Laporan Gerardus Manyela & Alfons, Spirit NTT 4-10 Februari 2008
KUPANG, SPIRIT--Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT meminta pemerintah propinsi meninjau kembali nota kesepahaman (MoU) dan membatalkan kontrak kerja dengan PT Wardsant Cabang Kupang dan PT Fajar Indah Tirta Abadi (FITA), dua perusahaan yang mengelola Kapal Motor (KM) Nangalala dan KM Nembrala, dibatalkan. Pengoperasian dua kapal itu merugikan daerah dan masyarakat.
Hal ini terungkap dalam rapat paripurna DPRD NTT, Senin (28/1/2008). Anggota DPRD NTT, Yahidin Umar, mengatakan, dalam pengoperasian kapal di jalur perintis, diduga banyak terjadi penyimpangan trayek, dan merugikan masyarakat dengan menerapkan tarif penumpang dan barang yang tinggi.
"Tarif yang diterapkan diduga tidak mengacu pada tarif perintis yang sebenarnya. Karenanya, kami minta agar pemerintah membatalkan kontrak kerja dengan perusahan dimaksud," kata Yahidin.
KM Nangalala dan KM Nembrala merupakan dua kapal perintis milik Dirjen Perhubungan Laut yang diserahkan/dihibahkan kepada pemerintah daerah NTT. Kedua kapal ini mendapat subsidi dari pemerintah pusat untuk melayani rute-rute pelabuhan di NTT sampai Bima (NTB) dengan basis di Kupang.
PT Wardsant dan PT FITA mengelola proyek pelayaran perintis lewat mekanisme penunjukan langsung sejak Mei 2004. Padahal proyek itu senilai Rp 4.494.586.900,00. Hal ini dinilai bertentangan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003.
"Setiap tahun mereka mendapat subsidi pengoperasian. Sementara perawatan kapal tidak dilakukan secara baik. Karenanya, kita mengkhawatirkan nasib dua kapal itu, sama seperti Kapal Bina Marga yang sudah rusak dan menjadi besi tua," katanya sembari menambahkan bahwa manajemen PT Wardsant secara ototriter mem-PHK sejumlah karyawan.
Anggota Dewan lainnya, John Lake mengungkapkan, ada sejumlah pejabat instansi terkait yang diduga 'berselingkuh' dengan manajemen PT Wardsant dan PT FITA untuk mendapatkan keuntungan di balik kontrak kerja pengoperasian KM Nangalala dan KM Nembrala.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Perhubungan Propinsi NTT, Simon Uly, mengatakan, pemutusan kontrak dengan PT Wardsant tidak bisa dilakukan serta merta. "Kalau putus kontrak, silakan, tapi bisa jadi krusial. Sekarang dua kapal itu melayani rute perintis. Kalau putus apa berarti berhenti juga melayani rakyat?" kata Simon Uly saat ditemui di gedung DPRD NTT. *
Hal ini terungkap dalam rapat paripurna DPRD NTT, Senin (28/1/2008). Anggota DPRD NTT, Yahidin Umar, mengatakan, dalam pengoperasian kapal di jalur perintis, diduga banyak terjadi penyimpangan trayek, dan merugikan masyarakat dengan menerapkan tarif penumpang dan barang yang tinggi.
"Tarif yang diterapkan diduga tidak mengacu pada tarif perintis yang sebenarnya. Karenanya, kami minta agar pemerintah membatalkan kontrak kerja dengan perusahan dimaksud," kata Yahidin.
KM Nangalala dan KM Nembrala merupakan dua kapal perintis milik Dirjen Perhubungan Laut yang diserahkan/dihibahkan kepada pemerintah daerah NTT. Kedua kapal ini mendapat subsidi dari pemerintah pusat untuk melayani rute-rute pelabuhan di NTT sampai Bima (NTB) dengan basis di Kupang.
PT Wardsant dan PT FITA mengelola proyek pelayaran perintis lewat mekanisme penunjukan langsung sejak Mei 2004. Padahal proyek itu senilai Rp 4.494.586.900,00. Hal ini dinilai bertentangan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003.
"Setiap tahun mereka mendapat subsidi pengoperasian. Sementara perawatan kapal tidak dilakukan secara baik. Karenanya, kita mengkhawatirkan nasib dua kapal itu, sama seperti Kapal Bina Marga yang sudah rusak dan menjadi besi tua," katanya sembari menambahkan bahwa manajemen PT Wardsant secara ototriter mem-PHK sejumlah karyawan.
Anggota Dewan lainnya, John Lake mengungkapkan, ada sejumlah pejabat instansi terkait yang diduga 'berselingkuh' dengan manajemen PT Wardsant dan PT FITA untuk mendapatkan keuntungan di balik kontrak kerja pengoperasian KM Nangalala dan KM Nembrala.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Perhubungan Propinsi NTT, Simon Uly, mengatakan, pemutusan kontrak dengan PT Wardsant tidak bisa dilakukan serta merta. "Kalau putus kontrak, silakan, tapi bisa jadi krusial. Sekarang dua kapal itu melayani rute perintis. Kalau putus apa berarti berhenti juga melayani rakyat?" kata Simon Uly saat ditemui di gedung DPRD NTT. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar