Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Quo vadis pendidikan IPS di Indonesia

Spirit NTT, 2-15 Juni 2008

PROF. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir sekitar 60 persen guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS.

Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA.

Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan. Misalnya, kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi, dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful). Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya.

Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful). Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairah dan bersungguh-sungguh siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri guru lebih mendominasi siswa (teacher centered). Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani.

Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah. Dalam pertemuan kelas tidak mengagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan
***
Pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education."

PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti: antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam.

Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan
PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).

Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah

PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.

Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.
Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.

Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.

Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.

Sanggupkah guru-guru PIPS, yang sebagian terbesar tidak berlatar belakang PIPS di berbagai jenjang dan jenis pendidikan mengaplikasikannya secara praksis? Waktu dan mereka sendirilah yang akan membuktikannya. (arief mangkoesapoetra)




Tidak ada komentar: