Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Revitalisasi reformasi birokrasi

Oleh Dedi Suparjo *
Spirit NTT, 7-13 April 2008

KESULITAN yang paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan Bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk berupaya merivatilisasi birokrasi.
Bahkan birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa dewasa ini. Jika persoalan ini terus terjadi, kita sebagai dari elemen bangsa jangan terlalu berharap akan segera mengentaskan krisis berkepanjangan yang terjadi.


Tentu kita patut berbangga dengan proyek percontohan revitalisasi reformasi remunerasi yang dilakukan olen menteri keuangan dengan berbagai catatan kritisnya. Jika proyek ini terus dilaksanakan menurut hemat penulis akan menjadi sebuah langkah awal untuk memulai reformasi birokrasi dalam skala dan agenda yang lebih luas kedepan.
Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua selaku bagian dari elemn bangsa mengapa sangat sulit untuk melakukan revitalisasi reformasi dalam birokrasi di negeri kita ini? Politik birokrasi seperti apa yang menghambat dan mendorongnya?
Penulis berangkat dari persfektif sejarah (jas merah) bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat akan kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulisasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa dari pada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, kita masih banyak melihat struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Misi utama birokrasi dengan menganut paham kolonial itu adalah untuk tetap mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu yang sering didengar dalam kehidupan berbangsa kita adalah 'kalau sesuatu bisa dibuat sulit, mengapa harus dimudahkan serta diringankan'. Demikian pula obsesi para birokrat dan politisi kita yang menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture).
Dengan kata lain, birokrasi adalah mesin pemerintahan yang sangat mudah digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sekaligus memanfatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kultur birokrasi yang demikian, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah hal yang sudah biasa. Sejarah mencatat setelah reformasi 1998, kooptasi itu tidak berhenti, tetapi mengalami metamorfosis yang dicirikan dengan multikooptasi oleh beragam partai politik. Keadaan ini membentuk tidak saja sikap perilaku, nilai, kultur para pejabat birokrasi dan sistem kerja, tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap birokrasi. Bahkan jika kita benar-benar memperhatikan dalam praktik pemilihan langsung kepala daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten kota banyak menyebabkan instabilitas dalam birokrasi di negara kita. Promosi jabatan dipenuhi dengan kepentingan dan afiliasi politik birokrat terhadap kepala daerah.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi tidak mudah untuk dilakukan. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang sangat kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam bingkai birokrasi.
Padahal dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih atau terpilih (elected official).
Menurut hemat penulis, amat mustahil melakukan reformasi birokrasi tanpa adanya dukungan dari komponen para elit politik kita. Selama politisi memiliki kepentingan untuk mengooptasi dan memanfaatkan birokrasi, selama itu pula kesulitan untuk revitalisasi reformasi birokrasi. Karena politik reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk menjadikan birokrasi yang baik, bersih dan berwibawa.
Kepemimpinan politik yang kuat merupakan faktor terpenting keberhasilan dalam revitalisasi birokrasi di negara kita. Kesadaran akan kepentingan reformasi birokrasi di negara kita dalam proses pemerintahan dan pembangunan harus berasal dari presiden dan pejabat politik, bukan hanya dari kalangan birokrat sendiri.
Secara nasional, pertanyaan yang sangat mendasar bagi kita semua adalah; apakah pemerintah dan DPR mau berkomitmen memberikan anggaran bagi reformasi birokrasi. Sulit untuk kita jawab, karena selain dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang, komitmen untuk pembiayaan reformasi birokrasi akan mengurangi benifit simbiosis mutualisme antara politik dan birokrasi yang ada. Apa yang bisa dilakukan jika kondisinya demikian? Tidak ada cara lain, presiden, anggota DPR menteri, gubernur, bupati/wali kota dan anggota DPRD harus menumbuhkembangkan kesadaran dan sensitivitas tentang pentingnya agenda nasional reformasi birokrasi. Harus bisa memberikan penguatan terhadap sistem yang ada untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai sebuah gerakan secara nasional.
Pertanyaan berikutnya perlu penulis sampaikan adalah, strategi apa yang harus segera dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melaksanakan reformasi birokrasi dalam sistem pemerintahannya. Penulis menyampaikan apa yang pernah dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan reformasi remunirasinya harus menjadi pemicu untuk terus menggulirkan reformasi birokrasi di setiap pemerintahan kita. Hal serupa seharusnya dilakukan oleh kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar terjadi revitalisai peran dan fungsi sebagai motor penggerak, reformasi birokrasi untuk menggapai pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance).
Dalam pandangan penulis, kementrian ini harus bisa berperan secara strategis dalam menyusun desain dan agenda reformasi birokrasi secara nasional serta memiliki otoritas untuk mengimplementasikan agenda reformasi di tingkat pemerintahan pusat ataupun di pemerintahan daerah. Agenda yang memang harus menjadi prioritas dalam mereformasi birokrasi adalah menetapkan RUU Administrasi Pemerintahan menjadi undang-undang (UU) dan segera menyelesaikan reformasi birokrasi kepegawaian melalui revisi radikal terhadap UU pokok kepegawaian negara (UU No. 43/1999), sebagai pijakan dalam upaya untuk mereformasi birokrasi.
Selain apa yang telah penulis sampaikan diatas, persoalan yang paling medasar adalah cara perekrutan dan penempatan, penggajian dan penerimaan PNS harus berdasarkan sistem merit yang mengutamakan kinerja serta profesionalisme. Upaya merevitalisasi kepegawaian ini sangat dibutuhkan guna mengurangi kooptasi birokrasi oleh partai politik dan menciptakan birokrasi yang bersih dan berwibawa.
Menurut hemat penulis, semakin lama kita melupakan agenda besar revitalisasi reformasi birokrasi maka semakin lama pula keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini terus terjadi di setiap sistem pemerintahan yang ada. *

* Penulis, Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan.

Tidak ada komentar: