Oleh John Oriwis
Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
SUASANA bulan puasa berjalan begitu khusuk, penuh keakraban dan persaudaraan, terlukis begitu indah dan memesona di antara para pemeluk agama.
Sore itu, Dede Teke baru pulang dari pasar, jualan kayu api. Sesampainya di rumah tak ada sedikitpun masakan yang terhidang di atas meja. Teke naik pitam, padahal tadi pagi sebelum ke pasar dia sempat menitipkan uang dua puluh ribu rupiah untuk belanja. Tapi kenapa tidak ada makanan di meja, padahal Teke punya perut kosong bukan kepalang. Hampa ngeri punya.
"Juli," teriak Teke memanggil sayangnya yang lagi enak cari kutu di rumah tetangga sebelah. "Mana makan?'' tanya Teke begitu Juli ada di hadapannya.
Juli salah tingka, mulai menggerakan tangan menggaruk kepala. Juli tau ini sala, tapi sepertinya Juli punya perhitungan untuk hemat malam itu.
"Amang we, untuk makan malam ini saya tida masak..." Juli mulai buka omong.
"Tapi kau tau tida ini suda mo jam enam, saya saja belum makan dari tadi siang."
"Suda saja amang, karena ini mo jam enam kita duduk di depan teras saja. Saya buat dulu te," harap Juli.
Teke lalu beranjak ke teras depan. Duduk di atas kursi bambu enak nolek. Sementara, Juli didapur sibuk urus minum, tapi dalam hati Juli punya satu harapan.
"Tuhan, sekarang Teke punya perut lapar. Semoga saja Haji Daeng Bakhri tetangga sebela panggil Teke untuk makan, buka puasa bersama, Tuhan tolong dulu ka ..." harap Juli.
Begitu hidangan teh sudah siap edar, Juli mulai anjak kaki ke teras depan antar teh. Sesampe di muka, tak sedikitpun Juli liat Teke ada di teras. Juli jadi makin panik, jangan-jangan Teke cari makan di luar. Adu Tuhan, sebentar saya pasti mati Teke pukul. Begitu takut Juli.
Tak seberapa lama kemudian, Teke dan Inang terliat keluar dari rumah Haji Daeng Bakhri. Teke punya muka terlihat sudah segar lagi, Inang juga nampak senyum-senyum dengan sebuah piring terbungkus kain dibawanya penuh hati-hati.
"Su kenyang ko?" tanya Juli.
"Su Kenyang apa? Ini baru makan magrib, belum makan malam. Ke dapur suda masak untuk makan malam," marah Teke.
'' Tuhan ini bagaimana, tadi coba bikin Teke kenyang memang baik. Kenyang air saja juga tak apa, yang penting dia tida lapar, " omel Juli sendirian di dapur.
"Emma ini, memang pemalas ngeri. Apa-apa kalo amang lapar, emma kena mara, Tuhan yang sala. Emma mode apa begini, pemalas ngeri," marah Inang dalam hati.
"Emma we, mari Inang masak, emma pigi wora woar di belakang dengan tanta Lisa mereka cari kutu malam-malam begini juga baik," sambung Inang bikin Juli kaget.
Mentang-mentang ini bulan puasa. Tiap tahun baa, harap Haji Daeng panggil makan, mereka pikir enak ka kerja hanya tunggu orang panggil makan. Dasar manusia-manusia pemalas harap enteng. Memang benar bulan puasa bulan penuh kebaikan tapi jangan begitu, harap tunggu magrib. *
Sore itu, Dede Teke baru pulang dari pasar, jualan kayu api. Sesampainya di rumah tak ada sedikitpun masakan yang terhidang di atas meja. Teke naik pitam, padahal tadi pagi sebelum ke pasar dia sempat menitipkan uang dua puluh ribu rupiah untuk belanja. Tapi kenapa tidak ada makanan di meja, padahal Teke punya perut kosong bukan kepalang. Hampa ngeri punya.
"Juli," teriak Teke memanggil sayangnya yang lagi enak cari kutu di rumah tetangga sebelah. "Mana makan?'' tanya Teke begitu Juli ada di hadapannya.
Juli salah tingka, mulai menggerakan tangan menggaruk kepala. Juli tau ini sala, tapi sepertinya Juli punya perhitungan untuk hemat malam itu.
"Amang we, untuk makan malam ini saya tida masak..." Juli mulai buka omong.
"Tapi kau tau tida ini suda mo jam enam, saya saja belum makan dari tadi siang."
"Suda saja amang, karena ini mo jam enam kita duduk di depan teras saja. Saya buat dulu te," harap Juli.
Teke lalu beranjak ke teras depan. Duduk di atas kursi bambu enak nolek. Sementara, Juli didapur sibuk urus minum, tapi dalam hati Juli punya satu harapan.
"Tuhan, sekarang Teke punya perut lapar. Semoga saja Haji Daeng Bakhri tetangga sebela panggil Teke untuk makan, buka puasa bersama, Tuhan tolong dulu ka ..." harap Juli.
Begitu hidangan teh sudah siap edar, Juli mulai anjak kaki ke teras depan antar teh. Sesampe di muka, tak sedikitpun Juli liat Teke ada di teras. Juli jadi makin panik, jangan-jangan Teke cari makan di luar. Adu Tuhan, sebentar saya pasti mati Teke pukul. Begitu takut Juli.
Tak seberapa lama kemudian, Teke dan Inang terliat keluar dari rumah Haji Daeng Bakhri. Teke punya muka terlihat sudah segar lagi, Inang juga nampak senyum-senyum dengan sebuah piring terbungkus kain dibawanya penuh hati-hati.
"Su kenyang ko?" tanya Juli.
"Su Kenyang apa? Ini baru makan magrib, belum makan malam. Ke dapur suda masak untuk makan malam," marah Teke.
'' Tuhan ini bagaimana, tadi coba bikin Teke kenyang memang baik. Kenyang air saja juga tak apa, yang penting dia tida lapar, " omel Juli sendirian di dapur.
"Emma ini, memang pemalas ngeri. Apa-apa kalo amang lapar, emma kena mara, Tuhan yang sala. Emma mode apa begini, pemalas ngeri," marah Inang dalam hati.
"Emma we, mari Inang masak, emma pigi wora woar di belakang dengan tanta Lisa mereka cari kutu malam-malam begini juga baik," sambung Inang bikin Juli kaget.
Mentang-mentang ini bulan puasa. Tiap tahun baa, harap Haji Daeng panggil makan, mereka pikir enak ka kerja hanya tunggu orang panggil makan. Dasar manusia-manusia pemalas harap enteng. Memang benar bulan puasa bulan penuh kebaikan tapi jangan begitu, harap tunggu magrib. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar