Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sekolah 'berhati ibu'

Oleh Fidel Hardjo *, Spirit NTT, 18 - 24 Agustus 2008

KISAH bunuh diri (suicide) Adriana Kambida Nendir, siswi kelas 3 Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Waingapu, Sumba Timur (Pos Kupang, 18/7/2008) menghentak.

Ia menambah deretan peserta didik yang mengambil jalan tragis ini. Sayangnya, kita tidak pernah memosisikan persoalan ini dalam bingkai refleksi, hal mana menjadi latar belakang tulisan ini.

Lingkaran kemiskinan
Kisah bunuh diri Andriana, yang ujung-ujungnya adalah kemiskinan. Realitas kemiskinan yang sudah mengakar telah menyalibkan idealisme anak-anak sejak dini. Sejak kecil, anak-anak memikul beban warisan kemiskinan keluarga. Dalam kondisi kemiskinan, anak 'terpaksa disekolahkan. Orangtua yakin setidaknya pendidikan akan mengubah kondisi mereka. Karena itu, rotan tidak ada, akar pun jadi: anak disekolahkan.

Harapan orangtua itu, kerap menjadi sebuah 'pemaksaan' bagi anak-anak. Anak-anak harus naik kelas atau lulus ujian. Memang, kadang harapan orangtua itu, menjadi pemacu bagi anak-anak untuk belajar keras. Dan, sebagian besar anak-anak mengalami proses 'pemaksaan' itu dan banyak berhasil.

Namun, lain cerita dengan kisah Andriana. Tidak lulus ujian dua kali adalah satu pukulan besar, yang sulit mengurung keinginanya mebunuh diri secara tragis. Merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan orangtua dan keluarga plus rasa malu.

Rasa malu dan bersalah itu berkaitan dengan ôrasaö tidak tega membayar keringat orangtuanya yang miskin, dengan tidak lulus ujian akhir. Sekalipun, ia sudah berjuang sekemampuannya. Dengan tidak lulus ujian, maka impian menolong orangtua pun pupus. Apalah, artinya hidup kalau hanya gagal dan gagal. Tidak mau gagal untuk ketiga kalinya.

Kondisi gagal yang taktertolong ini, telah menyeret Andriana kepada rasa pupusnya harapan (feeling of hopelessness), termasuk harapan untuk hidup. Hidup terasa sulit dipertahankan, apalagi menikmati hidup seperti kerinduan Chairil Anwar: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Hidupnya dikubur pagi-pagi lantas tidak mampu memikul harapan orangtuanya, untuk mengubah kemiskinan keluarga.

Akhirnya, kemiskinan keluarga berangsur-angsur menjadi virus yang mematikan. Virus yang memangkas harga diri (feelings of worthlessness). Andriana merasa diri tak bernilai, dan lebih menyerupai 'sampah yang menyesakkan' (being of a waste space). Maka, dengan mata gelap, ia memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Dengannya kita sadar, implikasi konfliktual kemiskinan keluarga itu, bukan hanya meregenerasi kemiskinan dari keluarga ke keluarga tetapi juga menghadirkan wajah generasi muda yang depresi, frustasi, dan doyan bunuh diri.

Berhati Ibu
Semoga kisah Andriana menjadi kisah terakhir menciderai wajah pendidikan NTT. Pertanyaanya adalah bisakah sekolah-sekolah kita, membangun kultur pendidikan yang berhati ibu? Peran sekolah, bukan hanya sebagai institusi kognitis yang mencetak anak didik, dengan formulasi kritis-pragmatis (know how dan know why) untuk melahirkan generasi bangsa yang lebih cerdas, pandai, dan berbudi pekerti.
Itu tidak cukup. Tanggung jawab sekolah yang paling luhur adalah menjadi ibu, duty of care bagi peserta didik. Ibu (baca: almamater) yang mencinta, mengandung, melahirkan, memelihara, dan membesarkan peserta didik (Paula A Treichler, 1985).
Pertama, hendaknya sekolah-sekolah kita memrioritas peran ibu yang ringan tangan menolong (help) bagi peserta didik. Sentuhan tangan seorang ibu di tengah kondisi ke-helplessness-an (gagal) perserta didik merupakan upaya mendongkrak potensi kehidupan (zest of living) yang kian sulit dipertahankan akibat hentakan kemiskinan yang menukik.

Sekolah semestinya menjadi ruang kehidupan di mana peserta didik merasa at home, dilindungi dan ditolong (Nelson, 2000) dengan dibentuknya 'wadah solidaritas' sekolah untuk membantu anak-anak, yang nota bene kurang mampu baik kemampuan otak maupun finansial di sekolah. Apa itu bisa? Hanya orang yang tidak pernah mencoba adalah orang gagal.

Kedua, sekolah menjadi ibu yang selalu memberi hope kepada anak didik. Peserta didik yang sedang mengalami situasi helplessness (tak tertolong) akan sangat rentan merasa diri hoplessness (putus asa). Keputusasaan yang sudah terpatologis akan mudah melahirkan rasa diri worthlessness ( tak bernilai).

Pada level ini, mereka merasa diri sebagai sampah, yang dibuang, dpinggirkan dan harus dimusnahkan. Di sini, sekolah mengambil inisiatip untuk memberi harapan hidup yang lebih realistik dan idealistik dengan mengaktifkan tim konseling profesional di sekolah. Yang penting, team konseling itu bukan hanya muncul saat berita kelulusan.

Oleh sebab itu, sekolah perlu mensoalisasikan tujuan dan manfaat konseling kepada peserta didik sejak awal masuk sekolah, agar stereotipe buruk ruang konseling adalah ruang anak "bermasalah" dapat dihindari dan anak membiasakan diri men-curhat-kan persoalan mereka. Sebaiknya juga, konselor sekolah tidak perlu mengangkang dua jabatan mengajar sekaligus konselor. Konselor terfokus dengan pekerjaan pembinaan psikologis anak-anak.

Ketiga, motivational theory (Pintrich & Schunk, 1996), peran sekolah adalah menjadi ibu yang memotivasi dan membangkitkan self-confidence anak didik. Kondisi worthlessness peserta didik yang terlampau berat akan sangat gampang jatuh pada pilihan membunuh diri (Durkheim, Suicide,1897).

Sebagai langkah preventif, para pendidik perlu melakukan pendampingan kreatif-psikologis secara personal kepada anak didik. Banyak peserta didik ternyata berhasil pada dasarnya bukan karena 'cakepnya' metodologis pengajaran, tapi soal kedekatan dan pendekatan guru.

Kedekatan itulah yang membuat anak-anak sekolah merasa bernilai dan memutuskan untuk bersahabat, berkawan, mengenang, bahkan pada level yang paling tinggi adalah mencinta sosok guru mereka.

Dengan pendekatan kreatif-psikologis ini, anak-anak merasa diri didengar dan dibela terutama saat-saat kritis dalam lingkaran setan helplessness, hopelessness, dan worthlessness terutama akibat kegagalan mengubah kemiskinan keluarga.
Rest in Peace, Andriana! Doakan kami yang masih mengembara di dunia fana ini.

* Penulis, Sarjana Filsafat Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila/ntt online)


Tidak ada komentar: