Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Bayi-bayi yang kehilangan ibu

Oleh Teguh Imam Wibowo
Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007

SEJENAK setelah melihat sosok bayi berkulit putih yang tengah tertidur di ruang perawatan Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak, Rabu (3/10/2007), Christina, 28, seketika tersenyum.
Di sebelah bayi itu, juga ada seorang bayi lain yang tubuhnya lebih gemuk dan berkulit putih. Namun Christina tetap yakin kalau bayi yang ditunjukkan semula itu adalah anaknya, meski belum pernah ia lihat sejak melahirkan Rabu (12/9) lalu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soedarso Pontianak.
Keletihan dan kesakitan sisa operasi cesar yang dialami ibu muda asal Desa Sumehang, Kecamatan Pahauman, Kabupaten Landak, itu seolah terhapus setelah melihat sang bayi.
"Kalau melihat rambut dan jidatnya, saya yakin kalau itu adalah bayi saya karena mirip bapaknya," kata Christina. Ia sendiri enggan menceritakan lebih lanjut tentang bapak si anak karena sejak hamil enam bulan telah menceraikannya dan menikah dengan orang lain.
Naluri seorang ibu untuk mengasuh si bayi begitu kuat di dalam diri Christina. Namun, ia pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya sesuai kewenangan pihak yang berwajib. "Biarlah dirawat dulu di rumah sakit sampai semuanya selesai," katanya, yang mengaku masih bingung nama yang tepat untuk si bayi.
Sebelumnya ia sempat dirawat ke Rumah Sakit Ngabang, Kabupaten Landak. Namun karena peralatan yang terbatas, ia dirujuk ke RSUD dr. Soedarso untuk menjalani operasi cesar.
Ketika menunggu proses operasi, ia berkenalan dengan Alie, 44, yang juga baru melahirkan anak. Mengetahui Christina tidak mempunyai uang untuk operasi, Alie menyarankan agar ia menghubungi Sie Tjin alias Achin, sepupunya.
Setelah menghubungi Achin, Christina didatangi As, 45, yang kini menjadi tersangka perdagangan bayi, dan berjanji akan menanggung biaya persalinan termasuk operasi cesar yang nilainya Rp 2 juta.
As menyatakan bahwa dia telah sepakat kalau bayi Christina akan dirawat oleh keluarganya di Jakarta. Sebagai tambahan, ia memberi Christina uang Rp 500 ribu untuk biaya menginap sebelum pulang ke kampung halaman.
Bayi yang ditemui Christina di Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak, dibawa oleh Santoso alias Aphin, 23, yang mengaku sebagai putra As, dari Jakarta, ke Kepolisian Sektor (Polsek) Pontianak Utara, Selasa (2/10/2007) sore. As juga ditahan di Polsek Pontianak Utara bersama Mr, 48, yang diduga ikut menjadi komplotan perdagangan bayi, sejak Minggu (30/9).
Menurut Aphin, bayi itu selama ini diasuh oleh keluarga Siska di Jakarta. Aphin mengaku tidak mengenal Siska dan ia hanya mendapat perintah dari ibunya agar membawa bayi tersebut ke Pontianak karena As tengah tersangkut masalah hukum.
Korban dari penjualan bayi tidak hanya dialami Christina dan Alie yang hingga kini belum mengetahui keberadaan anaknya. Lina, ibu muda asal Singkawang, bayinya ditemukan di kediaman As, Jalan Gusti Situt Mahmud, Gang Selat Sumba, RT 04/RW 11, Siantan Tengah. Kemungkinan jumlah itu hanya fenomena gunung es.
Potret kemiskinan
Kejadian yang menimpa Christina, Alie dan Lina, harus diakui merupakan salah satu potret dari kemiskinan di Kalbar. Mengacu pada Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Kalbar pada Maret 2007, tercatat 584.300 jiwa, atau 12,91 persen dari total penduduk sekitar 4 juta jiwa. Para pelaku memanfaatkan ketidakmampuan keuangan si ibu atau gara-gara kehamilan yang tidak diinginkan.
Untuk menyambung hidup, Christina selaku anak tertua dari empat bersaudara, tetap menakik getah di kampungnya hingga usia kandungannya mencapai sembilan bulan. Menurut pengakuan Devie Tiomana, dari Yayasan Nanda Dian Nusantara, selaku pendamping, rumah Christina berukuran lima kali enam meter berdinding papan dan beratap sirap.
Kalau beruntung, dalam sepekan ia mampu mengumpulkan Rp200 ribu hingga Rp 400 ribu dari hasil menjual getah torehan. "Tetapi pohon karet kami banyak airnya. Hasilnya tidak terlalu baik," kata Christina, yang sudah yatim piatu itu.
Sementara Alie sebelumnya sudah memiliki empat anak yang tidak bersekolah. Senada dengan Christina, ia juga tampak enggan bercerita tentang sang suami yang diakuinya sudah tidak waras.
Alie mendapat Rp 2 juta dari Achin untuk biaya persalinan. Uang sebesar Rp 1,4 juta ia gunakan untuk menebus biaya rumah sakit, sedangkan sisanya disimpan. Sehari-hari, ia bekerja sebagai tukang cuci baju dengan penghasilan Rp 150 ribu per bulan.
Devie Tiomana mengatakan, faktor kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah serta latar belakang korban menjadi penyebab maraknya praktik perdagangan bayi. "Tidak dapat dipungkiri, kebiasaan atau sesuatu yang dianggap biasa di kelompok masyarakat tertentu juga memengaruhi perdagangan bayi marak," kata Devie.
Hal itu, katanya, dimanfaatkan komplotan yang sudah terorganisir untuk mengambil keuntungan. Ia menambahkan, berdasarkan kajian selama beberapa tahun, Siantan Tengah kerap terjadi kasus serupa.
Di wilayah yang didominasi warga keturunan Tionghoa itu, pengalihan pengasuhan, perdagangan manusia dengan kedok kawin kontrak, merupakan hal yang dinilai biasa. "Seolah-olah, hukum tidak terkait, padahal itu dapat terkategori perampasan kemerdekaan," katanya.
Kondisi tersebut, kata Devie, seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah karena mereka membutuhkan informasi mengenai hukum. "Mereka terhambat mendapat informasi mengenai hukum. Pemerintah seharusnya turun tangan supaya mereka tidak merasa terbebas dari hukum," katanya.
"Link" terputus
Dari berbagai kasus perdagangan bayi yang terjadi di Pontianak, Devie menilai selalu ditemui "link" yang terputus antara korban dan tersangka.
Dalam kasus Christina misalnya, Aphin membuat jaringan setiap anggota sindikat menjadi terputus. "Keterangan yang diberikan Aphin sangat tidak masuk akal seperti menerima bayi dari Siska di Bandara Soekarno-Hatta, tiket pesawat yang dibuang sehingga ia tidak memegang bukti. Keterangan yang berbelit-belit ini membuat kita sulit untuk mengungkap hingga tuntas," kata Devie.
Ia menduga As dan rekan-rekannya merupakan pemain lama dan memiliki jaringan yang rapi hingga ke Jakarta dan luar negeri.
Harga jual bayi yang tinggi terutama yang memiliki kulit putih, membuat peluang As semakin besar. Menariknya, ibu yang menjadi target umumnya sudah tidak memiliki suami atau kehamilannya yang tidak diinginkan.
"Di Jakarta, harga bayi sehat yang kulitnya putih, bisa mencapai Rp 16 juta. Kalau yang berkulit gelap, harganya mungkin hanya separuhnya," kata Devie.
Dengan asumsi biaya persalinan rata-rata Rp 2 juta, sindikat tersebut masih memiliki keuntungan yang menggiurkan. Karena itu, kata Devie, tidak mengherankan jika terus muncul "As-As" baru yang memanfaatkan kondisi sang ibu dan kehamilannya.
Seandainya bayi-bayi itu bisa berbicara, mungkin mereka akan bertanya, masih adakah kehangatan dari seorang wanita yang mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah. (ant)

Tidak ada komentar: