Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
TANGGAL 15 September 2004, Seminari Santo Yohanes Berkhmas Todabelu di Mataloko, Ngada, genap berusia 75 tahun. Usia tiga perempat abad itu terhitung sejak sekolah diberkati pendiriannya oleh Uskup Kepulauan Sunda Kecil, Mgr Arnold Vestraelen, SVD di Todabelu (Mataloko) 1929.
Sekolah berpelindung St. Yohanes Berkhmans ini sebenarnya adalah relokasi dari tempat awalnya di Kampung Sikka (kini dalam wilayah Kabupaten Sikka, Flores). Dengan lima siswa awalnya, lembaga pendidikan khusus calon imam Katolik ini telah resmi berdiri di Sikka, 2 Februari 1926.
Untuk mempersiapkan perayaan 75 tahun itu Romo Bernadus Sebho, Pr, Rektor Seminari Todabelu saat itu, mulai dengan menghimpun alumninya. Termasuk 368 orang yang terpanggil menjadi imam, 13 di antaranya menjadi uskup.
Kelompok terakhir ini adalah Mgr. Gabriel Manek, Mgr. Paulus Sani Kleden, Mgr. Gregorius Menteiro, Mgr. Donatus Djagom, Mgr. Vitalis Djebarus, Mgr. Darius Nggawa, Mgr. Isaak Doera, dan Mgr. Antonius Pain Ratu. Lainnya adalah Mgr. Eduardus Sangsun, Mgr. Hilarius Moa Nurak, Mgr. G Khaerubim Pareira, Mgr. Michael Angkur, dan Mgr. Abdon Longinus da Cunha.
Romo Bernadus berharap agar alumni berkenan hadir pada acara HUT almamaternya ke-75 itu. Tentu juga harapan pada alumni yang kemudian sukses berkiprah di luar altar gereja, antara lain Dr. Daniel Dhakidae dan Frans Meak Parera (di Jakarta), serta Valens Goa Doy (alm).
Di Jakarta sejumlah alumni Seminari Todabelu punya kesibukan sendiri. "Alumni di Jakarta di bawah koordinasi Pak Frans Meak Parera dan Pak Daniel Dhakidae merampungkan buku khusus menangkap momentum 75 tahun Seminari St Berkhmans Todabelu," ujar Romo Bernadus Sebho, Pr.
Saat itu, Bernadus Sebho belum memperoleh gambaran jelas perihal buku yang sedang digarap di Jakarta itu. Namun, ia memastikan isi buku itu dalam bentuk bunga rampai. "Kita tunggu saja, mudah-mudahan isi buku menjadi masukan berharga untuk pengembangan Seminari Todabelu ke depan," tuturnya.
Sementara Seminari Menengah Todabelu sendiri juga dengan kesibukan serupa. Romo Johanes Songkares Pr, salah seorang pengajar sekolah calon imam itu, hingga pekan kedua Juli sedang larut dalam kesibukan merampungkan penulisan buku sejarah sekolah ini.
"Saya sangat berterima kasih atas bantuan buku yang kebetulan sangat dibutuhkan mendukung tulisan sejarah sekolah ini," ungkapnya di Mataloko.
Buku yang dimaksud adalah Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Ignas Kleden, Juni 2004). Johanes Songkares yang akrab disapa Romo Nani mengaku sangat membutuhkan buku karya doktor sosiologi dari Universitas Bielefeld (Jerman) itu. "Saya membutuhkan gambaran lebih konkret perihal kurikulum sekolah seminari yang disebut-sebut mirip gymnasium di Eropa," jelasnya.
Ignas Kleden yang kini mengajar pada program S2 dan S3 Jurusan Komunikasi FISIP UI dan program S2 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara adalah alumni Seminari Menengah San Dominggo Hokeng di Kabupaten Flores Timur (Flotim), ujung timur Pulau Flores. Hokeng sendiri berlokasi sekitar 60 kilometer barat Larantuka, kota Kabupaten Flotim.
Buku itu antara lain melukiskan pendidikan di lingkungan seminari merupakan masa latihan dan studi yang intensif. Separuh pendidikannya berorientasi kepada gymnasium di Eropa dan separuh lainnya mengikuti ketetapan pendidikan nasional Indonesia.
Yang khusus dipelajari di seminari adalah bahasa Latin yang memakan porsi terbesar, enam kali dalam seminggu. Menyusul olahraga dan musik. Sementara bahasa Indonesia empat kali seminggu, namun pelajaran sastra tidak mendapat perhatian secukupnya.
Tentang hal yang sama, Sindhunata (Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001) menggambarkan melalui kurikulum yang mirip gymnasium, murid-murid diajak masuk ke dalam alam pikiran klasik. Lalu mendalami sastra klasik entah Latin, Yunani, Caesar, Cicero, Horatius atau Ovidius. Mengutip secara acak, katanya, pengalaman dan pendidikan yang kental dengan tradisi humaniora seperti itu selanjutnya melahirkan pandangan yang humanis.
Tercakup di dalamnya adalah pencerdasan dan pencerahan akal budi, pergulatan suara hati, peradaban dan pembangunan kebudayaan.
***
MATALOKO, termasuk Seminari Todabelu, letaknya sekitar 19 kilometer timur Bajawa, Kota Kabupaten Ngada di Flores. Kawasan ini dikenal berhawa sejuk. Keseharian kawasannya tidak jarang berselimut kabut. Maklum saja karena letaknya di daerah ketinggian- sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Kondisi itu secara tidak langsung mengharuskan penduduknya selalu berselimut tebal ditambah penutup kepala ala ninja yang lazim disebut "topi dingin" oleh masyarakat setempat. Topi ala ninja itu antara lain selalu dikenakan di kepala Romo Nani.
Ketika dikunjungi, kompleks sekolah riuh terutama melalui salah satu gerbang masuk di sebelah timurnya. Suasana itu bersumber dari kesibukan para siswa yang baru kembali ke sekolah setelah sekitar dua minggu liburan.
Para siswa tidak langsung masuk asrama yang juga dalam kompleks. Mereka harus menyelesaikan berbagai kewajiban seperti biaya asrama, uang sekolah dan lainnya melalui petugas khusus yang telah menunggu. Selanjutnya dengan kupon yang diperoleh, baru diperbolehkan masuk asrama. "Kompleks sekolah terasa sangat sepi selama siswa liburan," kata Romo Alex Dae, guru Bahasa Indonesia Seminari Todabelu.
Seperti sekolah sejenisnya di Flores: Seminari Kisol (Manggarai) atau Seminari Hokeng di Flotim, siswa Seminari Todabelu tidak hanya dari Kabupaten Ngada. Mereka berasal dari seluruh pelosok NTT, bahkan dari Pulau Jawa, Irian Jaya, dan daerah lainnya. "Kalau suasana dan kompleksnya mendukung seperti ini, pantas saja selalu memungkinkan siswa untuk tekun belajar," kata Kepala Dinas Pendidikan Nasional Timika (Irian Jaya), Aloyisius You, spontan ketika mengantar putranya masuk Seminari Todabelu.
Kompleks Seminari Todabelu didukung lahan seluas kurang lebih 70 hektar. Di antaranya 10 hektar khusus untuk persekolahan lengkap dengan berbagai fasilitas pendukungnya dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Sementara 60 hektar lainnya adalah lahan yang disediakan untuk perkebunan ditanami berbagai jenis buahan, jagung, kopi, cengkih, vanili, dan berbagai jenis tanaman lainnya. "Hasil dari lahan kebun ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah," tambah Romo Nani.
Sebenarnya kurikulum pendidikan di Seminari Todabelu tidak jauh beda dengan kurikulum yang diterapkan di Seminari Menengah "Pius 12" Kisol (Manggarai), Seminari San Dominggo Hokeng (Flotim) atau sekolah khusus sejenis lainnya. (kcm)
Sekolah berpelindung St. Yohanes Berkhmans ini sebenarnya adalah relokasi dari tempat awalnya di Kampung Sikka (kini dalam wilayah Kabupaten Sikka, Flores). Dengan lima siswa awalnya, lembaga pendidikan khusus calon imam Katolik ini telah resmi berdiri di Sikka, 2 Februari 1926.
Untuk mempersiapkan perayaan 75 tahun itu Romo Bernadus Sebho, Pr, Rektor Seminari Todabelu saat itu, mulai dengan menghimpun alumninya. Termasuk 368 orang yang terpanggil menjadi imam, 13 di antaranya menjadi uskup.
Kelompok terakhir ini adalah Mgr. Gabriel Manek, Mgr. Paulus Sani Kleden, Mgr. Gregorius Menteiro, Mgr. Donatus Djagom, Mgr. Vitalis Djebarus, Mgr. Darius Nggawa, Mgr. Isaak Doera, dan Mgr. Antonius Pain Ratu. Lainnya adalah Mgr. Eduardus Sangsun, Mgr. Hilarius Moa Nurak, Mgr. G Khaerubim Pareira, Mgr. Michael Angkur, dan Mgr. Abdon Longinus da Cunha.
Romo Bernadus berharap agar alumni berkenan hadir pada acara HUT almamaternya ke-75 itu. Tentu juga harapan pada alumni yang kemudian sukses berkiprah di luar altar gereja, antara lain Dr. Daniel Dhakidae dan Frans Meak Parera (di Jakarta), serta Valens Goa Doy (alm).
Di Jakarta sejumlah alumni Seminari Todabelu punya kesibukan sendiri. "Alumni di Jakarta di bawah koordinasi Pak Frans Meak Parera dan Pak Daniel Dhakidae merampungkan buku khusus menangkap momentum 75 tahun Seminari St Berkhmans Todabelu," ujar Romo Bernadus Sebho, Pr.
Saat itu, Bernadus Sebho belum memperoleh gambaran jelas perihal buku yang sedang digarap di Jakarta itu. Namun, ia memastikan isi buku itu dalam bentuk bunga rampai. "Kita tunggu saja, mudah-mudahan isi buku menjadi masukan berharga untuk pengembangan Seminari Todabelu ke depan," tuturnya.
Sementara Seminari Menengah Todabelu sendiri juga dengan kesibukan serupa. Romo Johanes Songkares Pr, salah seorang pengajar sekolah calon imam itu, hingga pekan kedua Juli sedang larut dalam kesibukan merampungkan penulisan buku sejarah sekolah ini.
"Saya sangat berterima kasih atas bantuan buku yang kebetulan sangat dibutuhkan mendukung tulisan sejarah sekolah ini," ungkapnya di Mataloko.
Buku yang dimaksud adalah Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Ignas Kleden, Juni 2004). Johanes Songkares yang akrab disapa Romo Nani mengaku sangat membutuhkan buku karya doktor sosiologi dari Universitas Bielefeld (Jerman) itu. "Saya membutuhkan gambaran lebih konkret perihal kurikulum sekolah seminari yang disebut-sebut mirip gymnasium di Eropa," jelasnya.
Ignas Kleden yang kini mengajar pada program S2 dan S3 Jurusan Komunikasi FISIP UI dan program S2 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara adalah alumni Seminari Menengah San Dominggo Hokeng di Kabupaten Flores Timur (Flotim), ujung timur Pulau Flores. Hokeng sendiri berlokasi sekitar 60 kilometer barat Larantuka, kota Kabupaten Flotim.
Buku itu antara lain melukiskan pendidikan di lingkungan seminari merupakan masa latihan dan studi yang intensif. Separuh pendidikannya berorientasi kepada gymnasium di Eropa dan separuh lainnya mengikuti ketetapan pendidikan nasional Indonesia.
Yang khusus dipelajari di seminari adalah bahasa Latin yang memakan porsi terbesar, enam kali dalam seminggu. Menyusul olahraga dan musik. Sementara bahasa Indonesia empat kali seminggu, namun pelajaran sastra tidak mendapat perhatian secukupnya.
Tentang hal yang sama, Sindhunata (Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001) menggambarkan melalui kurikulum yang mirip gymnasium, murid-murid diajak masuk ke dalam alam pikiran klasik. Lalu mendalami sastra klasik entah Latin, Yunani, Caesar, Cicero, Horatius atau Ovidius. Mengutip secara acak, katanya, pengalaman dan pendidikan yang kental dengan tradisi humaniora seperti itu selanjutnya melahirkan pandangan yang humanis.
Tercakup di dalamnya adalah pencerdasan dan pencerahan akal budi, pergulatan suara hati, peradaban dan pembangunan kebudayaan.
***
MATALOKO, termasuk Seminari Todabelu, letaknya sekitar 19 kilometer timur Bajawa, Kota Kabupaten Ngada di Flores. Kawasan ini dikenal berhawa sejuk. Keseharian kawasannya tidak jarang berselimut kabut. Maklum saja karena letaknya di daerah ketinggian- sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Kondisi itu secara tidak langsung mengharuskan penduduknya selalu berselimut tebal ditambah penutup kepala ala ninja yang lazim disebut "topi dingin" oleh masyarakat setempat. Topi ala ninja itu antara lain selalu dikenakan di kepala Romo Nani.
Ketika dikunjungi, kompleks sekolah riuh terutama melalui salah satu gerbang masuk di sebelah timurnya. Suasana itu bersumber dari kesibukan para siswa yang baru kembali ke sekolah setelah sekitar dua minggu liburan.
Para siswa tidak langsung masuk asrama yang juga dalam kompleks. Mereka harus menyelesaikan berbagai kewajiban seperti biaya asrama, uang sekolah dan lainnya melalui petugas khusus yang telah menunggu. Selanjutnya dengan kupon yang diperoleh, baru diperbolehkan masuk asrama. "Kompleks sekolah terasa sangat sepi selama siswa liburan," kata Romo Alex Dae, guru Bahasa Indonesia Seminari Todabelu.
Seperti sekolah sejenisnya di Flores: Seminari Kisol (Manggarai) atau Seminari Hokeng di Flotim, siswa Seminari Todabelu tidak hanya dari Kabupaten Ngada. Mereka berasal dari seluruh pelosok NTT, bahkan dari Pulau Jawa, Irian Jaya, dan daerah lainnya. "Kalau suasana dan kompleksnya mendukung seperti ini, pantas saja selalu memungkinkan siswa untuk tekun belajar," kata Kepala Dinas Pendidikan Nasional Timika (Irian Jaya), Aloyisius You, spontan ketika mengantar putranya masuk Seminari Todabelu.
Kompleks Seminari Todabelu didukung lahan seluas kurang lebih 70 hektar. Di antaranya 10 hektar khusus untuk persekolahan lengkap dengan berbagai fasilitas pendukungnya dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Sementara 60 hektar lainnya adalah lahan yang disediakan untuk perkebunan ditanami berbagai jenis buahan, jagung, kopi, cengkih, vanili, dan berbagai jenis tanaman lainnya. "Hasil dari lahan kebun ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah," tambah Romo Nani.
Sebenarnya kurikulum pendidikan di Seminari Todabelu tidak jauh beda dengan kurikulum yang diterapkan di Seminari Menengah "Pius 12" Kisol (Manggarai), Seminari San Dominggo Hokeng (Flotim) atau sekolah khusus sejenis lainnya. (kcm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar