Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kita masih bisa tanam jagung!

Spirit NTT, 20-26 Oktober 2008

HARI
ini, media-media utama Indonesia masih asyik membicarakan krisis finansial global dan dampakanya terhadap perekonomian Indonesia. Situs kantor berita Antara mengangkat artikel menarik mengkritisi sistem perekonomian neoliberalis. Sang penulis artikel menilai neoliberalis telah mati. Krisis ekonomi yang mendera di Amerika Serikat saat ini menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invisible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand". Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Tapi kini, ternyata pasar bebas itu tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Pertumbuhan ekonomi AS malah jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand", tangan-tangan tersembunyi.

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan. Di depan Kongres, Bush lantang menyatakan, "Kita harus bertindak!"

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.
Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Dengan demikian, pemerintah Bush sejatinya telah mengkhinati liberalisasi ekonomi yang selalu dipuja-puja oleh negaranya. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Sungguh ironis memang, Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Sementara itu, menanggapi penutupan sementara pasar modal Indonesia oleh pemerintah, situ Jawapos mengusung opini menarik menyikapi hal itu. Dahlan Iskan sang penulis menilai tepat langkah yang diambil pemerintah Indonesia itu. Karena jika terlambat sedikit, situasi bisa lebih kacau. Inilah saatnya pemerintah mendahulukan nasib bangsa sendiri. Kita tahu, perusahaan asing tengah memerlukan uang untuk menutup lubang mereka di negeri masing-masing. Karena itu, mereka perlu uang cepat. Salah satu caranya adalah menjual apa saja yang dimiliki, termasuk yang di Indonesia. Dan, yang paling cepat bisa dijual adalah saham di bursa.

Sebegitu banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan harga saham di Bursa Efek Indonesia kemarin jatuh 10 persen. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Sebenarnya sekaranglah saatnya membeli kembali saham Indosat, Telkomsel, atau apa pun, tapi kita belum cukup kaya untuk melakukan itu. Penutupan sementara bursa itu juga penting untuk mengamankan perusahaan-perusahaan nasional kita. Yakni, perusahaan yang terlibat utang besar di luar negeri yang jaminannya berupa saham.
Kini negara yang paling mempertuhankan pasar bebas pun hanya berpikir menyelamatkan negara masing-masing. Apalagi, negara yang masih miskin seperti Indonesia. Namun demikian, pemerintah Indonesia masih optimis, penduduk Indonesia cukup besar untuk bisa menjadi pasar sendiri. Meminjam istilah Dahlan Iskan sang penulis opini, "Kita masih bisa menanam jagung!" (indonesian radio 2008)




Tidak ada komentar: