Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

IQ dan ukuran kecerdasan anak

Oleh Johanes Hani *, Spirit NTTm 23 - 30 Juni 2008

BANYAK yang percaya bahwa bila seseorang mempunyai IQ tinggi, ia tergolong anak yang cerdas. Dengan kecerdasannya ia diyakini akan sukses dalam hidup. Karena itu, pengukuran IQ sejak lama menjadi salah satu ukuran terpenting dalam menentukan kemungkinan sukses seseorang. Bahkan untuk menentukan kelas unggul dalam sekolah formal pengukuran IQ menjadi satu-satunya jalan. Hasilnya, jika IQ seseorang di atas rata-rata dikelompokkan dalam satu kelas yang selanjutnya dijadikan sebagai pilot project kelas unggulan (kelas akselerasi).

Pertanyaan yang muncul adalah seberapa sukses anak-anak yang tergolong dalam kelas unggulan di masyarakat? Dalam kenyataannya, banyak orang ber-IQ tinggi belum tentu sukses dan belum tentu hidup bahagia. Hasil analisis May Lwin, dkk (2003) misalnya mengemukakan contoh orang-orang yang tidak unggul secara akademis, tetapi akhirnya sangat berhasil dalam bisnis yang mereka lakukan. Sebut saja nama-nama seperti : Bill Gates, Si Wong Hoo, Sylvester Stallone, Tiger Woods, dan Richard Branson. Lalu apa yang mendasari seseorang disebut cerdas?
Howard Gardner mengusulkan dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intellegences (1983), bahwa banyak sekali kemampuan manusia yang kiranya dapat memasukkan dalam pengertiannya tentang intelegensi.

Hasil penelitian Gardner dan kemudian dikenal tujuh macam kecerdasan yang dimiliki manusia. Namun dalam bukunya Intellgence Reframed (2000), Gardner menambah dua lagi menjadi sembilan kecerdasan. Kecerdasan-kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Inteligensi linguistic (linguistic intelligence), 2) inteligensi matematis-logis (logical-mathematical intelligence), 3) inteligensi ruang (spatial intelligence), 4) inteligensi kinestetis-badani (bodily-kinesthetice), 5) inteligensi musical (musical intelligence), 6) inteligensi interpersonal (interpersonal intelligence), 7) inteligensi intrapersonal (intrapersonal intelligence), 8) inteligensi lingkungan/naturalis (naturalist intelligence), dan 9) inteligensi eksistensial (existential intelligence).

Seseorang dikatakan cerdas setidak-tidaknya mendapat nilai yang tinggi dalam sebagian besar dari berbagai kecerdasan ganda tersebut. Menurut analisis May Lwin dkk (2003) meskipun sangat jarang seseorang untuk unggul dalam berbagai kecerdasan yang ada, dapat dilihat bahwa untuk menuju ke suatu kehidupan yang berhasil, kita harus mencapai nilai yang tinggi paling sedikit untuk empat sampai lima di antara kecerdasan yang dikemukakan tersebut. Hasil akademis dan tes IQ merupakan prediktor yang lemah terhadap kecerdasan yang sebenarnya, karena keduanya hanya mengukur kemampuan linguistic-verbal dan logis-matematis seseorang. Jadi ukuran dari individu yang berhasil adalah bahwa mereka memiliki perpaduan yang kuat dan paling sedikit empat sampai lima kecerdasan yang dapat kita miliki.

Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Rumusan ini sangat jelas bahwa inteligensi tidak identik dengan tes IQ. Inteligensi memuat kemampuan untuk memecahkan persoalan yang nyata dalam situasi yang bermacam-macam. Tekanan pada "persoalan nyata" sangat penting bagi Gardner, karena seseorang baru sungguh berinteligensi tinggi apabila dapat menyelesaikan persoalan dalam hidup yang nyata, bukan hanya dalam teori. Semakin tinggi inteligensi seseorang bila ia dapat memecahkan persoalan dalam hidup nyata dan situasi yang bermacam-macam, situasi hidup yang sungguh kompleks.

Bagaimana mengembangkan kecerdasan?
Banyak di antara kita yang telah dikondisikan untuk meyakini bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang dikaruniakan kepada kita atau yang tidak kita miliki dan bahwa beberapa orang yang dilahirkan berbakat musik sedangkan yang tidak peka terhadap musik namun memperhatikan bakat yang luar biasa dalam bidang matematika. Tapi hasil penilitian di tahun 1954, membuktikan suatu bagian besar dari kecerdasan seseorang dibina melalui latihan.

Dengan kata lain jika kita tidak dilahirkan dengan bakat matematika, melalui latihan dan belajar kita dapat mengembangkan kemampuan untuk mengerjakan matematika pada tingkat kecerdasan yang tinggi. Sebagai contoh kasus, Aaron Stem, orang New York memutuskan untuk memberikan lingkungan yang paling memberikan dorongan bagi anak perempuannya bernama Edith. Dilahirkan Aaron biasa memainkan musik klasik baginya, berbicara kepadanya hanya dalam bahasa orang dewasa dan mengajarkannya banyak kata baru. Setiap hari menggunakan kartu bergambar. Sebagai hasil dari semua stimulasi Aaron, Edith dapat berbicara dalam kalimat lengkap sebelum berumur satu tahun. Pada umur lima tahun, Edith telah membaca sumua jilid Encyclopedia Britanica. Pada umur 12 tahun Edith diterima di sebuah perguruan tinggi dan pada umur 15 tahun mengajarkan metemtika di Michigan State University.

Ini membuktikan bahwa kecerdasan bukan karunia/bawaan semata, melainkan berkat latihan dan stimulasi yang dialaminya. Dengan pemberian stimulasi yang terus menerus, niscaya kecerdasan akan makin terasa, sehingga pada saatnya benar-benar menguasai bidang yang dilatihkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 0 - 4 tahun perkembangan kecerdasan anak mencapai 50 persen, pada usia hingg 8 tahun mencapai 80 persen, dan pada usia hingga 18 tahun mencapai 100 persen. Jadi stimulasi pada usia dini sangatlah penting.

Secara umum inteligensi ganda yang belum berkembang dapat dibantu menjadi lebih baik lewat pendidikan. Dengan memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, segala harapan serta potensi anak akan berkembang secara optimal. Dalam konvensi hak anak dinyatakan bahwa : "all children and young people of the world, with their individual strengths anda weaknesses, with their hopes and expectations, have the right to an education. It is not our education system that has the right to certain type of children. Therefore, it is the school system of a country that must be adjusted to meet tha needs of all its children." (artinya: semua anak dan remaja di dunia ini, dengan berbagai kekuatan dan kelemahannya, serta dengan berbagai tujuan dan harapannya berhak atas pendidikan. Dalam system pendidikan kita belum memberikan perhatian khusus kepada anak. Karena itu, system pendidikan suatu Negara harus mengakomodir seluruh kebutuhan belajar anak).

Haggerty (dalam Suparno, 2004) menggungkapkan beberapa prinsip untuk membantu mengembangkan inteligensi ganda pada seseorang, sebagai berikut:
1. Pendidikan harus memperhatikan semua kemampuan intelektual
2. Pendidikan harusnya individual. Pendidikan harusnya lebih personal, dengan memperhatikan kelebihan setiap orang (baca: siswa).
3. Pendidikan harus menyemangati seseorang (siswa) untuk dapat menentukan tujuan program belajar. Pembelajaran perlu diberi kebebasan untuk menggunakan cara untuk kerja berdasarkan minat mereka.
4. Sekolah harus menyediakan fasilitas dan sarana yang dapat dipergunakan oleh pembelajar untuk melatih kemampuan intelektul mereka berdasarkan intelegensi ganda.
5. Evaluasi belajar harus lebih kontekstual dan bukan tes tertulis . Evaluasi harus berupa pengalaman lapangan langsung dan dapat diamati bagaimana performan pembelajaran.
6. Pendidikan sebaiknya tidak dibatasi dalam gedung sekolah. Pendidikan juga dilaksanakan di luar sekolah, lewat masyarakat, kegiatan ekstra, kontak dengan orang luar.

Teori inteligensi ganda yang dikemukakan oleh Gardner sangat jelas memberikan alternative kepada pendidik atau pemerhati pendidikan anak, agar dalam mengajarkan suatu materi lebih bervariasi, bukan hanya berdasarkan kecerdasan matematis-logis atau bahasa saja. Penting untuk dipahami, karena kita berhadapan dengan anak yang memiliki perbedaan kecerdasan. Sadar bahwa setiap anak memiliki kemampuan dengan kecepatan yang berbeda. Setiap anak adalah individu yang unik dengan ciri-ciri yang tidak sama, tetapi memiliki potensi yang tidak terbatas untuk belajar. Mulailah dengan belajar memahami kecerdasan anak, pahami apa yang diinginkan oleh anak. Benar kata Khahlil Gibran, "Anak-anakmu bukan kepunyaanmu. Ia lahir melaluimu, tapi bukan daripadamu. Berikanlah apa yang mereka inginkan, dan bukan apa yang engkau inginkan."


* Penulis, Pamong Belajar UPTD PKB NTT.
Alumnus Program Pascasarjana UNY.



Tidak ada komentar: