Oleh Emerson Yuntho *
DIKABULKANNYA gugatan perdata Soeharto melawan majalah TIME Asia oleh Mahkamah Agung (MA), telah menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Putusan ini dinilai cukup kontroversial dan sensasional karena MA menghukum TIME Asia bersalah melakukan pencemaran nama baik dan kehormatan Soeharto sebagai mantan Presiden.
TIME Asia juga diharuskan meminta maaf melalui sejumlah media berskala nasional dan internasional serta membayar denda sebesar Rp1 triliun. Putusan MA ini bertolak belakang dengan putusan sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang justru memenangkan TIME Asia.
Secara lebih luas, putusan Kasasi MA dalam perkara Soeharto versus TIME Asia tidak hanya dinilai secara sempit sebagai kekalahan pihak TIME Asia semata, namun telah memberikan dampak serius bagi kebebasan pers dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan Kasasi MA yang menghukum pihak TIME Asia dapat menjadi 'warning' adanya ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Bagi insan pers, kebebasan atau kemerdekaan pers merupakan bagian penting atau roh dari hidup matinya pers. Kebebasan pers merupakan suatu hal yang universal, hampir semua negara di dunia mengakui dan mengatur mengenai kebebasan pers dalam hukum positif di negaranya masing-masing. Di Indonesia,kemerdekaan pers dijamin secara tegas dan lugas dalam konstitusi melalui amendemen kedua UUD 1945.
Undang-Undang Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dalam arti pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Jika terjadi masalah dengan pemberitaan media termasuk pencemaran nama baik, penyelesaian yang seharusnya digunakan adalah dengan berpedoman kepada Undang-Undang Pers, tidak didasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ataupun Perdata. Peristiwa ancaman terhadap kebebasan pers sering dilakukan dengan cara kriminalisasi pers dan gugatan perdata kepada pers.
Jumlah perkara pencemaran nama baik melalui pengadilan maupun gugatan perdata terhadap pers di Indonesia meningkat tajam dari tahun ke tahun.Dalam catatan ICW,dalam dua tahun terakhir, sudah ada 11 perkara soal pencemaran nama baik dan gugatan perdata yang dialamatkan pada media pers.Dalam putusan-putusannya, pengadilan mengesampingkan UU Pers dan mengadili berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana.
Pengadilan menganggap Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers sekadar mengatur hak jawab dan tidak mencakup semua delik pers. Muncul kekhawatiran jika putusan dalam perkara Soeharto versus TIME Asia menjadi yurisprudensi atau pedoman bagi hakim dalam menangani perkara yang menyangkut pemberitaan media, maka kebebasan pers di Indonesia menjadi terancam.
Hakim tidak lagi menggunakan Undang-Undang Pers sebagai suatu hal yang spesialis untuk menyelesaikan persoalan terkait dengan pemberitaan media, namun menggunakan mekanisme hukum perdata atau bahkan pidana. Jikakondisidemikianterjadi,tidak mustahil segera muncul korban-korban lain yang notabene merugikan insan pers. Tidak saja sekadar mengancam kebebasan pers dan kriminalisasi terhadap pekerja pers, putusan pengadilan dapat saja 'menimbulkan kebangkrutan' jika hakim pengadilan menghukum denda sangat besar yang tidak akan mungkin terbayar.
Artinya, sama saja dengan melakukan penutupan atau 'pembredelan' terhadap usaha pers. Hal lain yang perlu dicermati adalah komitmen Ketua MA Bagir Manan dalam mendukung kebebasan pers menjadi sangat diragukan. Dalam beberapa kesempatan, Bagir Manan menyatakan akan menjunjung tinggi kebebasan pers di Indonesia. Ketua MA juga pernah meminta jajaran hakim untuk menggunakan Undang-Undang Pers sebagai suatu hal yang lex spesialis terhadap penyelesaian perkara berkaitan dengan pemberitaan pers.
Bagaimanapun, putusan kasasi MA yang memenangkan perkara Soeharto harus diartikan sebagai peringatan bagi kebebasan pers dan sudah seharusnya tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Setiap ada persolan yang terkait dengan pemberitaan media,hendaknya diselesaikan dalam kerangka hukum yang berlaku yaitu dengan UU Pers dan bukan dengan jalur perdata atau bahkan pidana.
Salah satu ciri negara demokratis adalah karena adanya kebebasan pers.Dengan demikian,apabila kebebasan pers sudah terancam maka harus diartikan sebagai proses demokratisasi di negara ini juga terancam. Dampak lain dari kemenangan Soeharto atas TIME adalah mengendurkan upaya pers untuk mengungkapkan perkara korupsi yang melibatkan sejumlah pelaku baik pejabat publik maupun swasta.
Putusan Kasasi MA ini dapat menjadi suatu sindrom yang menakutkan bagi pers untuk memberitakan perkara- perkara korupsi di Indonesia. Orang-orang yang diduga kuat sebagai pelaku korupsi akan menjadikan putusan perkara Soeharto versus TIME sebagai acuan untuk mengancam dan membungkam pers.
Pers tidak lagi dapat kritis terhadap perilaku korupsi yang terjadi dan berpikir seribu kali untuk memberitakan isu korupsi maupun melakukan investigasi atau membongkar praktek korupsi. Padahal,harus diakui bahwa pers memiliki peranan yang sangat vital dalam upaya pemberantasan korupsi di negara paling korup di dunia ini.
Tidak saja kepada pers yang terkena imbasnya,kemenangan perdata Soeharto atas TIME Asia sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap langkah Kejaksaan Agung dalam mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan mengusut perkara korupsi yang melibatkan Tommy Soeharto atau kroni-kroni Soeharto.
Hal yang perlu menjadi pertanyaan adalah mengapa putusan MA mengenai perkara perdata Soeharto baru diputuskan enam tahun setelah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan bertepatan dengan langkah Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata terhadapYayasan Supersemar yang dipimpin Soeharto. Pihak pengacara dapat dipastikan akan menjadikan putusan MA ini sebagai dalil yang akan menguntungkan mantan pemimpin Orde Baru ini sekaligus mematahkan argumen Kejaksaan bahwa Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya kroni-kroninya.
Bukan tidak mungkin upaya mengadili Tommy Soeharto dalam perkara korupsi untuk yang kedua kalinya kandas di tengah jalan. Sekali lagi, putusan MA yang memenangkan gugatan Soeharto atas TIME Asia kenyataannya telah memberikan dampak yang tidak baik yaitu menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan khususnya MA, memiliki potensi mengancam kebebasan pers, dan mengendurkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. * Penulis, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch. Dikutip dari Koran Sindo. Bentara-Online. Com. Spirit NTT, 10-16 Desember 2007
TIME Asia juga diharuskan meminta maaf melalui sejumlah media berskala nasional dan internasional serta membayar denda sebesar Rp1 triliun. Putusan MA ini bertolak belakang dengan putusan sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang justru memenangkan TIME Asia.
Secara lebih luas, putusan Kasasi MA dalam perkara Soeharto versus TIME Asia tidak hanya dinilai secara sempit sebagai kekalahan pihak TIME Asia semata, namun telah memberikan dampak serius bagi kebebasan pers dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Putusan Kasasi MA yang menghukum pihak TIME Asia dapat menjadi 'warning' adanya ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Bagi insan pers, kebebasan atau kemerdekaan pers merupakan bagian penting atau roh dari hidup matinya pers. Kebebasan pers merupakan suatu hal yang universal, hampir semua negara di dunia mengakui dan mengatur mengenai kebebasan pers dalam hukum positif di negaranya masing-masing. Di Indonesia,kemerdekaan pers dijamin secara tegas dan lugas dalam konstitusi melalui amendemen kedua UUD 1945.
Undang-Undang Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dalam arti pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Jika terjadi masalah dengan pemberitaan media termasuk pencemaran nama baik, penyelesaian yang seharusnya digunakan adalah dengan berpedoman kepada Undang-Undang Pers, tidak didasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ataupun Perdata. Peristiwa ancaman terhadap kebebasan pers sering dilakukan dengan cara kriminalisasi pers dan gugatan perdata kepada pers.
Jumlah perkara pencemaran nama baik melalui pengadilan maupun gugatan perdata terhadap pers di Indonesia meningkat tajam dari tahun ke tahun.Dalam catatan ICW,dalam dua tahun terakhir, sudah ada 11 perkara soal pencemaran nama baik dan gugatan perdata yang dialamatkan pada media pers.Dalam putusan-putusannya, pengadilan mengesampingkan UU Pers dan mengadili berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana.
Pengadilan menganggap Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers sekadar mengatur hak jawab dan tidak mencakup semua delik pers. Muncul kekhawatiran jika putusan dalam perkara Soeharto versus TIME Asia menjadi yurisprudensi atau pedoman bagi hakim dalam menangani perkara yang menyangkut pemberitaan media, maka kebebasan pers di Indonesia menjadi terancam.
Hakim tidak lagi menggunakan Undang-Undang Pers sebagai suatu hal yang spesialis untuk menyelesaikan persoalan terkait dengan pemberitaan media, namun menggunakan mekanisme hukum perdata atau bahkan pidana. Jikakondisidemikianterjadi,tidak mustahil segera muncul korban-korban lain yang notabene merugikan insan pers. Tidak saja sekadar mengancam kebebasan pers dan kriminalisasi terhadap pekerja pers, putusan pengadilan dapat saja 'menimbulkan kebangkrutan' jika hakim pengadilan menghukum denda sangat besar yang tidak akan mungkin terbayar.
Artinya, sama saja dengan melakukan penutupan atau 'pembredelan' terhadap usaha pers. Hal lain yang perlu dicermati adalah komitmen Ketua MA Bagir Manan dalam mendukung kebebasan pers menjadi sangat diragukan. Dalam beberapa kesempatan, Bagir Manan menyatakan akan menjunjung tinggi kebebasan pers di Indonesia. Ketua MA juga pernah meminta jajaran hakim untuk menggunakan Undang-Undang Pers sebagai suatu hal yang lex spesialis terhadap penyelesaian perkara berkaitan dengan pemberitaan pers.
Bagaimanapun, putusan kasasi MA yang memenangkan perkara Soeharto harus diartikan sebagai peringatan bagi kebebasan pers dan sudah seharusnya tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Setiap ada persolan yang terkait dengan pemberitaan media,hendaknya diselesaikan dalam kerangka hukum yang berlaku yaitu dengan UU Pers dan bukan dengan jalur perdata atau bahkan pidana.
Salah satu ciri negara demokratis adalah karena adanya kebebasan pers.Dengan demikian,apabila kebebasan pers sudah terancam maka harus diartikan sebagai proses demokratisasi di negara ini juga terancam. Dampak lain dari kemenangan Soeharto atas TIME adalah mengendurkan upaya pers untuk mengungkapkan perkara korupsi yang melibatkan sejumlah pelaku baik pejabat publik maupun swasta.
Putusan Kasasi MA ini dapat menjadi suatu sindrom yang menakutkan bagi pers untuk memberitakan perkara- perkara korupsi di Indonesia. Orang-orang yang diduga kuat sebagai pelaku korupsi akan menjadikan putusan perkara Soeharto versus TIME sebagai acuan untuk mengancam dan membungkam pers.
Pers tidak lagi dapat kritis terhadap perilaku korupsi yang terjadi dan berpikir seribu kali untuk memberitakan isu korupsi maupun melakukan investigasi atau membongkar praktek korupsi. Padahal,harus diakui bahwa pers memiliki peranan yang sangat vital dalam upaya pemberantasan korupsi di negara paling korup di dunia ini.
Tidak saja kepada pers yang terkena imbasnya,kemenangan perdata Soeharto atas TIME Asia sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap langkah Kejaksaan Agung dalam mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan mengusut perkara korupsi yang melibatkan Tommy Soeharto atau kroni-kroni Soeharto.
Hal yang perlu menjadi pertanyaan adalah mengapa putusan MA mengenai perkara perdata Soeharto baru diputuskan enam tahun setelah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan bertepatan dengan langkah Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata terhadapYayasan Supersemar yang dipimpin Soeharto. Pihak pengacara dapat dipastikan akan menjadikan putusan MA ini sebagai dalil yang akan menguntungkan mantan pemimpin Orde Baru ini sekaligus mematahkan argumen Kejaksaan bahwa Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya kroni-kroninya.
Bukan tidak mungkin upaya mengadili Tommy Soeharto dalam perkara korupsi untuk yang kedua kalinya kandas di tengah jalan. Sekali lagi, putusan MA yang memenangkan gugatan Soeharto atas TIME Asia kenyataannya telah memberikan dampak yang tidak baik yaitu menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan khususnya MA, memiliki potensi mengancam kebebasan pers, dan mengendurkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. * Penulis, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch. Dikutip dari Koran Sindo. Bentara-Online. Com. Spirit NTT, 10-16 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar