Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

"Gugur bunga' dan membaiknya harga mete Flotim

Spirit NTT, 25-31 Agustus 2008

DUA anak kecil berlarian menuju pohon mete ketika hempasan angin kencang menerpa pepohonan yang lebat buahnya itu. Target dua anak sepantaran siswa sekolah dasar itu sudah pasti, memunguti buah mete yang berjatuhan karena diterpa angin kencang.

Beberapa anak lainnya malah membawa galah untuk menyolok
mete, buah beraroma wangi ketika ranum dan menampakkan warna kekuningan.

Aroma buah mete tak jauh beda dengan harumnya buah nangka jika sudah matang di pohon. Meskipun aromanya terasa begitu menggiurkan, tak satu pun dari anak-anak tersebut yang memakannya.

Mereka hanya mengambili biji mete, yang menonjol ke luar dari bagian bawah buah itu. Buahnya yang beraroma wangi dibiarkan begitu saja tergolek di sekitar sekitar pohonnya.
Kini, giliran seorang bapak berusia sekitar 60-an tahun yang mengumpulkan buah yang tersia-sia tersebut. Bagi sebagian masyarakat Witihama, Pulau Adonara, Flores Timur, buah mete itu merupakan bahan makanan untuk babi yang mereka ternak.
Untuk memanfaatkan buah mete yang tersia-sia, Pemerintah Kabupaten Flores Timur sudah membangun pabrik jus mete. Namun industri tersebut tidak lagi beroperasi. Sehingga buah mete yang harum itu hanya bisa dimanfaatkan untuk makanan babi maupun kambing.

Sedangkan pada pertengahan Agustus itu, Desa Lamablawa, Kecamatan Witihama terlihat lebih meriah dengan aksi anak-anak yang mempreteli biji mete dari buahnya.

Anak-anak desa begitu gairah mengumpulkan biji mete karena membaiknya harga biji mete di tingkat pedagang pengecer, dari Rp 6.000 per kg menjadi Rp 10.000.

Hampir di semua halaman rumah serta tanah-kosong atau ladang di seluruh wilayah Kabupaten Flores Timur yang meliputi Pulau Adonara, Solor, dan Flores Timur daratan dipenuhi pohon jambu mete.

Keadaan itu merupakan haasil dari gerakan menanam komoditas tersebut tahun 1990-an pada jaman pemerintahan Gubernur NTT Hendrikus Fernandez.

Ketika itu gubernur meluncurkan program pembangunan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dengan menanam satu juta pohon.

Wilayah Kabupaten Flores Timur dengan pulau-pulaunya yang sebelumnya terkenal kering dan gersang, berubah jadi hijau berkat pohon jambu mete. Kini kawasan itu seakan menjelma jadi hutan mete.

Membaiknya harga biji mete tidak hanya menggairahkan anak-anak desa, tapi juga para petani yang telah menjadikan jambu mete sebagai sumber penghasilan utama bagi kesejahteraan keluarga, selain kelapa dan hasil perkebunan lainnya.

"Satu pohon jambu mete menghasilkan puluhan kilogram biji mete," kata Rumat Asan (40), petani asal Desa Pledo di Kecamatan Witihama. Jika dikonversi dengan harga Rp 10.000 per kg, maka satu pohon sudah menghasilkan ratusan ribu rupiah. Pria lulusan SMEA Swastisari Kupang, 1987, itu mengatakan, sebanyak 200 biji mete beratnya setara dengan satu kilogram. "Takaran ini tidak meleset," katanya dalam suatu percakapan dengan Antara ketika menggambarkan tentang takaran berat bersih biji mete tersebut.

Rumat Asan, yang mengaku memiliki puluhan pohon mete yang ia tanam selang-seling di areal seluas sekitar 1.000 meter persegi, itu mengatakan, mete memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya.

Para petani di Kabupaten Flores Timur begitu gairah untuk menanam jambu mete karena komoditas tersebut tidak rumit dalam perawatan setelah ditanam.

"Jika tanaman ini sudah hidup pada usia tanam lebih dari tiga bulan maka tingkat harapan hidupnya menjadi sangat besar. Dua atau tiga tahun kemudian, tanaman itu sudah berbuah dan menghasilkan uang," kata Jeremias Dewa Raya (58), petani asal Desa Lamablawa.

Namun, ia mengaku sangat terpukul karena dalam beberapa tahun terakhir ini, jambu mete miliknya serta beberapa petani lainnya di wilayah perladangan Watoose, Pukatukan, dan Waitaga hingga Meko di belahan timur Pulau Adonara, tidak lagi berbuah.

"Bunganya memang lebat sekali, tetapi setelah itu berguguran kemudian mengering. Apakah karena iklimnya panas sehingga membuat bunga mete mengering, kami tidak tahu," katanya dalam nada pasrah.

Maman Tokan (53), petani asal Desa Oringbele yang berkebun di daerah Belan, juga menyatakan keherannya dengan fenomena keringnya bunga mete tersebut.

"Selepas dari daerah Belan seterusnya ke wilayah pertanian Watoose, Pukatukan, Waitaga hingga Meko, semua tanaman jambu mete semua mengalami hal yang sama, sedang di daerah lain di Pulau Adonara dan Flores Timur tidak mengalami hal seperti itu," ujarnya.

Di pekarangan rumah yang ada dalam wilayah Kecamatan Witihama, misalnya, tanaman mete malah berbuah sangat lebat hampir membungkus dan menutup seluruh dedaunan yang ada pada tangkai tersebut, katanya mencontohkan.

Dewa Raya mengatakan, ia bersama beberapa petani berhasrat untuk memangkas semua tanaman mete yang ada agar bisa memunculkan tunas baru yang diharapkan bisa menghasilkan buah seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

"Namun, niat kami pupus seketika karena tanaman mete yang ada selalu memunculkan bunga yang lebat ketika tibanya musim mete berbunga antara bulan Mei dan Juni setiap tahunnya. Kami benar-benar bingung," katanya.

Kia Nuba (69), petani, mengharapkan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Flores Timur segera melakukan penelitian terhadap fenomena "gugur bunga mete" tersebut agar bisa mencari jalan keluar atas krisis yang dihadapi para petani mete di Adonara Timur.

"Kami tidak bisa berbuat banyak jika bunga-bunga mete itu tidak menghasilkan buah. Kami hanya berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah pemecahannya, karena hampir sebagian besar tanaman mete itu, anakannya datang dari pemerintah," ujarnya.

Tanaman mete telah memacu para petani di Flores Timur untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus mencegah efek domino budaya masyarakat Flores Timur yang suka merantau ke tanah Malaysia untuk mencari nafkah.

Fenomena "gugur bunga mete" tersebut merisaukan hati sebagian petani di Adonara Timur ketika harga komoditi "emas hijau" itu mulai membaik di tingkat pedagang pengecer. (lorensius molan/ant)



Tidak ada komentar: