubuh perempuan memang berkembang di Asia Tenggara. Padi dalam mitos yang berkembang, bermula dari pengorbanan diri seorang perempuan Lio yang bernama Ine Mbu. Dia bersedia dibunuh oleh saudara laki-lakinya bernama Ndale, di tempat yang bernama Keli Ndota. Dari darah yang berjatuhan itu, muncul tanaman padi.
Menurut Yeremias Malu, tokoh adat Nuaria Desa Detu Binga, Loka Po'o ini sendiri merupakan salah satu dari tiga rangkaian upacara adat yang merupakan tradisi utama dalam berladang yang terdapat dalam kelender pertanian yang ada di Suku Bangsa Lio. Yaitu Loka Po'o, Loka Poka, dan Joka Ju.
Juga diceritakan Yeremias bahwa inti dari pelaksanaan upacara Loka Po'o ini adalah untuk menyampaikan permohonan kepada Du'a Lulu Wula dan Nggae Wena Tana, agar seyogyanya memberikan kesuburan pada tanaman selama satu musim tanam ini berlangsung. Selain mengharapkan kesuburan, yang juga diminta adalah memberikan kesehatan, kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat desa setempat.
Selama berlangsungnya kegiatan ini, masyarakat secara adat dilarang untuk melakukan aktivitas, seperti berkebun dan memberi makan ternak. Jika terjadi pelanggaran, kepada pelaku secara hukum adat akan dikenakan denda, bahkan akan mendapat petaka. Dan, ini menjadi penghalang yang dapat menggagalkan tujuan dilaksanakannya Loka Po'o.
Selaras alam
Akhir dari kegiatan Loka Po'o ini ditandai dengan resepsi bersama, sebagai tanda eratnya persaudaraan dan keharmonisan antarwarga. Tak hanya itu, resepsi yang dilakukan di seputaran pelataran lokasi upacara Loka Po'o ini juga untuk menunjukkan kepada leluhur bahwa tali persaudaraan tetap erat terjaga. Untuk alasan inilah, selama pelaksanaan kegiatan ini dianjurkan bagi siapa saja yang memimpin maupun mengikuti dan terlibat dalam Loka Po'o hendaknya hadir dengan hati yang bersih dan niat tulus untuk menyukseskan upacara Loka Po'o tersebut.
Setiap kali penyelenggaraan upacara Loka Po'o nampak kalangan remaja, baik muda mudi maupun orang dewasa dan orang tua, begitu antusias mengikuti setiap sesi upacara.
Sebenarnya, menurut Yeremias, inti dari rangkaian kegiatan ketika membuka ladang, saat menanam dan memanen. Adalah juga merupakan suatu ajakan kepada masyarakat untuk dapat menjalin hidup yang harmonis dengan alam. Hidup selaras alam, alasannya bahwa ritual ini dapat gagal dan masyarakat akan menerima bencana karena kesalahannya merusak alam. Akan terjadi kekeringan dan gagal panen.
Loka Po'o ini tidak bedanya dengan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tana Ai di Wilayah Kecamatan Talibura. Yang oleh masyarakat Tana Ai disebut dengan Gren Mahe. Gren Mahe dilakukan setiap tiga hingga lima tahun sekali. Persamaan antara Gren Mahe dan Loka Po'o adalah tujuan dan waktu pelaksanaan, yaitu setiap menjelang lahan siap tanam di musim hujan. Masyarakat Muhan Tana Ai di wilayah Kecamatan Talibura. Kabupaten Sikka, menggelar ritual Gren Mahe untuk memohon kesuburan tanaman dan kedamaian serta kesejahteraan.
Di Kabupaten Sikka sendiri, terdapat lima etnis masyarakat, yaitu etnis Lio, Sikka Krowe, Palu'E, Muhang/Tana Ai, dan Etnis Bajo/Bugis. Masing-masing etnis yang mendiami Niang Flores (karena Kabupaten Sikka berada di tengah Pulau Flores) ini, tentunya memiliki upacara maupun ritual ketika membuka ladang, menanam, maupun ketika melakukan panen.
Upacara, baik ketika membuka ladang, saat menanam dan pada saat penen, merupakan sebuah aset budaya yang harus dilestarikan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mewariskannya kepada generasi muda. Dan, hanya satu yang dibutuhkan dari generasi muda terhadap budaya ini adalah kesadaran dan kemauan untuk menerima dan menjadi penanggung jawab terhadap kebudayaannya sendiri. (jo ngaga seso/dari berbagai sumber)
Melalui musyawarah bersama para tokoh adat setempat disepakati menggelar upacara Loka Po'o, pertengahan September 2007 lalu. Loka Po'o merupakan ritual adat masyarakat Suku Lio yang dilangsungkan setiap awal musim tanam. Upacara ini diyakini sebagai jembatan untuk menyampaikan permohonan terhadap kesuburan lahan perkebunan, pertanian, sawah. Juga sebagai upacara syukuran kepada Du'a Nggae Lulu Wula (Allah Penguasa Jagad) atas hasil panen yang diperoleh pada musim tanam sebelumnya.
Loka Po'o, merupakan sebuah upacara adat yang telah dilangsungkan sejak berabad-abad silam sebagai warisan leluhur masyarakat Suku Lio. Suku Lio merupakan salah satu suku yang terdapat di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menempati dua wilayah kabupaten di Pulau Flores. Sebagian Suku Lio menempati wilayah barat Kabupaten Sikka (Ata Lio Sikka: Orang Lio Sikka) dan sebagiannya masuk dalam wilayah Kabupaten Ende (Ata Lio Ende: Orang Lio Ende). Dalam Suku Lio, baik yang menempati wilayah Sikka maupun Ende masing-masingnya memiliki gaya dan dialek bahasa yang sedikit berbeda satu sama lainnya.
Pelaksanaan upacara adat Loka Po'o ini dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut. Dan, dilakukan di sebuah tempat khusus, seperti di pelataran/halaman rumah adat yang terdapat di tengah kampung. Di atas tanah datar pelataran rumah adat (Heda Hanga) ini, terdapat lingkaran kecil yang terbuat dari batu cadas yang tertancap sebagiannya ke bumi. Batu-batu ini memiliki fungsi magis, yakni untuk memisahkan dunia nyata (dunia manusia) dan dunia baka (dunia leluhur/orang mati). Dan, di tengah lingkaran batu tersebut terdapat tiga atau lima batu lonjong yang juga tertanam sebagian ke tanah. Juga terdapat satu tonggak kayu menjulang dari bumi ke arah langit. Kayu ini berfungsi sebagai penghubung antara kekuatan langit/di atas (Du'a Lulu Wula) dan kekuatan bumi (Nggae Wena Tana).
Upacara adat Loka Po'o ini dipimpin Mosalaki Ria Bewa, seorang atau beberapa orang tokoh masyarakat/dewan adat yang dipercayakan. Dan, selama berlangsungnya kegiatan permohonan tersebut, masyarakat peserta dilarang keras untuk memasuki areal inti upacara Loka Po'o yang telah dibatasi batu. Pelanggaran yang terjadi dapat berakibat fatal bagi si pelanggar, serta dapat menggagalkan niat dan permohonan yang telah dipanjatkan pemimpin upacara. Doa atau permohonan yang disampaikan oleh mosalaki ini menggunakan bahasa adat setempat dengan gaya bahasa warisan leluhur.
Selain bahasa adat yang digunakan dan banyaknya jumlah peserta acara yang melibatkan seluruh penduduk kampung, ciri utama dari rangkaian kegiatan Loka Po'o ini adalah bahan sajian yang dipersembahkan adalah nasi yang ditanak dalam ruas bambu mentah. Proses menanak nasi dalam bambu ini dilakukan dengan cara dibakar atau dipanggang pada bara api yang sedang menyala. Upacara ini biasanya dilakukan pada bulan September (Wula Mapa) dan bulan Maret (Wula More).
Berkaitan dengan ritual kesuburan ini, mesti juga disinggung mitos Ine Pare (Ibu Padi) yang sampai sekarang hidup dikalangan Masyarakat Lio. Mitos bahwa padi berasal dari tubuh perempuan memang berkembang di Asia Tenggara. Padi dalam mitos yang berkembang, bermula dari pengorbanan diri seorang perempuan Lio yang bernama Ine Mbu. Dia bersedia dibunuh oleh saudara laki-lakinya bernama Ndale, di tempat yang bernama Keli Ndota. Dari darah yang berjatuhan itu, muncul tanaman padi.
Menurut Yeremias Malu, tokoh adat Nuaria Desa Detu Binga, Loka Po'o ini sendiri merupakan salah satu dari tiga rangkaian upacara adat yang merupakan tradisi utama dalam berladang yang terdapat dalam kelender pertanian yang ada di Suku Bangsa Lio. Yaitu Loka Po'o, Loka Poka, dan Joka Ju.
Juga diceritakan Yeremias bahwa inti dari pelaksanaan upacara Loka Po'o ini adalah untuk menyampaikan permohonan kepada Du'a Lulu Wula dan Nggae Wena Tana, agar seyogyanya memberikan kesuburan pada tanaman selama satu musim tanam ini berlangsung. Selain mengharapkan kesuburan, yang juga diminta adalah memberikan kesehatan, kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat desa setempat.
Selama berlangsungnya kegiatan ini, masyarakat secara adat dilarang untuk melakukan aktivitas, seperti berkebun dan memberi makan ternak. Jika terjadi pelanggaran, kepada pelaku secara hukum adat akan dikenakan denda, bahkan akan mendapat petaka. Dan, ini menjadi penghalang yang dapat menggagalkan tujuan dilaksanakannya Loka Po'o.
Selaras alam
Akhir dari kegiatan Loka Po'o ini ditandai dengan resepsi bersama, sebagai tanda eratnya persaudaraan dan keharmonisan antarwarga. Tak hanya itu, resepsi yang dilakukan di seputaran pelataran lokasi upacara Loka Po'o ini juga untuk menunjukkan kepada leluhur bahwa tali persaudaraan tetap erat terjaga. Untuk alasan inilah, selama pelaksanaan kegiatan ini dianjurkan bagi siapa saja yang memimpin maupun mengikuti dan terlibat dalam Loka Po'o hendaknya hadir dengan hati yang bersih dan niat tulus untuk menyukseskan upacara Loka Po'o tersebut.
Setiap kali penyelenggaraan upacara Loka Po'o nampak kalangan remaja, baik muda mudi maupun orang dewasa dan orang tua, begitu antusias mengikuti setiap sesi upacara.
Sebenarnya, menurut Yeremias, inti dari rangkaian kegiatan ketika membuka ladang, saat menanam dan memanen. Adalah juga merupakan suatu ajakan kepada masyarakat untuk dapat menjalin hidup yang harmonis dengan alam. Hidup selaras alam, alasannya bahwa ritual ini dapat gagal dan masyarakat akan menerima bencana karena kesalahannya merusak alam. Akan terjadi kekeringan dan gagal panen.
Loka Po'o ini tidak bedanya dengan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tana Ai di Wilayah Kecamatan Talibura. Yang oleh masyarakat Tana Ai disebut dengan Gren Mahe. Gren Mahe dilakukan setiap tiga hingga lima tahun sekali. Persamaan antara Gren Mahe dan Loka Po'o adalah tujuan dan waktu pelaksanaan, yaitu setiap menjelang lahan siap tanam di musim hujan. Masyarakat Muhan Tana Ai di wilayah Kecamatan Talibura. Kabupaten Sikka, menggelar ritual Gren Mahe untuk memohon kesuburan tanaman dan kedamaian serta kesejahteraan.
Di Kabupaten Sikka sendiri, terdapat lima etnis masyarakat, yaitu etnis Lio, Sikka Krowe, Palu'E, Muhang/Tana Ai, dan Etnis Bajo/Bugis. Masing-masing etnis yang mendiami Niang Flores (karena Kabupaten Sikka berada di tengah Pulau Flores) ini, tentunya memiliki upacara maupun ritual ketika membuka ladang, menanam, maupun ketika melakukan panen.
Upacara, baik ketika membuka ladang, saat menanam dan pada saat penen, merupakan sebuah aset budaya yang harus dilestarikan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mewariskannya kepada generasi muda. Dan, hanya satu yang dibutuhkan dari generasi muda terhadap budaya ini adalah kesadaran dan kemauan untuk menerima dan menjadi penanggung jawab terhadap kebudayaannya sendiri. (jo ngaga seso/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar