Oleh Petrus Damianus Afeanpah *
GAUNG reformasi yang kemudian memformat Undang-Undang UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, secara de facto telah menggugat mekanisme pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sebagai representasi rakyat berdasarkan amanat UU pemerintahan daerah sebelumnya. Karena perubahan normatif itu, maka Kepala Daerah mulai dipilih secara langsung oleh rakyat dalam bentuk paket dengan seorang Wakil Kepala Daerah terhitung sejak tahun 2004 hingga saat ini. Ternyata dalam perjalanan kepemimpinan, paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut selalu diwarnai berbagai friksi dengan aneka alasan.
Merujuk pada realitas tersebut, maka melalui tulisan ini saya mengajak pembaca sekalian untuk coba mencermati sekaligus menjawab pertanyaan tentang "mengapa paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pemilihan langsung cenderung tidak rukun dan harmonis dalam melaksanakan amanat rakyat sepanjang kepemimpinan mereka?
Apabila persoalan ketidak-harmonisan hubungan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pemilihan langsung dimaksud disoroti dari kaca mata sosiologi, terindikasi bahwa hal tersebut sedikitnya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, rendahnya komitmen dalam memposisikan diri sebagai unsur pemerintah daerah yang sesungguhnya identik dengan aturan. Artinya ketika terjadi ketimpangan karena salah satu pihak mulai bertindak di luar koridor aturan maka sejak saat itu harmonisasi hubungan paket mulai terganggu;
Kedua, dengan tahu dan mau mencaplok tugas dan kewenangan sesama paket meski disadari bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004. Artinya ketika tugas membantu diubah menjadi tugas mengambil keputusan maka dengan sendirinya keharmonisan hubungan paket akan terganjal;
Ketiga, adanya kecenderungan untuk mendoninasi perhatian dan pengakuan publik dengan berbagai cara demi tergapainya harapan dan kepentingan politik ke depan;
Keempat, kuatnya motivasi kelompok pendukung untuk merebut kekuasaan dengan melakukan upaya pembusukan dan pemfitnahan;
Kelima, pandai mengemas ketidak jujuran dengan berbagai dalih politik busuk secara laten untuk menarik perhatian demi sebuah kepentingan ekonomi politik terselubung.
Tampaknya realitas tersebut sangat relevan dengan telaahan sosiologis Durkheim tentang anomi sebagai suatu model krisis masyarakat modern yang cenderung menggiring umat manusia menjadi makluk yang keras kepala dengan karakteristik egosentrik dan individualistik yang sangat tinggi. Menurutnya, bahwa kedua karakteristik itu merupakan produk dari perubahan sosial yang cenderung memberi peluang bagi meluasnya kapitalisme.
Analisa itu kemudian lebih diperjelas bahwa rintangan utama bagi manusia modern yang memiliki naluri politik untuk memajukan diri dalam bidang ekonomi adalah egoisme dan individualisme yang berkembang sebagai ancaman terhadap kesatuan masyarakat sehingga kehidupan sosial perlahan-lahan sirna dan kehidupan moral menjadi lenyap. Akibatnya, mereka yang tak berdaya terpaksa diperhadapkan dengan berbagai depresi ekonomi yang membingungkan hingga tingkat bunuh diri, karena tidak mampu berkompetisi. Gejala-gejala tersebut dikritisi Durkheim sebagai kekurangan-kekurangan yang bersifat fenomenoistik di dalam koordinasi moral dari pelbagai kelompok pekerjaan.
Pandangan sosiologis Durkheim tersebut boleh dikatakan cukup beralasan karena bagaimana pun juga praktek politik busuk selalu berkorelasi kuat dengan kepentingan ekonomi sebagai sisi gelap dari sebuah perilaku politik. Akibatnya nurani politik seseorang demikian sulit untuk membedakan tindakan mana yang baik dan mana yang buruk sesuai norma dan etika yang wajar karena pengaruh lingkungan modern yang sangat kuat. Masyarakat tipe ini dikenal sebagai kaum fatalistis karena dicirikan oleh perilaku yang tidak bersahabat dengan hakekat moral dan etika.
Terpaut dengan situasi ketidakharmonisan hubungan antara paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam tulisan ini, mungkin perlu sedikit permenungan terhadap hasil penelitian para cendikiawan, politisi, praktisi dan kaum LSM tentang efektif tidaknya penyelenggaraan Otonomi Daerah oleh paket pilkada langsung sesuai amanat UU pemerintahan daerah terkini.
Melalui kajian terhadap hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan tersebut justeru melahirkan rekomendasi yang menganjurkan agar sebaiknya rakyat cukup memilih Kepala Daerah karena model paket justeru menimbulkan banyak persoalan yang menghambat penyelenggaraan roda pemerintahan negara sebagaimana wacana yang berkembang belakangan ini sekaligus dalam rangka membenamkan friksi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak kompromi dengan hakekat sinergitas dan harmonisasi hubungan kerja di antara keduanya.
Meski demikian, wacana serupa tentunya membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang untuk dikaji secara lebih akurat sehingga sepanjang belum terjadi perubahan diharapkan agar masing-masing pihak dapat mengendalikan diri untuk menghindari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tugas pokok dan kewenangan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Misalnya, kewenangan anggaran dan mutasi yang menjadi tugas dan kewenangan Kepala Daerah jangan diambil alih oleh Wakil Kepala Daerah atau sebaliknya tugas pengawasan jangan diambil alih oleh Kepala Daerah dan seterusnya.
Berbarengan dengan itu mungkin paket pilkada langsung perlu menyadari makna Alkitab tentang "berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah" sebagai acuan dalam menggunakan hak dan kewajiban, apakah sebagai Kepala Daerah ataukah sebagai Wakil Kepala Daerah.
Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kiranya paket Pilkada Langsung sedapat mungkin berusaha untuk menampilkan diri sebagai tokoh panutan dalam hal berpikir positif, bertindak arif dan pandai mengendalikan diri sepanjang dipercayai untuk melaksanakan amanat rakyat. Semoga! * Penulis, Asisten Tata Praja Setda TTU. Spirit NTT, 10-16 Desember 2007
Merujuk pada realitas tersebut, maka melalui tulisan ini saya mengajak pembaca sekalian untuk coba mencermati sekaligus menjawab pertanyaan tentang "mengapa paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pemilihan langsung cenderung tidak rukun dan harmonis dalam melaksanakan amanat rakyat sepanjang kepemimpinan mereka?
Apabila persoalan ketidak-harmonisan hubungan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pemilihan langsung dimaksud disoroti dari kaca mata sosiologi, terindikasi bahwa hal tersebut sedikitnya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, rendahnya komitmen dalam memposisikan diri sebagai unsur pemerintah daerah yang sesungguhnya identik dengan aturan. Artinya ketika terjadi ketimpangan karena salah satu pihak mulai bertindak di luar koridor aturan maka sejak saat itu harmonisasi hubungan paket mulai terganggu;
Kedua, dengan tahu dan mau mencaplok tugas dan kewenangan sesama paket meski disadari bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004. Artinya ketika tugas membantu diubah menjadi tugas mengambil keputusan maka dengan sendirinya keharmonisan hubungan paket akan terganjal;
Ketiga, adanya kecenderungan untuk mendoninasi perhatian dan pengakuan publik dengan berbagai cara demi tergapainya harapan dan kepentingan politik ke depan;
Keempat, kuatnya motivasi kelompok pendukung untuk merebut kekuasaan dengan melakukan upaya pembusukan dan pemfitnahan;
Kelima, pandai mengemas ketidak jujuran dengan berbagai dalih politik busuk secara laten untuk menarik perhatian demi sebuah kepentingan ekonomi politik terselubung.
Tampaknya realitas tersebut sangat relevan dengan telaahan sosiologis Durkheim tentang anomi sebagai suatu model krisis masyarakat modern yang cenderung menggiring umat manusia menjadi makluk yang keras kepala dengan karakteristik egosentrik dan individualistik yang sangat tinggi. Menurutnya, bahwa kedua karakteristik itu merupakan produk dari perubahan sosial yang cenderung memberi peluang bagi meluasnya kapitalisme.
Analisa itu kemudian lebih diperjelas bahwa rintangan utama bagi manusia modern yang memiliki naluri politik untuk memajukan diri dalam bidang ekonomi adalah egoisme dan individualisme yang berkembang sebagai ancaman terhadap kesatuan masyarakat sehingga kehidupan sosial perlahan-lahan sirna dan kehidupan moral menjadi lenyap. Akibatnya, mereka yang tak berdaya terpaksa diperhadapkan dengan berbagai depresi ekonomi yang membingungkan hingga tingkat bunuh diri, karena tidak mampu berkompetisi. Gejala-gejala tersebut dikritisi Durkheim sebagai kekurangan-kekurangan yang bersifat fenomenoistik di dalam koordinasi moral dari pelbagai kelompok pekerjaan.
Pandangan sosiologis Durkheim tersebut boleh dikatakan cukup beralasan karena bagaimana pun juga praktek politik busuk selalu berkorelasi kuat dengan kepentingan ekonomi sebagai sisi gelap dari sebuah perilaku politik. Akibatnya nurani politik seseorang demikian sulit untuk membedakan tindakan mana yang baik dan mana yang buruk sesuai norma dan etika yang wajar karena pengaruh lingkungan modern yang sangat kuat. Masyarakat tipe ini dikenal sebagai kaum fatalistis karena dicirikan oleh perilaku yang tidak bersahabat dengan hakekat moral dan etika.
Terpaut dengan situasi ketidakharmonisan hubungan antara paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam tulisan ini, mungkin perlu sedikit permenungan terhadap hasil penelitian para cendikiawan, politisi, praktisi dan kaum LSM tentang efektif tidaknya penyelenggaraan Otonomi Daerah oleh paket pilkada langsung sesuai amanat UU pemerintahan daerah terkini.
Melalui kajian terhadap hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan tersebut justeru melahirkan rekomendasi yang menganjurkan agar sebaiknya rakyat cukup memilih Kepala Daerah karena model paket justeru menimbulkan banyak persoalan yang menghambat penyelenggaraan roda pemerintahan negara sebagaimana wacana yang berkembang belakangan ini sekaligus dalam rangka membenamkan friksi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak kompromi dengan hakekat sinergitas dan harmonisasi hubungan kerja di antara keduanya.
Meski demikian, wacana serupa tentunya membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang untuk dikaji secara lebih akurat sehingga sepanjang belum terjadi perubahan diharapkan agar masing-masing pihak dapat mengendalikan diri untuk menghindari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tugas pokok dan kewenangan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Misalnya, kewenangan anggaran dan mutasi yang menjadi tugas dan kewenangan Kepala Daerah jangan diambil alih oleh Wakil Kepala Daerah atau sebaliknya tugas pengawasan jangan diambil alih oleh Kepala Daerah dan seterusnya.
Berbarengan dengan itu mungkin paket pilkada langsung perlu menyadari makna Alkitab tentang "berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah" sebagai acuan dalam menggunakan hak dan kewajiban, apakah sebagai Kepala Daerah ataukah sebagai Wakil Kepala Daerah.
Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kiranya paket Pilkada Langsung sedapat mungkin berusaha untuk menampilkan diri sebagai tokoh panutan dalam hal berpikir positif, bertindak arif dan pandai mengendalikan diri sepanjang dipercayai untuk melaksanakan amanat rakyat. Semoga! * Penulis, Asisten Tata Praja Setda TTU. Spirit NTT, 10-16 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar