Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mengenal standar penamaan orang Flores Timur

Spirit NTT 3-9 November 2007

Nama itu pertanda. Nomen est omen, kata pepatah Latin. Shakespiere: what's in a name!

SAYA kira, orang Indonesia rata-rata menganut prinsip Latin itu tadi: nama itu pertanda. Ada artinya. Ada tata cara, ada aturan mainnya. Tidak asal-asalan memberi nama tertentu kepada anak yang baru lahir!
Begitulah, maka cara orang Jawa menamakan anaknya berbeda dengan orang Batak, Padang, Dayak, Makassar, Flores, dan seterusnya. Disesuaikan dengan tradisi atau adat di daerahnya masing-masing. Orang Jawa cenderung menamakan anaknya seindah mungkin, berisi doa atau harapan yang baik-baik tentang si anak.
Arif Budiman, agar anaknya arif dan budiman. Setyawati, anak agar setia. Sugiharto, kaya harta. Orang Jawa yang suka wayang kulit atau kejawen cenderung memilih nama-nama tokoh wayang untuk anaknya. Yang Islam santri lazimnya pilih nama berbau Arab atau Timur Tengah, mengadopsi nama nabi-nabi atau para sahabat nabi.
Bagaimana dengan Flores, Solor, Lembata, Adonara?
Prinsipnya sama dengan di tempat lain. Tempo doeloe nama-nama orang Flores, yang belum makan sekolah, itu hanya satu kata. Misalnya, Kopong, Payong, Kia, Laba, Terong, Deram, Bengan, Lipat, Ola, Kotak dan seterusnya. Setelah agama Katolik dan Islam masuk, cara pemberian nama pun mengalami penyesuaian di sana-sini.
Nama-nama asli Flores dipertahankan, namun ditambah dengan unsur Katolik (atau Islam), plus unsur fam (family name, semacam marga di Batak). Nomen est omen, karena itu, sangat kentara di dalam nama-nama orang Flores.
Nama lengkap saya LAMBERTUS LUSI HUREK. Lambertus jelas nama permandian (baptist name), Lusi nama asli Lembata, yang dipetik dari kakek saya dari pihak ibu; Hurek adalah nama fam (keluarga). Saya anak pertama, adik saya yang tiga orang pun pakai pola yang sama: Vincentia Siri Hurek, Ernestina Siba Hurek, Christofora Tuto Hurek. Dengan melihat nama saja, orang bisa langsung tahu dari kampung mana saya berasal, orang tuanya siapa, dan seterusnya. Tentu identifikasi ini tidak mungkin dilakukan untuk orang
Jawa yang tidak punya tradisi trinomial nomenclature seperti kami di Flores Timur atau Nusa Tenggara Timur umumnya.
Bagaimana cara menentukan nama permandian? Gampang-gampang sulit. Biasanya, terserah pada ayah-ibu si bayi. Dengan catatan, Gereja Katolik di Indonesia sejak zaman Belanda menggunakan tata nama Latin untuk santo/santa ditandai dengan akhir us: Robertus, Lambertus, Heribertus, Yohanes, Gregorius, Yohanes, yakobus, Bonefasius. Jadi, akan 'aneh' kalau orang Flores menggunakan nama baptis berbau Inggris/Amerika seperti John, Gregory, James, David dan seterusnya.
Nama-nama santo/santa pelindung ini dimaksudkan sebagai teladan bagi si anak. Santo/santa itu punya akhlak dan kejuangan yang patut diteladani si kanak-kanak yang baru dipermandikan itu.
Kadang-kadang orang tua atau pastor bingung menentukan nama baptis. Maka, biasanya diajurkan mengunakan nama santo/santa yang diperingati Gereja Katolik pada saat si bayi lahir. Bagaimana kalau anaknya perempuan, sementara hari itu peringatan santa (pria)? Gampang.
Sesuaikan saja namanya: Paulus jadi Paula, Dominikus jadi Dominika, Yohanes jadi Yohana. Nama tengah (middle name), yang diambil dari nama asli Flores/Lembata, bisa dari keluarga ayah atau ibu, tergantung kesepakatan. Dianjurkan memakai nama kakek/nenek yang sudah meninggal untuk mengenang jasa-jasa dan keberadaan mereka.
Hidup itu, bagi adat Flores, ibarat roda atau siklus yang terus berputar. Masa kini tak bisa lepas dari masa lalu, dan seterusnya. Karena itu, nama tengah ini cenderung berulang dan banyak kesamaan. Bukankah nama-nama orang lama itu sangat khas, berkisar ke itu-itu saja?
Tentu saja, nama resmi yang tiga/empat kata ini kelewat panjang dan tidak praktis sebagai nama panggilan (nickname). Di mana-mana nama panggilan harus singkat: dua suku kata, bahkan satu. Di Flores pun ada kebiasaan orang tua untuk mencari nama panggilan untuk anaknya: pendek, sederhana, tapi tetap mengacu pada nama panjang tadi.
Agustinus Boli Wuwur bisa dipanggil Agus, Tinus, Boli, Gusti atau apa saja. Saya, Lambertus Lusi Hurek, dihadiahi nama panggilan BERNIE oleh bapa dan mama saya. Kadang kala nama panggilan ini 'jauh' dari nama asli yang panjang-panjang itu.
Jangan heran, teman-teman saya di Jawa selalu bingung ketika harus memanggil nama saya: kadang Lambertus, kadang Hurek, kadang Lusi. Kalau bertemu orang Flores, saya pasti disapa Lambert, ketemu keluarga dekat Bernie, di kantor atau tempat kerja Hurek. Mereka tidak tahu bahwa yang pakai nama Hurek itu sangat buaanyaaaak.
Pola penamaan ini pun berlaku untuk orang Flores yang beragama Islam. Paman saya, takmir masjid di kampung, misalnya bernama Muhammad Kotak Hurek. Paman satu lagi (almarhum) bekas kapten kapal laut, namanya Hasan Hada Hurek. Apa pun agamanya, pola penamaan ini tetap sama saja.
Jangan heran, nama orang-orang Islam asli Flores pasti ada unsur Arab (Muhammad, Abdullah, Mustafa, Hasan).
Kini, ketika orang Flores makin tersebar ke berbagai daerah, terpengaruh dengan budaya lain, standar penamaan pun tidak seketat dulu. Jangan heran kalau ada anak muda Flores, kulit gelap, rambut ikal, namanya Gatot Prasetyo! (lambertus l hurek)

Tidak ada komentar: