Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tanah Itu Penuh 'Susu' dan 'Madu'


Edisi: 15 - 21 November 2010
No. 243 Tahun V, Hal: 1


PERSAWAHAN Bena. Nama yang sudah mengakrab. Tak asing di telinga. Dataran di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), itu bisa disebut sebagai 'surga' pertanian. Tanah yang penuh "susu" dan "madu."

Jika masyarakat di daerah ini menghayati secara benar akan potensi yang terdapat di kawasan ini, bukan mustahil akan memanen kesejahteraan. Persoalannya pada etos kerja. Semangat kerja keras perlu dipacu. Tanah subur, kalau etos kerja lemah, tentu jagung dan padi tidak tumbuh dengan sendirinya. Bagaimana kondisi para petani di kawasan itu?

Siang itu, Sabtu (6/11/2010), cerah dan agak panas. Namun dataran yang dijadikan lokasi persawahan ini masih lembab. Jalanan ke arah persawahan pun masih digenangi air karena sehari sebelumnya hujan deras mengguyur wilayah ini.

Beberapa petani terlihat hendak membakar rumput ilalang di kebun mereka dan sebagian lain membersihkan rumput yang tumbuh pada lahan kebun di pekarangan rumah mereka, di sepanjang jalan masuk ke Desa Linamnutu. Desa ini adalah salah satu desa yang berada di dataran persawahan Bena. Ada empat desa lagi yang juga masih dalam dataran di wilayah Amanuban Selatan itu.

Untuk sampai ke Desa Linamnutu, jika melewati lintasan jalan utama Panite-Kolbano- Boking (kurang lebih 90-km), maka kita harus menempuh jalan masuk ke desa ini sejauh sekitar 10,5 km, dengan kondisi jalan perkerasan.

Petani setempat kesulitan membakar rumput ilalang di kebun mereka sebagaimana biasa mereka lakukan setiap tahun, karena rumput masih basah dan yang lainnya masih hijau. Hujan tahun ini yang berlangsung cukup panjang membuat petani kesulitan membersihkan lahan mereka untuk ditanami.

Tahun-tahun sebelumnya, pada bulan Oktober dan November, petani mulai membersihkan kebun dengan cara membakar rumput kering. Namun tahun ini terjadi hujan yang cukup panjang mengakibatkan rumput yang dipangkas lama baru kering dan tumbuh rumput baru.

Hamparan persawahan Bena mencapai 3.500 hektar (ha). Terlihat sejumlah petani (kaum ibu) duduk santai dalam lepak (pondok kecil beratap alang yang dibangun di tengah sawah). Mereka duduk di lepak untuk mengusir burung pipit yang sering bergerombol datang memakan bulir padi yang sudah matang dan siap panen.

Dua orang petani, Deni Oematan (34) dan Yafet Sophaba (39), ketika ditemui di tengah hamparan persawahan Bena di Desa Linamnutu, Sabtu (6/11/2010), mengatakan petani di wilayah itu umumnya menanam padi jenis ciherang. Sebab padi jenis ini panenannya cukup bagus.

"Saya punya lahan dua hektar di Linamnutu, ditanami padi ciherang. Kalau kita tanam menggunakan pola tradisional maka butuh benih padi banyak. Dua hektar butuh bibit sampai 80 kg. Tapi kalau gunakan sistem atau pola sri, maka bibit yang dibutuhkan hanya sekitar lima kg dan hasilnya delapan ton gabah. Kita pernah ujicoba bersama konsultan Nippon Coi saat mengerjakan saluran teknis lahan persawahan di Bena tahun 2005. Dan saat sejumlah petani sudah menggunakan pola ini," jelas Deni dibenarkan Yafet.

Apa yang dikemukakan petani di persawahan Bena ini benar adanya. Karena untuk menanam menggunakan pola sri maka setiap titik yang ditanami dimasukan satu per satu benih padi dengan jarak/ukuran antar benih 30X30 cm. Nanti saat benih tumbuh dalam satu rumpun bisa berkembang menjadi 40 anakan per rumpun

Sementara untuk perawatan dari pola tanam seperti ini, yakni cuma perlu diatur pemberian pupuk termasuk dosisnya, dan juga penyemprotan hama tepat waktu.
"Untuk pola sri membutuhkan air minim. Hal ini berbanding terbalik dengan kebutuhan air jika menggunakan sistem tradisional. Untuk pola sri, benih setelah direndam air tiga hari maka tiga hari berikutnya areal dikeringkan (lembab). Air masuk saat proses pembuahan pada usia 60 hari. Padi bisa dipanen pada usia 90 hari," jelas dua patani ini.

Jika petani menggunakan pola tanam secara tradisional, hal ini membuat daya kembang padi dalam satu rumpun sangat minim. "Misalnya bibit ditanami 5 butir maka tanaman padi bisa berkembang 10 atau 17 rumpun. Namun tujuh di antaranya tidak akan berbulir. Dan hasil panen gabah cuma tiga ton," kata Yavet.

Biaya pengolahan yang dikeluarkan petani untuk setiap hektar lahan padi sampai panen mencapai Rp 4,5 juta. Sedangkan pendapatan dari setiap hektar lahan padi mencapai Rp 10,5 juta.

Petani di dataran persawahan Bena juga memiliki kiat agar tanaman padi bisa mereka tumbuh bagus melalui sistem pemupukan yang benar. Pupuk yang dibutuhkan untuk tanaman padi, yakni jenis KCL, urea dan SP-36.
Kebutuhan pupuk untuk satu hektar lahan mencapai 12-15 karung ukuran 50 kg. Harga 1

karung pupuk KCL Rp 230 ribu, sekarung urea Rp 81 ribu ditambah ongkos angkut Rp 90 ribu, dan pupuk SP-36 Rp 110 ribu/karung diambah ongkos angkut Rp 120 ribu. Sementara hasil panen per hektar bisa mencapai 125 karung gabah ukuran 50 kg, atau setara 3 ton beras gilingan.

Apa yang tergambar dari roda kehidupan petani di dataran persawahan Bena ini boleh dikatakan daerah ini merupakan tanah terjanji yang sangat menjanjikan apabila potensi pertanian di wilayah ini dikelolah secara optimal dan profesional.
(ferry ndoen)

Tidak ada komentar: