Spirit NTT 11-17 Februari 2008
ORANGNYA kurus, berkacamata tebal, tegas. Pak Wari, sapaan akrab Mateus Wari Weruin, pada 1970-an hingga 1980-an merupakan Lepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Podor, Larantuka, Flores Timur. Saya masih ingat ke mana-mana beliau naik sepeda motor bebek warna merah dari Podor ke Postoh, Weri, ke mana-mana-lah.
Pak Wari bukan sekadar kepala sekolah (dulu disebut direktur), tapi guru musik, pembina paduan suara, tokoh musik liturgi terkemuka dari Kabupaten Flores Timur. Kalau di Jakarta ada Pranadjaja, maka di Flores Timur siapa lagi kalau bukan Pak Wari.
Bedanya, Pranadjaja mendidik musik langsung ke anak-anak, Pak Wari menggembleng para calon guru di SPG. Lulusan SPG yang akan mengajar di berbagai SD di Flores Timur, bahkan seluruh NTT, itulah yang nantinya menggembleng anak-anak didiknya dengan musik dan nyanyian.
Maka, tak berlebihan kalau Pak Wari ini saya sebut sebagai Bapak Musik Flores Timur. Hitung saja, sudah berapa banyak warga Flores Timur (dan NTT) yang telah menikmati jasa-jasa beliau sejak 1960-an hingga 1990-an? Saya tidak pernah diajar langsung oleh Pak Wari, tapi saya tidak membantah bahwa guru-guru saya di SD dan SMP di Flores Timur jelas merupakan hasil didikan Pak Wari.
Sebagai anak kampung di Lembata (tahun 1980-an belum ada listrik), dulu saya tidak pernah menikmati kor (paduan suara) yang menyanyi dengan benar, indah, artistik. Di kampung, kor-kor gereja hanya kor-koran yang belum bisa mengunakan teknik produksi suara, dinamika, tempo, yang benar.
Nah, setelah duduk di SMPK San Pankratio Larantuka (sore) kami pun wajib mengikuti upacara bendera hari-hari nasional di Stadion Postoh. Hampir pasti kornya dari SPG Podor dengan dirigen Mateus Wari Weruin. Lagu Indonesia Raya, Hymne Guru, Nyiur Hijau. Tanpa iringan alat musik apa pun, Pak Wari mengambil nada dengan garputala, lalu mulailah kor favorit Flores Timur itu menyanyi.
"Aih suara malaikat. Saya tidak pernah dengan suara macam ini sebelumnya. Kok bisa ya kor begitu bagus, bisa membuat ribuan orang ketagihan di stadion yang panas," begitu antara lain decak kagum saya.
Sejak itulah saya mulai mencoba menekuni kor seraya serius di sekolah. Pak Petrus Pedo Beke, yang menikah dengan putri Pak Wari, adalah guru musik dan seni suara kami. Waktu itu belum ada buku musik yang baik, sehingga Pak Wari menerbitkan buku stensilan musik untuk para pelajar SLTP di Kabupaten Flores Timur.
Namanya juga anak kampung, saya akui pelajaran musik versi Pak Wari ini sangat detail, kompleks, sudah sekelas akademi musik. Saya tidak paham, tapi selalu gembira karena musik itu indah.
"Suaramu tidak jelek, bisa baca not angka dan not balok, tapi kamu itu pemalu. Percaya dirilah," begitu nasihat Pak Pedo Beke.
Dulu, setiap kali disuruh menyanyi di depan kelas, wah, rasanya langit mau runtuh saja. Apalagi kalau dipaksa jadi solis yang harus menyanyi seorang diri.
Jasa Pak Wari juga dirasakan umat Katolik di Indonesia. Sebab, beliaulah penggubah Misa Dolo-Dolo yang sangat terkenal itu. Lagu-lagu Misa Dolo-Dolo ini diadopsi dari lagu rakyat (folk song) Flores Timur, kemudian disesuaikan di sana-sini sesuai dengan kaidah musik liturgi gereja Katolik.
Kalau tidak salah, Pak Wari sendirilah yang mula pertama memperkenalkan Misa Dolo-Dolo pada upacara penahbisan Uskup Larantuka, Mgr. Darius Nggawa, SVD, di Stadion Postoh, Larantuka, pada tahun 1974. Ribuan warga Flores Timur menyambut misa jenis baru ini dengan sangat antusias.
Mereka seakan-akan menemukan kekayaan liturgi yang digali dari buminya sendiri, bukan hasil contekan liturgi barat yang asing dan kering. Dalam tempo singkat Misa Dolo-Dolo pun menyebar ke seluruh Flores Timur, dinyanyikan di mana-mana, bukan saja di gereja, tapi di perjalanan, sambil mandi di laut, di halaman sekolah, dan sebagainya.
Misa Dolo-Dolo semakin populer setelah dimuat di MADAH BAKTI, yang sempat menjadi buku resmi liturgi Gereja Katolik di Indonesia pada awal 1980-an hingga 1992/93/94. Setelah MADAH BAKTI habis masa baktinya, diganti PUJI SYUKUR, Misa Dolo-Dolo ini tetap dimuat, namun dengan sejumlah perubahan syair.
Perubahan ini memang sempat melahirkan 'kebingunan massal' di kalangan umat Katolik, termasuk saya. Untung saja, melodi asli Misa Dolo-Dolo tetap dipertahankan sehingga jejak Pak Wari tidak sampai hilang sama sekali.
Kini Pak Wari telah tiada. Tapi jasa-jasanya dalam memajukan musik liturgi di Flores selalu kami kenang. (lambertus l hurek)
ORANGNYA kurus, berkacamata tebal, tegas. Pak Wari, sapaan akrab Mateus Wari Weruin, pada 1970-an hingga 1980-an merupakan Lepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Podor, Larantuka, Flores Timur. Saya masih ingat ke mana-mana beliau naik sepeda motor bebek warna merah dari Podor ke Postoh, Weri, ke mana-mana-lah.
Pak Wari bukan sekadar kepala sekolah (dulu disebut direktur), tapi guru musik, pembina paduan suara, tokoh musik liturgi terkemuka dari Kabupaten Flores Timur. Kalau di Jakarta ada Pranadjaja, maka di Flores Timur siapa lagi kalau bukan Pak Wari.
Bedanya, Pranadjaja mendidik musik langsung ke anak-anak, Pak Wari menggembleng para calon guru di SPG. Lulusan SPG yang akan mengajar di berbagai SD di Flores Timur, bahkan seluruh NTT, itulah yang nantinya menggembleng anak-anak didiknya dengan musik dan nyanyian.
Maka, tak berlebihan kalau Pak Wari ini saya sebut sebagai Bapak Musik Flores Timur. Hitung saja, sudah berapa banyak warga Flores Timur (dan NTT) yang telah menikmati jasa-jasa beliau sejak 1960-an hingga 1990-an? Saya tidak pernah diajar langsung oleh Pak Wari, tapi saya tidak membantah bahwa guru-guru saya di SD dan SMP di Flores Timur jelas merupakan hasil didikan Pak Wari.
Sebagai anak kampung di Lembata (tahun 1980-an belum ada listrik), dulu saya tidak pernah menikmati kor (paduan suara) yang menyanyi dengan benar, indah, artistik. Di kampung, kor-kor gereja hanya kor-koran yang belum bisa mengunakan teknik produksi suara, dinamika, tempo, yang benar.
Nah, setelah duduk di SMPK San Pankratio Larantuka (sore) kami pun wajib mengikuti upacara bendera hari-hari nasional di Stadion Postoh. Hampir pasti kornya dari SPG Podor dengan dirigen Mateus Wari Weruin. Lagu Indonesia Raya, Hymne Guru, Nyiur Hijau. Tanpa iringan alat musik apa pun, Pak Wari mengambil nada dengan garputala, lalu mulailah kor favorit Flores Timur itu menyanyi.
"Aih suara malaikat. Saya tidak pernah dengan suara macam ini sebelumnya. Kok bisa ya kor begitu bagus, bisa membuat ribuan orang ketagihan di stadion yang panas," begitu antara lain decak kagum saya.
Sejak itulah saya mulai mencoba menekuni kor seraya serius di sekolah. Pak Petrus Pedo Beke, yang menikah dengan putri Pak Wari, adalah guru musik dan seni suara kami. Waktu itu belum ada buku musik yang baik, sehingga Pak Wari menerbitkan buku stensilan musik untuk para pelajar SLTP di Kabupaten Flores Timur.
Namanya juga anak kampung, saya akui pelajaran musik versi Pak Wari ini sangat detail, kompleks, sudah sekelas akademi musik. Saya tidak paham, tapi selalu gembira karena musik itu indah.
"Suaramu tidak jelek, bisa baca not angka dan not balok, tapi kamu itu pemalu. Percaya dirilah," begitu nasihat Pak Pedo Beke.
Dulu, setiap kali disuruh menyanyi di depan kelas, wah, rasanya langit mau runtuh saja. Apalagi kalau dipaksa jadi solis yang harus menyanyi seorang diri.
Jasa Pak Wari juga dirasakan umat Katolik di Indonesia. Sebab, beliaulah penggubah Misa Dolo-Dolo yang sangat terkenal itu. Lagu-lagu Misa Dolo-Dolo ini diadopsi dari lagu rakyat (folk song) Flores Timur, kemudian disesuaikan di sana-sini sesuai dengan kaidah musik liturgi gereja Katolik.
Kalau tidak salah, Pak Wari sendirilah yang mula pertama memperkenalkan Misa Dolo-Dolo pada upacara penahbisan Uskup Larantuka, Mgr. Darius Nggawa, SVD, di Stadion Postoh, Larantuka, pada tahun 1974. Ribuan warga Flores Timur menyambut misa jenis baru ini dengan sangat antusias.
Mereka seakan-akan menemukan kekayaan liturgi yang digali dari buminya sendiri, bukan hasil contekan liturgi barat yang asing dan kering. Dalam tempo singkat Misa Dolo-Dolo pun menyebar ke seluruh Flores Timur, dinyanyikan di mana-mana, bukan saja di gereja, tapi di perjalanan, sambil mandi di laut, di halaman sekolah, dan sebagainya.
Misa Dolo-Dolo semakin populer setelah dimuat di MADAH BAKTI, yang sempat menjadi buku resmi liturgi Gereja Katolik di Indonesia pada awal 1980-an hingga 1992/93/94. Setelah MADAH BAKTI habis masa baktinya, diganti PUJI SYUKUR, Misa Dolo-Dolo ini tetap dimuat, namun dengan sejumlah perubahan syair.
Perubahan ini memang sempat melahirkan 'kebingunan massal' di kalangan umat Katolik, termasuk saya. Untung saja, melodi asli Misa Dolo-Dolo tetap dipertahankan sehingga jejak Pak Wari tidak sampai hilang sama sekali.
Kini Pak Wari telah tiada. Tapi jasa-jasanya dalam memajukan musik liturgi di Flores selalu kami kenang. (lambertus l hurek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar