Laporan LKBN ANTARA, Spirit NTT 3-9 November 2007
ATAMBUA, SPIRIT--Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, menegaskan, rumah sakit tidak dibenarkan meminta biaya perawatan atau biaya pengobatan kepada warga miskin yang memiliki asuransi kesehatan bagi rakyat miskin (ASKESKIN).
"Biaya perawatan dan pengobatan warga itu telah ditanggung negara yang akan disalurkan menurut prosedur tertentu," katanya kepada Antara di sela-sela kunjungan kerja Komisi IX DPR di Kabupaten Belu, Selasa (23/10/2007).
"Saya senang di Belu, terutama di Atambua ini rumah sakitnya tidak demikian. Rumah sakit di sini juga telah menyediakan 65 persen, yaitu syarat minimal, bangsal perawatannya bagi rakyat miskin. Ini tidak seperti di Kupang yang rata-rata rumah sakitnya hanya menyediakan 40 persen bangsalnya bagi rakyat miskin," katanya.
Tjiptaning yang berasal dari Fraksi PDIP kali ini memimpin kunjungan kerja Komisi IX DPR pada masa reses persidangan. Turut dalam rombongan itu Muhyidin Arubusman (F-KB), Maryamah N Besoes (F-PG), Charles S Mesang (F-PG), Mariani A Baramuli (F-PG), Soma Soemarsono (F-PDIP), EA Darodjat (F-PDIP), Eko Waluyo (F-PDIP), Machfudhoh A Ubaid (F-PPP), Suhardi Harun (F-PPP), Anita Y Gah (F-PD), Rustam Effendi (F-PAN), Varia U Anshor (F-KB), dan Ansyori Siregar (F-PKS).
Di Kabupaten Belu, mereka didampingi Bupati Belu, Joachim Lopez, Wakil Bupati Belu, Gregorius MB Fernandez, Wakil Ketua DPRD Belu, Herman Silvester, dan Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-Timor Timur Markas Besar TNI, Letnan Kolonel Infantri Hotman Hutahaean.
Dalam kunjungan itu, rombongan Komisi IX DPR mengunjungi RSUD Atambua, lokasi pemukiman transmigrasi lokal, dan Pintu Utama Lintas Batas Mota Ain.
Tjiptaning menyatakan, masyarakat juga harus semakin digugah kesadaran akan haknya sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang.
"Bahwa negara wajib melindungi warga negaranya untuk kepentingan apa pun, itulah kewajiban kita bersama untuk memberikan penyadaran itu. Sering kali akses ke sana sangat terbatas," katanya.
Dia menyatakan, pengawasan kepada aparatur pemerintah yang bertanggung jawab atas masalah kesehatan dan kesejahteraan penduduk juga sering kali luput diberikan karena sejumlah hal. Di antara penyebab itu, katanya, karena masyarakat masih merasa asing dengan penuntutan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Terhadap lokasi pemukiman transmigrasi di sekitar Desa Salore, Kecamatan Tasifeto Timur, yang dibangun atas dana pemeritah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesra, dia menyatakan kegembiraannya bahwa pembangunan lokasi transmigrasi lokal itu bisa berlangsung secara baik.
"Tetapi, masyarakat juga harus dilindungi dengan cara memberikan sertifikat hak milik tanah yang mereka tinggali kini. Dua hektare tanah olahan dan setengah hektare tanah tempat tinggal. Inilah yang bisa menjadi bumerang terhadap keberhasilan program transmigrasi di kemudian hari karena tahu-tahu masyarakat bisa tergusur di tanahnya sendiri," katanya.
Di Pintu Utama Lintas Batas Mota Ain, Tjiptaning dan rombongan melihat kesiapan operasionalisasi Pasar Internasional yang direncanakan menjadi pasar bersama masyarakat Indonesia di sekitar Atambua dengan kerabatnya dari Timor Timur.
Sejauh ini, sarana fisik pasar itu telah tersedia secara lengkap namun operasionalisasinya masih terhambat kemudahan birokrasi perdagangan internasional dari pihak Timor Timur.
Menurut Hutahaean, sebetulnya masyarakat Indonesia di Mota Ain dan sekitarnya sangat mengharapkan pasar itu bisa segera dioperasikan. "Lagipula, jika pasar itu bisa berjalan baik maka akan memudahkan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran hukum penyelundupan barang, terutama barang-barang yang disubsidi negara," katanya. (*)
"Biaya perawatan dan pengobatan warga itu telah ditanggung negara yang akan disalurkan menurut prosedur tertentu," katanya kepada Antara di sela-sela kunjungan kerja Komisi IX DPR di Kabupaten Belu, Selasa (23/10/2007).
"Saya senang di Belu, terutama di Atambua ini rumah sakitnya tidak demikian. Rumah sakit di sini juga telah menyediakan 65 persen, yaitu syarat minimal, bangsal perawatannya bagi rakyat miskin. Ini tidak seperti di Kupang yang rata-rata rumah sakitnya hanya menyediakan 40 persen bangsalnya bagi rakyat miskin," katanya.
Tjiptaning yang berasal dari Fraksi PDIP kali ini memimpin kunjungan kerja Komisi IX DPR pada masa reses persidangan. Turut dalam rombongan itu Muhyidin Arubusman (F-KB), Maryamah N Besoes (F-PG), Charles S Mesang (F-PG), Mariani A Baramuli (F-PG), Soma Soemarsono (F-PDIP), EA Darodjat (F-PDIP), Eko Waluyo (F-PDIP), Machfudhoh A Ubaid (F-PPP), Suhardi Harun (F-PPP), Anita Y Gah (F-PD), Rustam Effendi (F-PAN), Varia U Anshor (F-KB), dan Ansyori Siregar (F-PKS).
Di Kabupaten Belu, mereka didampingi Bupati Belu, Joachim Lopez, Wakil Bupati Belu, Gregorius MB Fernandez, Wakil Ketua DPRD Belu, Herman Silvester, dan Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-Timor Timur Markas Besar TNI, Letnan Kolonel Infantri Hotman Hutahaean.
Dalam kunjungan itu, rombongan Komisi IX DPR mengunjungi RSUD Atambua, lokasi pemukiman transmigrasi lokal, dan Pintu Utama Lintas Batas Mota Ain.
Tjiptaning menyatakan, masyarakat juga harus semakin digugah kesadaran akan haknya sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang.
"Bahwa negara wajib melindungi warga negaranya untuk kepentingan apa pun, itulah kewajiban kita bersama untuk memberikan penyadaran itu. Sering kali akses ke sana sangat terbatas," katanya.
Dia menyatakan, pengawasan kepada aparatur pemerintah yang bertanggung jawab atas masalah kesehatan dan kesejahteraan penduduk juga sering kali luput diberikan karena sejumlah hal. Di antara penyebab itu, katanya, karena masyarakat masih merasa asing dengan penuntutan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Terhadap lokasi pemukiman transmigrasi di sekitar Desa Salore, Kecamatan Tasifeto Timur, yang dibangun atas dana pemeritah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesra, dia menyatakan kegembiraannya bahwa pembangunan lokasi transmigrasi lokal itu bisa berlangsung secara baik.
"Tetapi, masyarakat juga harus dilindungi dengan cara memberikan sertifikat hak milik tanah yang mereka tinggali kini. Dua hektare tanah olahan dan setengah hektare tanah tempat tinggal. Inilah yang bisa menjadi bumerang terhadap keberhasilan program transmigrasi di kemudian hari karena tahu-tahu masyarakat bisa tergusur di tanahnya sendiri," katanya.
Di Pintu Utama Lintas Batas Mota Ain, Tjiptaning dan rombongan melihat kesiapan operasionalisasi Pasar Internasional yang direncanakan menjadi pasar bersama masyarakat Indonesia di sekitar Atambua dengan kerabatnya dari Timor Timur.
Sejauh ini, sarana fisik pasar itu telah tersedia secara lengkap namun operasionalisasinya masih terhambat kemudahan birokrasi perdagangan internasional dari pihak Timor Timur.
Menurut Hutahaean, sebetulnya masyarakat Indonesia di Mota Ain dan sekitarnya sangat mengharapkan pasar itu bisa segera dioperasikan. "Lagipula, jika pasar itu bisa berjalan baik maka akan memudahkan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran hukum penyelundupan barang, terutama barang-barang yang disubsidi negara," katanya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar